Hijrah dan Kebudayaan: Sebuah Refleksi Tahun Baru Islam

Hijrah adalah pengembaraan manusia dalam kebudayaannya sebagaimana tonggak itu ditancapkan oleh Nabi Muhammad ketika menata masyarakat kota Madinah.

Senin, 2 September 2019 | 08:07 WIB
0
374
Hijrah dan Kebudayaan: Sebuah Refleksi Tahun Baru Islam
Ilustrasi Hijrah (Foto: cmo.com)

Manusia tentu saja mahluk berbudaya yang secara potensial mampu mendudukkan dirinya sebagai bagian dari realitas kosmos yang paling menentukan. Penerimaan atas setiap perbedaan---terutama secara fisik: bahasa dan warna kulit---justru membuat eksitensi dirinya dalam realitas sosial menjadi hidup dan berkembang.

Peran-peran setiap individunya dalam lingkungan sosial, membentuk suatu uniformalitas yang indah, sekalipun memancarkan jutaan warna yang berbeda-beda, namun dapat saling melengkapi aspek kulturalnya yang sedemikian kompleks.

Tuhanpun berkehendak akan keindahan ini dengan menyatakan setelah Dia menciptakan langit dan bumi, manusia diciptakan dengan berlain-lainan bahasa dan warna kulitnya (QS. 30: 22).  

Sebagai refleksi suatu kebudayaan, kita tentu saja seringkali menyaksikan betapa manusia mengapresiasikannya dengan beragam cara dan bentuk yang antarsatu dan lainnya mungkin sama atau sangat berbeda sama sekali. 

Watak kebudayaan manusia tampil, misalnya dalam berbagai bentuk ekspresi keagamaan (tradisi?) atau hal lainnya yang hampir tak perlu dipertanyakan, kecuali sebagai semangat berbudaya yang melekat sebagai watak dalam dirinya.

Entah kapan dimulainya, bahwa dalam tradisi Muslim di Indonesia, berkembang suatu tradisi yang juga terkait dengan simbol keagamaan, yaitu perayaan Tahun Baru Islam melalui karnaval dan pawai obor di jalanan pada malam pergantian tahunnya.

Saya sendiri paling banter berasumsi, bahwa terkadang ada perasaan di sebagian kalangan umat Muslim, bahwa kebudayaan mereka inferior di tengah kebudayaan Barat yang superior.

Itulah kenapa, ekspresi menaikkan status budaya bagi kalangan masyarakat tertentu sama dengan memperjuangkan "nilai-nilai" kebudayaannya itu sendiri atau bahkan terkadang melampauinya.

Seolah-olah ada perasaan bahwa membiasakan diri dengan kebudayaan-kebudayaan tertentu dengan cara demikian dapat meningkatkan status sosialnya di tengah sekian kompleks dan uniknya kebudayaan yang di ekspresikan secara berbeda dalam masyarakat.

Keunikan manusia terletak pada kemampuan dirinya berbudaya, terus menerus mengalami perubahan dari satu kondisi ke kondisi lainnya secara dinamis bahkan terukur. Itulah yang barangkali secara mudah kita temui dalam berbagai ruang kemanusiaan, bahwa hijrah linier dengan perubahan.

Di media sosial, kita sudah tidak asing lagi dengan berbagai ungkapan yang menyebut "hijrah adalah perubahan", sekalipun terkadang masih memiliki kekaburan makna, berubah seperti apa, atau berubah dalam hal apa, itu masih diperlukan pembuktian yang lebih lanjut.

Namun yang pasti, gaung semangat menjadikan budayanya "superior" atas yang lain justru tampak lebih lantang dibanding praktiknya agar apa yang disadarinya sebagai "yang belum berubah" justru harus diubah sehingga fungsi sebagai mahluk berbudaya yang dinamis benar-benar terwujud.

Proses perubahan menjadi masyarakat yang berbudaya dan berperadaban, dilakukan Nabi Muhammad ketika beliau bersama beberapa pengikutnya hijrah dari Mekah ke Madinah. Sulit sebenarnya untuk menyebutkan secara tepat, kapan Nabi memulai hijrah, sebab sumber-sumber sejarah Islam dalam hal ini cukup minim.

Berdasarkan tradisi oral-kanonikal---yang belakangan dikategorikan sebagai hadis---titik perjalanan Nabi dari Mekah ke Madinah dimulai pada tahun ke tiga belas dari kenabian di bulan Rabiul Awal.

Belakangan, tahun baru Islam yang diambil dari sejarah fenomenal hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, melalui inisiatif Umar bin Khatab ketika dirinya menjabat khalifah, disepakati di bulan Muharam, bukan di Rabiul Awal.

Kita kesampingkan soal penetapan waktu hijrah Nabi menjadi awal baru Tahun Islam, sebab yang menjadi titik tolak dalam hal ini adalah semangat perubahan yang dibawa oleh Nabi dan para pengikutnya ketika harus melakukan hijrah.

Sejarah mencatat, bahwa perpindahan Nabi dari Mekah ke Madinah jelas membawa perubahan besar dalam pembentukan peradaban Islam. Hampir dipastikan, Islam menjadi suatu agama secara definitif justru ketika Nabi tinggal selama 12 tahun di Madinah.

Nabi, tidak saja diposisikan sebagai pemimpin agama, namun juga pemimpin politik, bahkan "kepala negara". Madinah yang dulunya dipandang wilayah yang tak begitu penting di wilayah Hijaz, justru menjadi sebuah kota berbudaya dengan role model "negara kota" yang telah memiliki seperangkat aturan sosial-politik yang mengikat.

Keberhasilan Nabi Muhammad menyatukan dan melebur berbagai suku pengembara kuno dalam satu ikatan sosial masyarakat yang beradab dan berbudaya yang dinamakan "ummah" jelas merupakan transisi dari perjuangan panjang dari konsep hijrah.

Kenyataannya, hijrah tidak dibatasi sekadar asumsi teoritis atau pemaknaan yang berkonotasi magis, namun dibuktikan melalui serangkaian upaya bertahap dan menyeluruh, membentuk suatu komunitas sosial yang berbudaya luhur.

Tanpa merasa inferior terhadap budaya masyarakat lainnya, Nabi Muhammad dengan kemampuan "adikodratinya" menjadi pemimpin terkemuka yang dikenal dan bahkan disegani di seantero jazirah Arab. 

Hijrah di masa Nabi, linier dengan perubahan masyarakat secara kultural, dimana pada akhirnya kekuatan budaya mampu membentuk komunitas "ummah" paling beradab.

Belakangan, kita barangkali hanya sekadar menikmati suguhan bahasa verbal atau literal yang marak di media sosial dengan ucapan-ucapan selamat ditambah dengan pawai atau orasi budaya yang sama sekali belum menyentuh aspek perubahan.

"Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali masing-masing individunya yang tergerak merubahnya", demikian kira-kira terjemahan dari salah satu ayat Alquran yang terkenal dan sering dibawakan para penceramah keagamaan di layar kaca.

Anehnya, terkadang ayat ini yang semestinya dijadikan dalil bagi kebudayaan di mana setiap individu didorong untuk melakukan inovasi dan perubahan dalam peran-peran sosialnya yang lebih luas, justru dipersempit bahwa setiap Muslim harus dikembalikan ke masa lalu yang penuh "romantisme keindahan" sebagaimana bayangan masyarakat di saat Nabi masih hidup.

Hijrah adalah pengembaraan manusia dalam kebudayaannya sebagaimana tonggak itu ditancapkan oleh Nabi Muhammad ketika menata masyarakat kota Madinah.

Cara-cara yang dijalankan Nabi benar-benar menyentuh aspek kebudayaan, sehingga menggugah setiap orang untuk ikut bersama-sama memajukan dan menyemarakkan nilai-nilai agamanya melalui semangat moral berbudaya, ikut dalam perubahan yang sepi dari aspek-aspek simbolik.

Hijrah bukan wujud simbol-simbol yang disemarakkan selepas Isya melalui pawai obor atau karnaval yang memenuhi jalanan kota, atau sekadar perlombaan-perlombaan yang hanya membuat kesenangan sesaat yang setelah itu kembali dilupakan orang.

Jika hijrah dianggap perubahan, maka yang berubah tentu saja budayanya, dengan menyemarakkan nilai-nilai aplikatif kemanusiaan, berani berkompetisi secara keilmuan, mampu setara dengan budaya lain atau mengungguli, mental yang kuat untuk maju melebihi orang lain dengan cara jujur dan kompetitif.

Yang sangat mengkhawatirkan justru ketika semangat hijrah dipadukan dengan menurunkan nilai-nilai budaya atau mencampakannya di depan mata kita sendiri: merendahkan, mencaci maki, menghina, tak bisa menerima kekalahan, mengagungkan orang lain tetapi di saat bersamaan merendahkan orang lain, dan masih banyak realitas budaya kita justru "direndahkan" oleh diri kita sendiri.

Hijrah seolah terlempar dari makna yang sesungguhnya, sekadar dijadikan alat kepentingan ekonomi untuk berjualan event keagamaan atau pernik-pernik lainnya dalam sebuah festival atau model "tongkrongan" gaya baru milenial dengan bungkus agama yang bernuansa simbolik.

Umat Muslim telah kehilangan substansi hijrahnya, karena realitas simbolik tampak lebih semarak dari pada semangat untuk menjadi manusia unggul berbudaya dengan semangat inovasi dan perubahan.

***