Para narapidana akan disuntik mati dengan hanya satu jenis obat: sodium pentobarbital. Yang tahun 1962 pun sudah dipakai oleh bom seks Marilyn Monroe untuk bunuh diri.
Trump menghidupkan lagi hukuman mati. Yang sebenarnya tidak pernah mati. Tapi sudah 15 tahun tidak pernah dilaksanakan. Hingga antrean untuk eksekusi kian panjang. Kini mencapai 61 orang.
Mulai Desember depan 5 dari 61 orang itu akan dieksekusi. Dengan cara baru. Khusus untuk hukuman mati tingkat pemerintah federal (pusat).
Di negara-negara bagian eksekusi hukuman mati jalan terus. Dengan caranya sendiri-sendiri. Paling banyak di Texas. Sampai akhir April 2019 lalu sudah 561 dieksekusi dilakukan di Texas. Sejak 1982.
Masih ada 29 negara bagian lain yang menjalankan hukuman mati. Sisanya (20 negara bagian) sudah menghapuskannya. Seperti negara bagian Illinois. Hingga si pembunuh Zhang Yingying harus diadili di pengadilan federal (baca: Misteri Yingying).
Tahun lalu Trump mengingatkan lagi. Perlunya pelaksanaan hukuman mati itu. Yakni ketika seorang bersenjata masuk ke Sinagoge di Pittsburgh. Ia menembaki orang Yahudi yang lagi sembahyang di hari Sabat. Jemaat kalang kabut, 11 orang tewas.
Trump sudah pro hukuman mati sejak lama. Yang paling diingat orang adalah peristiwa Gadis Jogger. Yakni gadis berumur 28 tahun. Kulit putih. Bintang universitas. Namanya: Patricia Ellen Meili. Dipanggil Trisha Meili.
Asalnya: Pittsburgh, Pennsylvania.
Malam itu Meili lagi joging. Jam 9 malam. Lokasi jogingnya istimewa. Lokasi impian semua orang: Central Park, Manhattan, New York.
Central Park itu hutan beneran. Di sebelah hutan beton Manhattan.
Central Park itu --yang lain bilang-- bukan hutan. Tapi taman. Yang mirip hutan.
Yang jelas Central Park itu indah. Tertata rapi. Terkelola sempurna.
Central Park itu sumber inspirasi -- bagi penyair, penulis naskah drama, dan novelis.
Juga sumber inspirasi bagi para preman remaja saat itu -- untuk mencari mangsa.
Saya pun selalu berusaha ke Central Park. Setiap kali ke New York.
Trump Tower tidak jauh dari situ. Toko Apple terbesar ada di situ. Pun museum American Museum of Natural History, ada di sebelahnya. Yang jadi lokasi film Night in the Museum itu.
Hari itu Minggu malam. Lebih sepi dari malam sebelumnya. Meili joging di Central Park. Menyusuri trek di dalam taman.
Serombongan remaja memasuki Central Park. Dari selatan. Dari arah Harlem. Jumlahnya antara 30 sampai 40 orang. Antara umur 16 tahun sampai 23 tahun.
Tidak ada apa-apa.
Baru pukul 1.30 dini hari ada laporan masuk. Ditemukan seorang gadis dalam keadaan yang sangat parah. Tidak bernyawa. Ups, ternyata masih ada nafas. Pelan. Badannya penuh luka. Matanya tertutup darah beku.
Gadis itu sudah tidak berbusana lagi. Sama sekali. Badannya penuh ceceran rumput, tanah dan darah beku.
Diketahui pula: ada bekas pemerkosaan.
Pun tengkorak belakangnya remuk.
Gadis itu dibawa ke rumah sakit East Harlem Metropolitan. Dalam keadaan koma. Baru tiga hari kemudian diketahui bahwa dia adalah Tresha Meili. Yang hilang dari kos-kosannya. Yang tidak jauh dari Central Park itu.
Begitu sulit polisi menemukan siapa yang menganiaya Meili. Tiap hari media di New York memberi tekanan pada polisi.
Apalagi kemudian diketahui: Meili adalah alumnus universitas terkemuka di Boston: Wellesley College Boston. Yang dianggap setara dengan MIT.
Dan Meili adalah lulusan terbaik keempat di sana. Selama 10 tahun terakhir.
Meili mengambil bidang keuangan. Gelar masternya diperoleh dari Yale University. Juga salah satu yang terbaik di dunia. Lalu masih mencari gelar MBA lagi di Yale School of Management. Saat itu gelar MBA memang lagi banyak diburu para eksekutif.
Meili adalah putri seorang eksekutif di perusahaan listrik di Pittsburgh. Ibunya aktivis pendidikan.
Baru dua tahun Meili tinggal di New York. Sejak mendapat gelar MBA itu. Untuk bekerja di perusahaan keuangan terkemuka dunia: Solomon Brothers.
Dahlan Iskan
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews