Musang King Tirto

Setelah terbukti Musang King bisa hidup di Indonesia, Tirto punya keinginan ini: membagi bibit Musang King ke petani durian di Trawas. Agar memperoleh nilai tambah yang tinggi.

Minggu, 8 Maret 2020 | 06:28 WIB
0
276
Musang King Tirto
Makan Durian Musang King (Foto: Disway.id)

Saya berjanji ke kebun durian di Cianjur, Jawa Barat. Kok nyasar ke kebun durian di Trawas, Jawa Timur.

Itu Sabtu siang kemarin. Nyasar yang terlalu jauh.

Sejak ada virus Corona saya memang membatasi diri pergi jauh. Saya menghindari berdesakan di bandara. Saya termasuk orang yang mudah tertular virus --karena tiap hari minum obat untuk menekan imunitas saya.

Padahal, saya sudah berjanji melihat kebun durian seluas 600 hektare di Cianjur itu. Itulah kebun durian yang hancur. Milik PTPN 8. Yang berhasil diselamatkan oleh seorang mantan pengacara.

”Pak Dahlan harus ke sini. Mumpung mulai panen,” ujar I Gusti Ngurah Wisnawa.

Virus Corona membelokkan saya ke Trawas, daerah pegunungan di Mojokerto Selatan.

Di Trawas itu ada teman yang memiliki kebun durian 10 ha. Namanya Tirto Santoso.

Yang membuat saya menyadarkan diri ke kebunnya adalah: ia lagi panen durian jenis Musang King.

Itulah jenis durian termahal. Yang selama ini menjadi unggulan Malaysia. Musang King-lah yang membuat kehebatan durian Thailand klepek-klepek. Musang King-lah yang membuat semua durian seperti bukan durian.

Di Singapura praktis tidak ada yang menjual durian selain Musang King. Yang didatangkan dari Malaysia. Biasanya saya diajak Robert Lai nongkrong di kawasan Whampoa. Di situlah Musang King dijual. Setelah jam 5 sore.

Kalau kangen Musang King, di Jakarta pun ada. Dijual secara online. Saya beberapa kali membeli. Saya lihat merknya: Sindy. Sama dengan nama toko durian di Singapura itu.

Ternyata pedagang durian di Jakarta tadi memang kepanjangan jaringan dari yang di Singapura itu. Bukan langsung dari Malaysia.

Di Jakarta harga satu pack Musang King --isi empat hapat-- Rp 800.000. Satu biji durian Musang King biasanya berisi empat hapat. Berarti harga Rp 800.000 itu sama dengan satu biji durian.

Saya terpaksa meminjam kata ”hapat” dari bahasa Banjar. Saya belum tahu bahasa Indonesia-nya ”hapat” itu apa.

Dan sekarang saya bisa makan Musang King di Trawas --gratis pula. Warna dagingnya sama: kekuningan. Bijinya sama: gepeng tipis sekali. Rasanya sama: tidak bisa menggambarkannya --saking enaknya.

Sebelum memulai saya memberi tahu istri bagaimana cara makannya: setengah disedot pelan-pelan. Kalau bisa sambil memejamkan mata. Agar tidak ingat mertua.

Mirip cara menikmati es krim terlezat dari ujung sendok.

Itulah cara yang benar makan durian Musang King. Setidaknya menurut teman saya Robert Lai itu.

Itu agar makannya pelan-pelan sekali. Sesuai dengan harganya. Tapi belakangan ia baru mengaku: ia tidak boleh makan banyak durian.

Setelah tahu rahasianya itu saya tidak sabar lagi makan Musang King dengan memejamkan mata.

Tapi saya tetap mengajarkannya ke istri dengan tujuan yang sama: agar jangan banyak-banyak makan durian. Cukuplah kalau jatahnyi diwakilkan ke suaminyi.

Apalagi saat saya di Melaka. Yang harga Musang King-nya hanya separo harga di Singapura. Tanpa memejamkan mata pun tidak ingat mertua.

Juga ketika saya di Kuala Pilah, Negeri Sembilan, Malaysia. Di kampungnya Rosma Mansor itu. Saya sengaja ke kampung asal Rosma di pedalaman Malaysia itu untuk bertemu teman-teman lama istri mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak itu. Yakni ketika saya akan menulis cerita panjang tentang wanita itu tahun lalu.

Kini, Pak Tirto di Trawas pun sudah panen durian Malaysia. ”Saya punya sekitar 100 pohon Musang King,” ujarnya.

Ke mana Pak Tirto menjual Musang King-nya?

Ia belum sempat jualan. Masih habis dimakan sendiri --bersama teman-temannya.

Ini memang baru tahun-tahun pertama berbuah. Umur pohonnya baru 4 tahun. Satu pohon baru bisa memberikan 4 atau 5 buah.

Kelak, tiga tahun lagi, satu pohon bisa 20-30 buah.

Teman Pak Tirto memang banyak. Ia salah satu pengurus FBM --paguyuban antar tokoh agama di Jatim. FBM adalah singkatan dari Forum Beda (tapi) Mesra. Ia sendiri pimpinan umat Budha di Surabaya.

Dan lagi untuk apa ia cari uang dengan jualan durian. Pabrik kecap dan bumbu-bumbu masaknya kian tahun kian besar --dengan merk AAA.

Saya pun bergurau dengannya: mestinya sayalah yang berhak pakai merk itu. Sayalah yang punya cucu dengan nama AAA - -Ayrton, Alesi dan Andretti.

Tapi Tirto memang sangat hoki dengan merk itu. Apalagi kecap dan bumbu saus tiramnya.

Setelah terbukti Musang King bisa hidup di Indonesia, Tirto punya keinginan ini: membagi bibit Musang King ke petani durian di Trawas. Agar memperoleh nilai tambah yang tinggi.

Cuma saja Tirto tidak sampai hati minta petani durian menebang pohon lamanya. Agar bisa diganti dengan Musang King. ”Selama menunggu Musang King berbuah mereka makan apa?” ujar Tirto.

Ia masih mencari ide untuk bisa melaksanakan niatnya itu. Ia sendiri adalah anggota tim Durian Nusantara. Yang diketuai Prof. Dr. Moh Reza dari IPB.

Misi paguyuban Durian Nusantara adalah untuk menginventarisasi durian-durian unggulan dari seluruh daerah di Indonesia.

Di negara kita itu jenis duriannya terlalu banyak. Konsumen durian justru bingung. Tidak bisa memilih mana yang baik. Tidak ada jaminan dan standar mutu.

Beda dengan di Malaysia. Yang hanya mengembangkan Musang King, Duri Hitam, D24, dan D168.

Konsumen tinggal pilih: suka yang mana.

Di Indonesia jenis durian bisa lebih dari 100 macam. Benar-benar kelemahan dari segi strategi marketing.

Sementara ini Durian Nusantara baru menemukan beberapa durian unggulan.

Di Kalbar-lah yang paling hebat. Yakni durian Serombut. Adanya di hutan-hutan pedalaman Kalbar. Tidak jauh dari Entekong --perbatasan dengan Sarawak, Malaysia.

Yang juga unggul adalah durian dari Bangka dan Belitung. Namanya Super Tembaga --karena warnanya yang agak mirip tembaga.

Orang sana menyebutnya durian Tahi Babi.

Satu lagi ditemukan: belum ada namanya. Juga di Kalbar.

Berita gembiranya: seorang pengusaha di Bangka sudah mulai menanam Super Tembaga seluas 600 hektare. Saya pun ingin sekali melihatnya.

Diperkirakan Bangka-lah yang akan jadi pioner ekspor durian terstandar dari Indonesia.

Selebihnya masih terlalu lama bagi kita untuk bisa berubah menjadi negara unggulan durian.

Proses berubah dari durian aneka-ria menjadi hanya beberapa yang terstandar saja kelihatannya belum menemukan jalannya.

”Saya juga sudah mulai menanam Musang King di Cianjur ini,” ujar I Gusti Ngurah Wisnawa kemarin.

Saya merasa masih punya hutang untuk ke kebun Pak Gusti. Sekaligus agar bisa menulis mengapa dari pengacara ia bisa sampai ke durian dengan skala raksasa.

Politik durian ternyata tidak kalah ruwetnya.

Dahlan Iskan

***