Mungkin kita semua harus menajamkan diri dalam dunia humaniora. Biar hati dan pikiran kita selalu jernih untuk melihat orang lain.
Potretan orang NTT selalu identik dengan kekerasan. Namun, ketika kita berbicara tentang kekerasan, ada bejibun pertanyaan dan asumsi yang berkejaran di dalam benak pikiran kita.
Apa Itu Kekerasan?
Akar kekerasan; kekayaan tanpa bekerja, kesenangan tanpa hati nurani, pengetahuan tanpa karakter, perdagangan tanpa moralitas, ilmu tanpa kemanusiaan, ibadah tanpa pengorbanan, politik tanpa prinsip.” Mahatma Gandhi.
Kekayaan Tanpa Bekerja
Keadaan dunia terkadang konyol dan penuh misteri. Bak permainan petak umpat. Di mana ada yang menghabiskan separuh hidupnya untuk bekerja. Namun, ia tidak pernah menikmatinya. Ada yang bekerja keras. Tapi, tiada hasil yang memuaskan. Ada yang tidak bekerja. Namun, rekeningnya selalu disesaki oleh cuan.
Aneh tapi nyata! Sebagai perantau, orang NTT tentu punya target untuk mengubah hidupnya. Bekerja adalah bagian dari kehidupan. Untuk itu, orang NTT memiliki filosofi yakni;”At meop on ate, tah on usif, artinya bekerjalah seperti seorang hamba dan makanlah seperti gaya seorang raja.”
Memang, makna kekayaan tanpa bekerja ada benarnya bagi orang NTT. Zaman premanisme telah memberikan tekanan emosional, finansial dan teror bagi siapa saja.
Sejarah kelam itu telah meninggalkan stigmatisasi bagi orang NTT. Akibatnya, kami yang baru menginjakkan kaki di kota metropolitan Jakarta di sangka preman.
Hadeeeuh, makin runyam nih dunia. Jika asumsi didasari pada penilaian subjektif. Apakah budaya lain tidak pernah bersentuhan dengan preman? Cukup diam dan bertanya pada rembulan malam sobatku. Karena saya tidak bisa meneruskannya. Takut semakin berdosa dengan preman berdasi.
Ilmu Tanpa Kemanusiaan
Preman-preman yang berasal dari NTT memang tidak berilmu. Mungkin budaya lain punya preman berdasi? Itu adalah kesalahan terbesar sebagai orang berintelektual.
Jika semua orang NTT di sangka preman. Saya adalah bagian dari orang NTT. Jadi, saya adalah bagian dari preman NTT. Silogisme anak pinggiran yang tidak tahu arti preman. Namun, stigmatisasi itu selalu melekat dalam diri saya.
Seolah-olah budaya orang NTT tidak ada kebaikannya. Semuanya terlihat jelek di mata publik. Dan penggerak atau tokoh demagogi adalah mereka yang menamakan dirinya sebagai kaum intelektual.
Apakah ini yang disebut Mahatma Gandhi sebagai ilmu tanpa kemanusiaan? Entahlah. Mari masuk dan berkontemplasi akan kehiduan kita sendiri. Mungkin kita pernah masuk dalam kematian akal sehat (Common Sense).
Faktor apa saja yang membentuk karakter orang NTT menjadi keras?
Sebagai atoin meto (orang yang menghuni tanah kering), tentu keseharian kami selalu ditemani dengan tanah gersang, batu karang, pegunungan, laut, sabana dan cara didikan orangtua yang terlalu keras.
Selain itu, keterbatasan finansial memicu berbagai kekacauan (chaos). Sedari kecil, kami sudah dididik dengan budaya rotan. Istilah orangtua Timor; diujung rotan, ada emas.”
Sampai kini pun tak ada emasnya. Justru yang ada adalah teror emosional melalui bahasa verbal maupun non-berbal dalam keseharian.
Bagaimana perasaan orang NTT, ketika disangka sebagai preman?
Sebagai insan yang punya batas kesabaran, tentu setiap kali mendengar anekdot yang bernuansa premanisme, hati semakin membuncah. Rasanya ingin makan orang saja.
Ah yang benar saja? Sekadar intermezzo sobatku. Biar ngak mumet dengarin celotehku.
Marah, kecewa dan emosi yang diutak-atik adalah perasaan yang kami alami, ketika kehadiran kami ditolak oleh budaya lain.
Mungkin kita semua harus menajamkan diri dalam dunia humaniora. Biar hati dan pikiran kita selalu jernih untuk melihat orang lain.
Sebagai epilog, izinkan saya untuk mengutip salah satu quote novel saya “ Pelangi itu indah karena banyak warna. Manusia itu sempurna karena banyak karakter. Indonesia itu ada karena banyak budaya, bahasa, dan ras. Yang terpenting bagi pelangi, manusia dan Indonesia adalah kerja sama.” Novel Terjebak.
(Fredy Suni).
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews