Media di Era Orba, Awas Kalau Dimuat!

Rabu, 21 November 2018 | 18:16 WIB
0
725
Media di Era Orba, Awas Kalau Dimuat!
Harian Kompas edisi pertama (Foto: Istimewa)

Awal bekerja di Harian Kompas hal yang menautkan ingatan saya dengan Orde Baru di bawah kuasa Presiden Soeharto adalah peringatan "Awas jangan muat berita ini!"

Tidak persis sama seperti itu kalimatnya, tetapi pada saat saya masuk tahun 1990, saat rezim Orba masih kuat-kuatnya, di Lantai 3 Redaksi Harian Kompas di bilangan Palmerah Selatan, terdapat satu papan khusus pengumuman. Mungkin tepatnya peringatan. Yaitu, peringatan dari ABRI yang sekarang disebut TNI.

Papan itu menjadi semacam prasasti atau penanda, bahwa pada suatu massa penguasa demikian sangat represif, sampai mengatur berita yang boleh dan tidak boleh dimuat, padahal itu berita peristiwa seperti jatuhnya pesawat militer jatuh, nyungsepnya heli ABRI, dan seterusnya.

Kalau sepantar Dispenad atau Dispen Mabes ABRI, ya masuk akallah minta berita jangan ditulis, karena pangkatnya sudah setara jenderal. Lha yang nelpon ke kantor Kompas bahkan setingkat Kodim atau bahkan Koramil!

Bayangkan dengan pangkat yang tertinggi di Korem, Kodim atau Koramil, mereka sudah bisa ngatur koran terbesar di NKRI itu hanya dengan menyampaikannya lewat telpon.

Yang lebih unik lagi, saat harus menulis Soeharto sebagai Presiden RI, pers Indonesia di bawah kendali Tuan Harmoko selaku Menpen saat itu, tidak boleh menuliskan namanya sembarangan. Pers wajib menulis nama "Presiden Soeharto". Ga boleh nulis "Presiden Suharto", "Presiden", apalagi "Soeharto" tok, itu SIUPP bisa tiba-tiba dicabut. Lihat, sedemikian mengaturnya Orba!

Setelah Soeharto tumbang, barulah di zaman BJ Habibie kebebasan pers agak terasa, apalagi Menpen Yunus Yosfiah memberangus SIUPP yang selama Orba ada menjadi momok menakutkan bagi kebebasan pers.

Di zaman Orba, ada kebebasan pers, tetapi kebebasan semu. Di zaman Habibie ini, koran boleh menulis "BJ Habibie" atau bahkan "Habibie" saja tanpa embel-embel Presiden. Yang penting "Presiden" cukup disebut sekali saja.

Zaman Gus Dur lebih leluasa lagi. Ada yang menulis "Presiden Gus Dur", "Abdurrahman Wahid", atau bahkan "Gus Dur" saja tanpa embel-embel Presiden. Tradisi baik ini dilanjutkan Megawati, SBY, dan Jokowi sampai sekarang.

Aneh saja kalau ada sekelompok orang yang ingin mengembalikan kondisi yang sudah demokratis ini ke masa lalu, ke masa Orba berkuasa, lha wong nulis nama Presiden saja sampai diatur-atur gitu!

 

***