Kultum Tarawih [21] Menghindari Riya

Mungkin kita masih sok-sokan memberi label diri pada sumbangan yang kita berikan, meski sebenarnya kebermanfaatan sumbangan kita tidak begitu terasa.

Minggu, 17 Mei 2020 | 09:04 WIB
0
289
Kultum Tarawih [21] Menghindari Riya
Kotak amal (Foto: NU.or.id)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah wa syukurillah, hari ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala masih mengizinkan kita untuk menjalani bulan Ramadan hingga kita bisa sampai pada malam dua puluh satu. Semoga semangat ibadah dan takwa kita tetap terjaga dan terus bertambah, dan semoga Allah berikan kita kesempatan untuk menyelesaikan bulan Ramadan ini, juga agar kita bisa berjumpa lagi dengan Ramadan di tahun-tahun berikutnya.

Tak lupa marilah kita berselawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam, dan moga-mogalah kita termasuk orang-orang yang beruntung mendapatkan syafaat beliau di yaumul qiyamah kelak, aamiin ya rabbal alamin.

Kita mengenal almarhum Didi Kempot, The Godfather of Broken Heart, sebagai maestro campursari. Kita mengenal beliau dari ribuan lagu yang beliau ciptakan, yang membuat kita bisa menikmati kesedihan dan kegalauan patah hati dengan berjoget. Kita mengenal beliau sebagai seniman kenamaan, tampil di mana-mana, kondang hingga Suriname.

Hingga ketika beliau meninggal kurang lebih seminggu yang lalu, kita mengetahui sisi lain beliau. Beliau-lah yang membangun masjid di kampung tempat tinggal beliau. Beliau berencana untuk umroh apabila pandemi telah berakhir. Beliau mengumpulkan donasi miliaran yang disalurkan untuk penanganan pandemi COVID-19, tanpa menikmati sepeser pun dari itu. Semua amalan beliau baru kita ketahui setelah meninggalnya beliau.

Kita mengenal almarhum Nukman Luthfie sebagai pakar internet. Beliau mengembangkan Detik, dan berhasil mengembangkan digital marketing di berbagai bidang. Keahlian beliau dalam bermedia sosial secara sehat dan produktif membuat beliau dijuluki Bapak Medsos Indonesia.

Saat beliau meninggal, banyak cerita bermunculan mengenai kebaikan hati beliau. Bagaimana beliau berkata “Ambillah seperlunya,” sambil menyerahkan kartu ATM kepada kawan beliau yang kesulitan ekonomi, dan saat dicek, rekening tersebut isinya sangat banyak. Bagaimana beliau memberikan mobil pada seorang kawan baik, dengan dalih ‘meminjamkan’.

Beliau-beliau ini adalah salah satu contoh orang-orang yang dikenal karena hal yang hebat, namun saat meninggal, barulah kita tahu sisi lain yang lebih hebat. Amalan-amalan yang dilakukan, kebaikan-kebaikan yang bermakna, religiusitas, baru ketahuan setelah meninggal. Semasa hidup hal-hal tersebut tidak pernah ditampakkan terang-terangan.

Ini yang disebut dengan keikhlasan. Beramal tanpa perlu ditunjukkan kepada orang banyak, sekalipun untuk memotivasi orang lain melakukan amalan yang sama. Benar-benar beramal tanpa berhitung, entah berhitung ekonomi maupun berhitung ketenaran. Tidak perlu menempel stiker foto diri di bantuan yang diberikan, tidak memajang foto di media sosial saat melakukan kegiatan amal itu, atau semacamnya.

Sementara diri kita, bisa jadi dalam memasukkan uang dalam kotak amal di masjid, kita berharap ada orang yang melihat sedikit wujud uang yang kita masukkan ke dalamnya. Rasa ujub kita masih ‘stonks’ ketika mendengar nama kita disebut dalam daftar donatur masjid dengan nominal yang mungkin tidak ada sepersepuluh dari total sumbangan yang masuk. Mungkin kita masih sok-sokan memberi label diri pada sumbangan yang kita berikan, meski sebenarnya kebermanfaatan sumbangan kita tidak begitu terasa.

Ya Allah, lindungilah kami dari sifat riya’ saat beramal. Jadikanlah kami orang-orang yang dapat mengambil pelajaran dari beliau-beliau yang telah mengamalkan ikhlas sepenuh hati.

Wallahu a’lam, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

***