Pendaratan Kedua di Malinau, "Never Ending Writing"

Dalam pandangan Yansen, Kaltara adalah miniatur Indonesia yang indah bak pelangi di mana segala etnis dan pemeluk agama berbeda bisa hidup saling berdampingan dalam "rumah besar" Kaltara.

Sabtu, 8 Agustus 2020 | 10:43 WIB
0
344
Pendaratan Kedua di Malinau, "Never Ending Writing"
Mendarat di Malinau menggunakan Susi Air bersama Masri, Sapto dan Dodi (Foto: Dok. pribadi)

Ini pendaratan kedua saya di Malinau, Kalimantan Utara. Pendaratan pertama terjadi enam tahun lalu. Pengundangnya orang yang sama, yaitu Yansen Tipa Padan, Bupati Malinau bergelar Doktor yang dikenal sebagai pencetus dan penerap Gerdema di wilayah yang dipimpinnya, Kabupaten Malinau.

Gerdema adalah Gerakan Desa Membangun, yang menitikberatkan pembangunan di desa-desa dengan kepala desa sebagai eksekutor utamanya, bupati sebagai fasilitator. Belakangan Gerdema ia peras lagi menjadi "Pemerintahan" RT (Rukun Tetangga) dengan para Ketua RT sebagai eksekutor, kepala daerah sebagai fasilitator. 

Saya tidak ingin mengulas terlalu jauh konsep dan praktiknya Revolusi Desa dan Revolusi RT, dua cara berpemerintahan yang berbeda dengan konsep pemerintah pusat yang merupakan buah pikir Yansen, melainkan lebih kepada sesuatu yang tak kasat mata, tetapi bisa saya rasakan kedahsyatannya: pertemanan! 

Sering orang mengatakan, "Berteman itu gampang, mau cari seribu teman sehari pun bisa, tetapi yang sulit itu memelihara dan mempertahankannya". Saya merasa berkebalikannya, "Berteman itu sulit, tetapi mudah memelihara dan mempertahankannya." Kok bisa dengan mudah saya bisa memelihara dan mempertahankan pertemanan? Bisa, tentu saja, selagi saya memelihara silaturahmi.

Bagaimana memelihara silaturahmi? Jika tidak bisa saling bertemu karena terpisah jarak dan waktu, gunakan alat komunikasi yang ada. Jika tidak berjawab, panjatkan doa buat kesalamatannya. Kekuatan spiritual ini sering diabaikan, padahal nyata hasilnya.

Contoh pengalaman saya sendiri. Saya dipertemukan dengan Yansen TP pada suatu momen di Kompasiana dengan acara yang saya bikin sendiri, "Tokoh Bicara" tahun 2014, enam tahun yang lalu. Itulah momen yang mau tidak mau "menyeret" Yansen dari tokoh lokal menjadi tokoh nasional lewat acara bedah buku "Revolusi dari Desa". Sebanyak 150an penulis Kompasiana hadir dan mereka menulis kurang lebih 200 artikel dari acara Tokoh Bicara itu.

Usai acara, kami terpisah oleh kesibukan masing-masing, tetapi silaturahmi berlanjut lewat WA saat kami saling beruluk-salam atau berucap selamat hari keagamaan yang masing-masing kami peluk. Yansen mengucapkan Selamat Idul Fitri, saya mengucapkan Selamat Natal. Begitulah komunikasi minimal yang kami lakukan selama enam tahun, tetapi itulah bentuk silaturahmi yang real dan tidak pernah putus.

Baru beberapa bulan lalu sebuah panggilan telepon masuk. "Hallo... Pak Pipih di mana?" sapanya.

Pipih? Salah tulis nama? Bukankah nama saya Pepih? Tidak! Itu khas panggilan Yansen untuk saya. Saya jawab, "Di rumah (Bintaro), Pak." Dia tanya lagi, "Berapa lama bisa sampai dari rumah Pak Pipih ke Grand Hyatt?" Saya jawab lagi, "Tergantung... kalau bawa kendaraan sendiri, bisa dua jam, tetapi kalau pakai kereta commuter line bisa satu jam." Kemudian Yansen mengakhiri pembicaraannya, "Kalau begitu, pakai saja kereta biar lebih cepat sampai ke sini!"

Saya bergegas dan beberapa menit kemudian sudah di atas CL dari Stasiun Sudimara menuju Stasiun Tanah Abang. Peristiwa terjadi sekitar awal tahun 2020, sebelum terjadinya pagebluk.

Persis satu jam kemudian saya suda berada di sebuah restoran oriental terkenal di hotel itu. Di sana sudah ada Yansen bersama Dodi Mawardi, Masri Sareb Putra dan seorang pria lagi yang belakangan saya tahu namanya Sapto Raharjo. Dua nama yang saya sebut pertama adalah para penulis top, sementara Sapto masih kerja di salah satu penerbit major beken.

Secara tidak langsung, saya terjerumus ke ke komunitas penulis di restoran itu! 

Hasil dari pertemuan pertama setelah terpisah enam tahun itu adalah kesepakatan menjadi editor dan pengarah untuk sejumlah buku yang ditulis Yansen, salah satunya adalah buku Kaltara Rumah Kita, yang akan dibedah Sabtu, 8 Agustus 2020 petang ini di Malinau, Kalimantan Utara.

Pun saya bersama Dodi, Masri, dan Sapto beberapa hari lalu diundang terbang ke Malinau untuk menghadiri peluncuran buku hasil pemikiran "kebhinekaan" Yansen mengenai Kaltara, sebuah provinsi baru yang berada di pundak Pulau Kalimantan.

Dalam pandangan Yansen, Kaltara adalah miniatur Indonesia yang indah bak pelangi di mana segala etnis dan pemeluk agama berbeda bisa hidup saling berdampingan dalam "rumah besar" bernama Kaltara.

Kembali kepada tema silaturahmi dan pertemanan yang saya singgung di awal tulisan, ternyata memelihara dan mempertahankan pertemanan ini lebih dipermudah lagi lewat kegiatan literasi. Menghasilkan karya tulis adalah salah satu kekuatan baru pertemanan dan ketersambungan lahir maupun batin. Pertemanan pun menjadi langgeng selagi silaturahmi terpelihara dan kegiatan literasi tetap terjaga.

Salamat atas peluncuran buku Kaltara Rumah Kita, Pak Yansen!

Malinau, 8 Agustus 2020

PEPIH NUGRAHA

***