Ketimbang mengurusi pers, sebaiknya pemerintah cq Kominfo lebih baik mengurus hal yang memerlukan fokus dan perhatian, misalnya coba agar pembangunan BTS.
Kendati masih banyak mengandung kontroversial, nampaknya Peraturan Presiden (Perpres) tentang “Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas” terus saja disorong buat segera disahkan menjadi Perpres agar dapat secepatnya berlaku.
Beberapa alasan dikemukakan pihak yang menyokong Rancangan Perpres ini. Dengan adanya Perpres ini kelak, mereka berharap, ada kepastian karya pers yang didistribusikan melalui algoritma benar-benar karya pers yang berkualitas. Bukan kaleng-kaleng. Bukan abal-abal. Apalagi hoax.
Lantas, diharapkan Perpres ini mampu memberikan pendapatan yang adil bagi media atas platform digital. Dengan begitu, ada pendapatan yang lebih distributif dan adil.
Lewat Perpres ini pula digadang-gadang hanya karya pers berkualitas saja yang bakal disebarluaskan oleh perusahaan platform digital. Dalam alur pikir para pendukung Perpres ini, sebagai konsekuensinya perusahaan pers yang dinilai “tidak berkualitas” distribusinya menjadi terbatas dan bakal menghadapi banyak kendala. Hal ini lantaran jika Perpres soal ini disahkan, patform digital seperti mesin pencari Google berpotensi tidak dapat langsung mencantumkan berita dari perusahaan pers semacam itu.
Kenapa? Perusahaan platform nantinya wajib menjalin kerja sama dengan perusahaan pers “pemilik” berita sebelum menyiarkan karya pers. Itulah yang disebut publisher rights. Perusahaan pers punya hak untuk dibayar terhadap produk-produk yang dihasilkannya. Maka perusahaan penyebar informasi atau platform digital wajib membayar kepada perusahaan pers setiap menyiarkan berita dari perusahaan pers.
Kabarnya, dalam proses pengodokan Perpres ini semua pihak yang terkait sudah dilibatkan. Sudah didengarkan. Dari situ pula terkuak, sejatinya, masih banyak perbedaan prinsipil dari para pihak. Masih ada keraguan dari beberapa pihak, Rancangan Perpres ini bakal benar-benar mampu menghasilkan ekosistem pers yang kondusif menjaga kemerdekaan pers. Google, misalnya, menilai rancangan yang diajukan justru masih akan berdampak negatif pada ekosistem berita digital yang lebih luas.
Terakhir, dua hari silam, beberapa organisasi wartawan pun, seperti AJI, AMSI dan lainnya, membuat petisi menolak keras draf Perpres ini. Walaupun demikian, faktanya naskah rancangan Perpres tersebut hari-hari ini mau dikirim Kementerian Kominfo ke Presiden Joko Widodo untuk segera ditandatangani.
Setelah terjadi pergantian Menkominfo, rancangan Perpres ini malah dipercepat untuk sampai di meja presiden.
Kontradiktif
Filosofi dalam UU Pers No 40 tahun 1999 tentang Pers antara lain tidak ada satu pihak pun yang boleh mencampuri urusan pers. Pers ditempatkan sebagai lembaga independen. Pers yang menentukan bagaimana mereka melaksanakan kemerdekaan. Pers sendiri pula yang membuat regulasi soal pers. Dalam hal ini, yang menilai kualitas karya pers adalah pers sendiri. Bukan lingkungan di luar pers. Maka tanggung jawab pemeliharaan kualitas pers berada di pundak pers sendiri juga. Bukan di pihak lain. Tidak juga di pihak pemerintah cq presiden.
Dari judul Perpers ini saja sudah jelas terlihat mengandung kontradiktif. Simaklah judul Perpres “Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas.” Hal Ini berarti pers telah menyerahkan dan mengandalkan proses peningkatan kualitas pers kepada perusahaan platform digital. Ini tentu mengandung kontrakdiksi.
Perusahaan platform digital bukanlah perusahaan pers atau badan hukum jurnalistik. Mereka perusahaan yang menyediakan saluran pipa informasi dari seluruh pihak di seluruh dunia. Dari manapun. Perusahaan platform digital sama sekali tak terkait langsung dengan pembuatan karya-karya pers. Itulah sebabnya mengapa mereka tidak memiliki wartawan.
Pertanyaannya, mengapa dalam Perpres kita perlu menyerahkan dan mengandalkan kualitas karya pers atau jurnalistik kepada perusahaan platform digital? Kepada lembaga yang tidak mengurusi proses pembuatan berita? Mereka pun tidak kompeten soal apakah sebuah karya jurnalistik itu berkualitas atau tidak.
Di sinilah kalau Perpers disahkan, bermakna kelak pers telah menyerahkan urusan peningkatan kualitas karya jurnalistik kepada lembaga yang tidak kompeten dan tidak terlibat dalam proses peningkatan kualitas karya jurnalistik. Ironis dan kontrakdiksi.
Lewat Perpres ini pula, jika jadi disahkan, pers telah memberikan sebagian kewenangan kepada presiden. Pemerintah (baik presiden maupun aparatnya) selama ini menurut UU Pers tidak diperkenankan ikut campur dalam urusan pers. Namun dengan adanya tawaran pengesahan Perpers ini, maka dibukalah pintu untuk pemerintah mencampuri urusan pers.
Lewat Perpres ini pemerintah diberi karpet merah untuk ikut kembali mengatur dunia pers yang dalam UU Pers jelas sebetulnya tidak diperbolehkan.
Adanya Perpres ini memungkinkan di kemudian hari pemerintah membuat berbagai regulasi di bidang pers. Dengan kata lain, Perpres ini merupakan undangan terbuka kepada perintah untuk “cawe-cawe” di dunia pers. Dan sekali pemerintah diizinkan masuk ke dalam dunia pers, sejarah telah membuktikan, betapa pemerintah (siapapun) bakal tergiur untuk menciptakan “pers yang berkualitas dalam mendukung pemerintah.” Pers bakal dikebiri. Pers dibuat mandul! Ini jelas kontradiktif yang terang benderang.
Asas Timbal Balik
Sebagaimana dalam bidang lainnya, di lapangan bisnis juga berlaku asas timbal balik atau asas reprositas. Artinya, kalau kepada mitra bisnis kita memberlakukan suatu ketentuan, maka mitra kita juga bakal memperlakukan ketentuan itu buat kita. Demikian juga dalam konsep Perpres “Rancangan Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas”, perusahaan platform digital wajib membayar hak -hak “kepemilikan” karya jurnalistik perusahaan pers, atau kemudian dikenal dengan sebutan “publisher right” kepada perusahaan pers.
Nah, kalau asas ini dipaksa diterapkan kepada perusahaan platform digital, maka sebaliknya perusahaan platform digital juga meminta agar asas ini sama-sama diterapkan kepada perusahaan pers. Jadi fair. Adil.Maka setiap perusahaan platform digital menyiarkan karya pers atau karya jurnalistik atau berita, yang diambil dari perusahaan pers, perusahaan plafform digital itu wajib membayar sejumlah dana ke perusahaan pers. Katakanlah karena perusahaan pers memiliki publisher right atau hak penerbit.
Sebagai konsekuensi dari asas ini, maka sebaliknya, jika perusahaan pers ingin mengambil data apapun dari perusahaan platform digital, nantinya tidak lagi gratis. Otomatis juga harus bayar.
Pada kasus seperti ini, untuk memperkuat fakta berita dan struktur karya, perusahaan pers tidak lagi gratis mengambil dari perusahaan platform digital. Semua data, informasi yang diambil dari perusahaan platform digital, harus dibayar perusahaan pers. Tak ada lagi yang gratis. Padahal sebelumnya perusahaan pers boleh mengambil data, fakta dan infografik apapun dari plaftform digital secara gratis.
Kelak sebagai konsekuensinya adanya pengaturan publisher right di Perpres, semua kutipan dan data apapun dari platform digital harus dibayar.
Bakal Rontok 70 Persen
Sekarang kita tinggal berhitung, lebih banyak untung atau rugi jika Perpres tersebut disahkan dan diberlakukan? Lebih banyak manfaatnya atau mudaratnya? Jawaban gamblang: jika Perpres soal ini jadi disahkan, maka sekitar 70% – 80% perusahaan pers digital bakal rontok. Mati. Dan kemerdekaan pers terhambat.
Pertama, selama ini sebagian konten dari perusahaan pers online atau digital, isinya sekitar 70% – 80% mengutip dan mengambil data dari perusahaan platform digital secara gratis. Dalam keadaan demikian saja, perusahaan pers masih kembang kempis, bahkan tekor. Apalagi kalau kelak masih harus membayar kepada perusahaan platform digital. Sudah pasti mereka bakal menggali kuburnya sendiri alias akan mati bangkrut. Hanya sebagian kecil yang bertahan.
Dalam bahasa yang lebih mudah, berlakunya Perpres itu bukannya membuat ekosistem pers Indonesia tumbuh subur dan sehat, malah sebaliknya menjadi virus pembunuh massal terhadap pers Indonesia. Pers Indonesia mau tidak mau, suka tidak suka, akan bertumbangan satu persatu.
Apakah yang bertahan inilah yang dsebut sebagai penghasil “karya jurnalistik berkualitas?” Tentu tidak. Ini masuk alasan kedua. Pola itu selain lebih liberal dari liberalisme, juga menjadikan konfigurasi kehadiran pers tidak lagi berwarna. Karya pers atau karya jurnalistik yang pendapatnya berlain-lainan, karena dinilai “tidak berkualitas” sudah “dibunuh” lebih dahulu lewat Perpres. Maklumlah harus bayar ke perusahaan platform digital.
Dalam keadaan jumlah pers cuma sedikit, pers justeru akan lebih mudah dikontrol negara atau pemerintah. Pada titik ini kehadiran pers digital yang harusnya juga selaras dengan pertumbuhan demokrasi, malah mematikan demokrasi.
Sadar atau tidak, mungkin ini mendekatkan kita ke doktrin komunis China. Biarkanlah semua warna bunga (teratai) boleh tumbuh, tapi nanti hanya bunga (teratai) hitam saja yang dibiarkan bertahan berkembang. Lainnya dibabat dan dikondisikan tidak tumbuh. Setelah membiarkan banyak pers digital lahir, Perpres berlaku sebagai mata pisau yang “memotong” sebagian besar pers digital dan membiarkan segelintir yang hidup sehingga kelak mudah dikendalikan.
Dari sini nyata terlihat rancangan Perpres yang amat bertentangan dengan UU Pers yang membangun dunia jurnalistik yang independen, bermutu, mandiri dan swaregulasi. Itulah amanah reformasi. Amanat untuk menjadikan Indonesia lebih demokrasi. Kalau kemudian rancangan Perpres disahkan isinya boleh disebut menghianati UU Pers karena anti demokrasi.
Ketimbang mengurusi pers, sebaiknya pemerintah cq Kominfo lebih baik mengurus hal yang memerlukan fokus dan perhatian. Misalnya coba agar pembangunan BTS benar-benar terwujud tanpa korupsi sehingga seluruh desa benar-benar dapat menikmati internet. Bukan malah “cawe-cawe “ urusan pers yang menjadi tanggung jawab pers.
Wina Armada Sukardi, Pakar Hukum dan Etika Pers
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews