Tradisi keilmuan kita telah dirintis lama. Sejak jaman Sriwijaya, kita pernah memiliki lembaga perguruan berkelas internasional. Pada jaman Sukarno, banyak mengirim mahasiswa ke luar negeri.
Menristekdikti Mohamad Nasir, mewacanakan impor rektor untuk kualitas dan daya saing perguruan tinggi kita. Dengan rektor dari luar negeri, diharap kita akan memiliki perguruan tinggi berstandar internasional.
Apakah cara impor cespleng untuk mengubah Indonesia yang tidak mutu menjadi mutu? Dengan rektor-rektor kualitas impor itu tadi, seberapa tingkat capaian yang bisa diraih? Dalam waktu berapa lama? Serta, untuk apa? Prioritaskah? Proporsionalkah?
Tingkat kualitas, sertifikasi dan standardisasi, tentu saja selama ini (atau itu) akan masih dipegang oleh negara-negara adikuasa seperti AS dan Eropa. Dan itu artinya dengan ketentuan dan syarat berlaku. Meski pun sebenarnya beberapa perguruan tinggi kita masuk dalam capaian peringkat internasional yang tidak buruk, meski masih sangat minim.
Dalam sejarahnya, di kawasan Asia-Africa, Indonesia bukan negara terbelakang dalam kualitas SDM dan pendidikan secara umum. Pada jaman pra-kemerdekaan, kita telah memiliki sarjana (akademisi) yang sohor di Mancanegara. Beberapa akademisi kita, sampai kini juga banyak yang berkiprah di berbagai universitas luar negeri. Dalam berbagai kompetisi science dan technologie internasional, banyak anak-anak Indonesia memenangkannya.
Tradisi keilmuan kita telah dirintis lama. Sejak jaman Sriwijaya, kita pernah memiliki lembaga perguruan berkelas internasional. Pada jaman Sukarno, banyak mengirim mahasiswa ke luar negeri.
Bahkan, Ki Hajar Dewantrara, mampu mengembangkan sistem pendidikan nasional dari apa yang dipelajarinya dari India. Konon pola pendidikan ini diampu negara Finlandia, yang menjadikan kualitas pendidikan negara itu sebagai acuan berbagai negara.
Persoalan kita yang lebih serius, adalah soal konsistensi. Banyak hal, keputusan politik kenegaraan, acap hanya proyek ekonomi.
Maka bukan hanya ganti menteri ganti aturan, tapi juga ganti presiden ganti arah kebijakan. Bagaimana nasib mahasiswa yang dikirim ke luar negeri oleh Sukarno? Oleh rezim berikutnya, sebagian besar tak bisa balik karena dituding antek Sukarno.
Jika dilihat dari itu, perubahan apa yang hendak dicapai dengan rektor impor? Kalau mau hasilnya cespleng, perlu juga impor dosennya, mahasiswanya, tenaga administrasinya, juru parkirnya. Sebagaimana mungkin juga kita membutuhkan menteri impor, Presiden impor, parlemen impor, rakyat impor. Maka akan dengan sendirinya kita menjadi bangsa dan negara kualitas impor bukan?
Lantas di mana Nawacita Jokowi atau Trisakti Bung Karno dalam revolusi mental kita? Apalagi katanya mau berdikari, berkepribadian nasional dalam kebudayaan. Karena mereka yang bijak, seperti Ki Hajar Dewantara, ialah yang tahu batas dan karakter masing-masing.
Persoalan kita bukan lembaga pendidikan, tetapi sistem pendidikannya. Mbok nggak usah muluk-muluk, kalau mau korupsi. Urusan impor sapi saja korupsi. Oleh ketum parpol beragama pula. Lha wong impor kedelai, gula, juga dikorupsi. Yang baru saja ditangkap KPK, karena impor bawang putih!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews