Tak ada pembunuhan paling dibicarakan banyak orang dan ramai diberitakan media massa berkali-kali selain pembunuhan terhadap Udin dan Marsinah saat Orde Baru berkuasa. Bahkan beberapa tahun setelah pembunuhan itu terjadi.
Sejatinya pembunuhan terhadap Marsinah, buruh yang bersuara lantang, jauh lebih mengenaskan, jauh lebih "bernilai berita" karena diangkat ke panggung drama dengan bintang Ratna Sarumpaet. Udin atau nama lengkapnya Fuad Muhammad Syafruddin tidak. Ia tak pernah didramakan atau difilemkan.
Udin hanya seorang wartawan biasa, wartawan Bernas, lahir di Bantul, Yogyakarta, 18 Februari 1964. Ia meninggal karena dibunuh semasa orang-orang Orde Baru berkuasa. Meninggal saat usianya menginjak 32 tahun pada 16 Agustus 1996. Udin tewas dianiaya oleh orang tidak dikenal sampai meregang nyawa.
Indikasi kuat, Udin harus dilenyapkan tangan-tangan penguasa Orba karena kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru, juga mengeritik militer yang saat itu menjadi "monster" tersendiri bagi masyarakat tak berdaya.
Kalau membaca media saat itu bagaimana tubuh Udin disiksa, kita akan geleng-geleng kepala dan tak habis pikir, kok tega ya. Mungkin tidak sesadis pembunuhan terhadap wartawan Jamal Khashoggi yang dimutilasi segerombol jagal Saudi dan setelah itu tubuhnya dihancurkan menggunakan zat kimia.
Pada 13 Agustus 1996 malam itu Udin dianiaya sejumlah pembunuh tak dikenal di depan rumah kontrakannya, di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta. Koma dan sempat dirawat di RS Bethesda, tapi keesokan paginya Udin meninggal dunia.
Karena Udin seorang jurnalis, pembunuhan sadis ini menyita perhatian media saat itu, mungkin juga ada unsur solidaritas di kalangan insan pers. Terlebih lagi pesan penguasa Orba saat itu sangat kuat: "Wartawan, kalian jangan macam-macam, ya, nulis yang baik-baik saja!"
Bahwa pembunuhan terhadap Udin direncanakan dan dilakukan penguasa Orba, salah satu indikasinya terlihat saat Kanit Reserse Umum Polres Bantul Serka Edy Wuryanto, membuang barang bukti dengan cara melarung sampel darah dan menyolong buku catatan Udin dengan dalih melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Kalau kemudian Edy Wuryanto dinyatakan bersalah, itu cuma sandiwara Orba belaka. Edy cuma "coro" dari mesin pembunuhan yang bisa dinihilkan dengan mudah kapan saja, apalagi kalau cuma dipenjara dan pangkat yang melayang.
Dan ini harus dicatat; hanya di zaman Orde Baru orang yang sudah terbunuh pun masih difitnah!
Saat itu muncul seorang perempuan bernama Tri Sumaryani yang mengaku akan diberi apapun yang dia minta oleh Kuncoro, kemenakan Bupati Bantul saat itu, Sri Roso Sudarmo, sebagai imbalan membuat pengakuan bahwa Udin melakukan hubungan gelap dengannya.
Tri Sumaryani tentu menyangkal. Ia hanya pernah menjadi pacar Fauzan yang tidak lain adik almarhum Udin, tapi saat itu sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Fauzan, sang adik, juga mengaku tidak pernah cekcok dengan kakaknya karena ia tahu Udin tidak pernah berpacaran dengan Tri Sumaryani. Itu yang terjadi di persidangan.
Lihatlah, bagaimana kisah fiktif lanjutan ala Orde Baru dinarasikan dan berusaha dibangun. Tapi "Gusti ora sare".
Ada lagi sosok yang dimunculkan. Iwik namanya. Nama lengkapnya Dwi Sumaji. Profesinya sopir sebuah perusahaan iklan. Ia juga mengaku dikorbankan polisi untuk membuat pengakuan bahwa dialah si pembunuh Udin.
Di persidangan terungkap, Iwik dipaksa meminum bir berbotol-botol dan kemudian ditawari uang, pekerjaan, dan bahkan seorang pelacur. Kayak adegan di film-film mafia itu, bukan?
Di depan hakim 5 Agustus 1997 Iwik berkata, "Saya telah dikorbankan untuk bisnis politik dan melindungi mafia politik." Ia akhirnya divonis bebas karena tidak ada dua alat bukti sah yang diperoleh penyidik.
Jadi kalau ada wartawan atau awak media massa yang berangan-angan ingin kembali ke masa "kepenak" Orde Baru, zaman Soeharto sebagai Presiden-nya berkuasa, ya siap-siap saja senasib dengan Udin.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews