Memahami Konsep Khilafah Din Syamsuddin

Apa sebenarnya kritik yang ditujukan pada imbauan Din Syamsuddin baru-baru ini dan mengapa Nadirsyah Hosen mengritiknya begitu tajam?

Senin, 1 April 2019 | 13:27 WIB
0
588
Memahami Konsep Khilafah Din Syamsuddin
Din Syamsyuddin (Foto: Suara Islam)

Perlu dipahami bahwa Prof Din Syamsyuddin menyepakati hal yang sama dengan pemerintah soal HTI, yaitu menurut beliau Negara Pancasila adalah kesepakatan bangsa Indonesia. Muktamar Muhammadiyah Tahun 2015 menegaskan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah atau Negara Kesepakatan dan Kesaksian.

Oleh sebab itu seluruh komponen bangsa harus menegakkannya, dan terhadap segala bentuk penyimpangan dan pelanggaran terhadap Pancasila harus diluruskan. Dalam hal ini, terdapat banyak bentuk penyimpangan, baik yang bersifat keagamaan seperti khilafah politik, maupun isme-isme lain seperti komunisme, sekularisme, liberalisme, kapitalisme, dan berbagai bentuk ekstrimisme lainnya,” demikian kata Din.

Dalam pernyataannya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din pada Juli 2017 lalu menyatakan bahwa khilafah mirip dengan eksistensi Tahta Suci Vatikan yang menghilangkan sekat negara dan menjadi kiblat bagi umat Katolik di seluruh dunia. Anda boleh sepakat boleh tidak dengan pemahaman Din ini tapi yang jelas bukan itu yang dimaksudkan oleh ISIS mau pun Hizbut Tahrir.

Jadi dalam hal ini Din memberikan tafsiran sendiri yang tidak mengacu pada konsep yang ditawarkan oleh ISIS mau pun HT. Pernyataan ini sendiri menimbulkan kontroversi dan kritik yang tajam. Jadi bukan sekali ini saja Din dikritik soal pendapatnya tentang khilafah.

Din juga sebenarnya memiliki pendapat yang sama dengan Gus Nadirsyah Hosen bahwa Pendirian khilafah sebagai lembaga politik-kekuasaan pada era modern adalah tidak valid dan realistik, karena negara-negara Muslim sudah terbentuk sebagai negara-bangsa (nation-state) dalam bentuk/sistem pemerintahan yang beragam.

Khilafah historis yang pernah ada setelah masa Khulafaur Rasyidun adalah sesungguhnya kerajaan, dan Islam tidak membawa konsep tentang bentuk/sistem pemerintahan tertentu. Maka tidak ada kewajiban mendirikan khilafah sebagai lembaga politik-kekuasaan. Mereka berdua memiliki pemahaman yang sama soal ini.

Sebetulnya Muhammadiyah dalam muktamarnya pada tahun 2015 telah mengajukan usulan yang progresif pada umat Islam yang masih juga mengkhayalkan bangkitnya Islam melalui sistem khilafah. Usulannya adalah sbb:

Menurut Din diperlukan penafsiran baru yang kontekstual terhadap khilafah, khususnya dalam konteks NKRI yang berdasarkan Pancasila, yaitu:

Pertama, Khilafah dapat dipahami membawa pesan kesatuan, persatuan, dan kebersamaan umat Islam secara nasional, maka di Indonesia dapat dan telah mengambil bentuk Majelis Ulama Indonesia/MUI yang dapat berfungsi sebagai organisasi payung atau tenda besar bagi seluruh umat Islam.

Kedua, secara global, khilafah sudah mengambil bentuk, pada tingkat pemerintahan, Organisasi Kerjasama Islam/OKI, dan pada tingkat umat, Liga Muslim Sedunia (Rabithah ‘Alam Islamy).

Ketiga, pada kedua manifestasi khilafah tersebut, dengan esensi persatuan keumatan/ukhuwah Islamiyah, tidak boleh mengingkari, mengubah, atau mengganti sistem politik dan pemerintahan yang ada, yakni Negara Pancasila.

Keempat, dalam latar pemikiran di atas, Din memahami (dan sering dibicarakan pada forum internasional) bahwa konsep khilafah yang bersifat mondial dapat diwujudkan dalam bentuk persatuan dan kebersamaan umat Islam dalam kemajemukan warna kulit, bahasa, dan budaya yang mencerminkan kesatuan visi kehidupan/peradaban global berdasarkan nilai-nilai Islam.

Tentu saja usulan ini sangat bagus dan jelas. Usulan ini patut diacungi jempol dan sesuai dengan kebutuhan umat dan bangsa. Tidak ada kerancuan di dalamnya sehingga sama sekali tidak menimbulkan polemik seperti imbauannya baru-baru ini. Tapi ini jelas-jelas tidak nyambung dengan konsep khilafah yang sedang diperjuangkan oleh berbagai organisasi Islam di Indonesia mau pun dunia. Ibaratnya, Din menawarkan Coca-cola pada orang yang ingin minum bir meski tahu bahwa bir itu haram dan dilarang.

Lalu apa sebenarnya kritik yang ditujukan pada imbauan Din baru-baru ini? Mengapa Gus Nadir mengritiknya begitu tajam?

Hal yang menjadikan Din dikritik adalah pernyataannya bahwa khilafah adalah ajaran Islam yang mulia yang bersumberkan pada Alquran dan Al-Hadist sehingga tidak boleh dinafikan. Setelah itu Din menyatakan bahwa dalam Alquran disebutkan bahwa manusia adalah khalifah/wakil tuhan di muka bumi.

Jadi karena di Alquran ada disebutkan manusia sebagai khalifah di muka bumi maka konsep khilafah dianggapnya ada sumbernya dalam Alquran dan merupakan ajaran Islam yang mulia.

Tentu saja ini tidak nyambung dan justru bertentangan dengan pendapatnya sendiri yang menyatakan bahwa konsep khilafah sebagai system pemerintahan adalah ijtihad umat Islam semata.

Din sendiri menyatakan bahwa khilafah yang dipahami sebagai “kekuasaan politik/political authority” atau “lembaga politik-pemerintahan/political institution” tidak menjadi kesepakatan ulama; hanya beberapa ulama yang berpendapat demikian seperti Rasyid Ridha (w. 1935), Abul Kalam Azad (w. 1958), dan An-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, (w. 1977).

Mereka menginginkan Sistem Khilafah didirikan kembali sejak pembubaran Kekhalifahan Utsmany oleh Kemal Ataturk di Istanbul Turki pada 1924. Pendirian Khilafah sebagai lembaga dan sistem politik sudah lama dikritik termasuk oleh Ibnu Khaldun (w. 1406), Abduh (w. 1905), dan Ali Abd Raziq (w. 1960).

Jadi, bagaimana mungkin ijtihad yang merupakan ide pemikir tertentu bisa disebut sebagai ‘ajaran Islam yang mulia’? Dalam konteks apa sebenarnya pernyataan Din tersebut hendak diterapkan?

Komentar lain yang menimbulkan kontroversi adalah pernyataan Din bahwa mempertentangkan Khilafah dengan Pancasila identik dengan mempertentangkan Negara Islam dengan Negara Pancasila. “Mempertentangkan keduanya merupakan upaya membuka luka lama dan menyinggung perasaan umat Islam,” demikian katanya.

Kepada siapa sebenarnya kritik Din ini hendak disampaikan? Siapakah sebenarnya yang mempertentangkan keduanya sehingga umat Islam menjadi tersinggung kembali?

Kalau dilihat redaksinya jelas sekali Din mengritik pihak-pihak yang masih juga menentang Pancasila dan ingin mendirikan negara Islam seperti dulu, yang dalam hal ini tentunya para pendukung HTI. Apa yang dilakukan oleh HTI ini bakal mengorek luka lama dan menyinggung umat Islam.

Tapi, mengapa imbauan ini justru ditujukan pada para kontestan pilpres dan bukan ditujukan pada para pendukung HTI? Lalu apa konteksnya? Siapa sebenarnya yang hendak disasar oleh Din dengan tudingan ‘mempertentangkan Khilafah dengan Pancasila’ itu dan siapa umat Islam yang dimaksud bakal tersinggung dan terkorek luka lamanya?

Satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa pertarungan antara negara Islam dan negara Pancasila baru selesai dalam wacana namun belum selesai dalam arena politik. Faktanya beberapa organisasi masih memperjuangkan negara Islam. Jadi sebenarnya kritik Din ini seharusnya diarahkan ke sana dengan jelas dan tidak menimbulkan ambigu.

Terus terang imbauannya tersebut menimbulkan ambigu dan bukan malah memperjelas posisi yang harus diambil oleh umat Islam dalam konteks berbangsa dan bernegara. Kita memang tidak boleh membiarkan dan bersikap ambigu pada upaya pengkhianatan terhadap bangsa seperti yang akan dilakukan oleh HTI.

Kita tidak ingin sejarah pemberontakan DI/TII, Permesta, PKI terulang lagi. Jadi semestinya imbauan tersebut ditujukan pada para pendukung HTI yang masih belum mau menerima Pancasila sebagai dasar negara dan masih terus berusaha bergerilya mempengaruhi umat Islam untuk mendirikan khilafah ala Taqiyuddin An- Nabhani yang juga dikritik oleh Din tersebut.

Satu hal yang perlu dikritisi dari pernyataan Din ini adalah bahwa Din menganggap bahwa para pendukung khilafah itu ingin mendirikan negara Islam seperti umat Islam dulu sebelum Pancasila disepakati. Ini adalah sebuah penyederhanaan yang keliru. Konsep Negara Islam yang dulu diperjuangkan oleh umat Islam adalah berbeda dengan konsep khilafah yang diperjuangkan oleh HTI.

Jadi sebenarnya mereka tidak memperjuangkan konsep yang sama. Bagi HTI konsep negara Islam yang berdasarkan nasionalisme itu thagut dan mereka tolak. Mereka tidak menginginkan Negara Islam Indonesia yang berdasarkan nasionalisme yang bersekat dengan negara Islam lainnya.

Jadi meski pun sama-sama menginginkan kopi tapi mereka menginginkan kopi yang berbeda. Yang satu ingin Kopi Susu sedangkan yang lain ingin Kopi Hitam. Dan mereka sama-sama tidak menginginkan jenis kopi yang lain.

Sama-sama pendukung khilafah juga punya konsep khilafah yang berbeda. Itu sebabnya ISIS, Al-Qaeda, Hizbut Tahrir tidak mungkin bisa bersatu karena meski pun sama-sama menginginkan kopi tanpa susu tapi yang satu ingin Kopi Hitam dengan gula, satunya ingin kopi saja tanpa gula, dan satunya ingin kopi yang diseduh dengan proses drip coffee.

Dan, mereka sama-sama bersikeras bahwa hanya kopi pilihan mereka yang paling benar dan kopi lainnya, apalagi kopi sasetan seperti yang tiap hari saya minum, adalah kopi ‘uyuh jaran’.

Jadi dalam konteks ini maka usulan pemikiran Muhammadiyah dalam muktamarnya di 2017 yang menurut saya sangat progresif tersebut hanya akan dianggap ‘uyuh jaran’ oleh para pendukung khilafah yang fanatik. Mereka akan bersikeras bahwa selain kopi menurut selera mereka maka tak ada kopi yang lain.

Tidak ada gunanya bicara filosofis dan akademis pada mereka. Hanya hukum yang tegas yang perlu kita terapkan pada mereka sebelum negara ini diacak-acak oleh mereka sebagaimana kita lihat di berbagai negara lain.

Surabaya, 1 April 2019

***