Saya membayangkan pasar-pasar buku di berbagai kota di Indonesia tercantum juga di buku panduan wisata kita.
Saya senang sekali mendapatkan buku "Elite Dalam Perspektif Sejarah" yang disunting Sartono Kartodirdjo, pakar sejarah terkemuka Indonesia. Saya sebelumnya mengenal Kartono melalui buku fenomenal yang ditulisnya yang berjudul "Pemberontakan Petani Banten 1888". Buku "Pemberontakan Petani" termasuk ke dalam buku "45 Buku yang Mempengaruhi Indonesia" yang diterbitkan harian Media Indonesia memperingati HUT-nya ke-45 pada 2015.
Buku "Elite dalam dalam Perspektif Sejarah" terbit pertama kali pada 1981. Dalam pengantarnya Sartono membagi elite dalam dua kategori, yakni elite tradisional dan elite baru.
Elite tradisional mempertahankan status quo dan memandang setiap perubahan sebagai ancaman bagi mereka, sedangkan elite baru memegang kepemimpinan serta melancarkan perubahan.
Dari daftar isinya, para penulis di buku ini membahas elite dalam perspektif petani, kaum bangsawan, kaum borjuis, cendekiawan, raja, ulama, cendekiawan, dan militer.
Saya membeli buku "Elite dalam Perspektif" Sejarah" di satu kios di Pasar Buku Kenari, Salemba, Jakarta Pusat, yang saya kunjungi sehari menjelang pergantian tahun 2019 ke 2020. Selain kios-kios buku yang menjual buku lama dan buku murah, di sana terdapat juga toko buku Jakbook yang dari namanya toko buku ini dikelola Pemprov DKI. Di toko ini ada rak yang menjual buku-buku terbitan LP3ES. Di sini saya membeli buku "Gagalnya Pembangunan: Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru" karangan Andrinof Chaniago.
Pasar Buku Kenari beberapa waktu laku viral di media sosial karena sepi pembeli. Sejumlah media arus utama kemudian memberitakannya. Mudah-mudahan dengan pemberitaan media, Pasar Buku Kenari lebih ramai pembeli. Saya sendiri menyempatkan ke sana untuk meramaikannya.
Di Jakarta, kita mengenal juga Pasar Buku Kwitang dan Senen. Saya pernah membeli novel "Kutbah di Atas Bukit" karangan Kuntowijoyo dan buku "Islam Komodernan dan Keindonesiaan" karangan Nurcholish Madjid. Di Pasar Buku Senen, saya pernah membeli "Kamus Besar Bahasa Indonesia."
Ada juga Pasar Buku Plaza Blok M dan toko buku bekas Taman Ismail Marzuki. Saya beberapa kali mengunjungi keduanya. Di pasar buku Blok M, saya membeli buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" serta buku terjemahan tulisan Feurbach, salah seorang guru Marx. Di toko buku bekas TIM saya membeli banyak buku antara lain "A Nation in A Waiting" karya Adam Schwarz dan novel "Berpacu Hidup di Kebun Karet" karya Madelon Szekely-Lulofs.
Di sejumlah kota lain juga terdapat pasar buku murah. Di Yogyakarta ada Shopping. Setiap ke Jogja, saya usahakan mampir ke Shopping dan membeli buku. Saya, misalnya, pernah membeli buku "Sejarah Sosial Umat Islam" Jilid 1 dan 2 yang ditulis Ira Lapidus.
Di Medan ada pasar buku Titi Gantung. Dulu letaknya di titi atau jembatan dekat Stasiun Kereta Api. Ketika kuliah di USU Medan, saya membeli buku "Dasar-Dasar Ilmu Politik" karangan Miriam Budiardjo, "Pengantar Antropologi" karangan Koentjaraningrat dan "Sosiologi Suatu Pengantar" karangan Soerjono Soekanto. Tapi, buku-buku itu protol sehingga saya harus memakunya pada bagian kiri sampulnya. Sekarang pasar buku Titi Gantung pindah ke lapangan Merdeka, Medan, tepat di seberang Stasiun Kereta Api.
Ketika berwisata ke Sydney, Australia, saya membeli buku panduan wisata Sydney terbitan Lonely Planet. Di buku tersebut dicantumkan toko-toko buku, baik baru maupun bekas, sebagai lokasi tujuan wisata. Dipandu buku tersebut, saya menelusuri sejumlah toko buku di Sydney dan membeli banyak buku.
Saya membayangkan pasar-pasar buku di berbagai kota di Indonesia tercantum juga di buku panduan wisata kita.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews