Masalah individu dan bangsa ini adalah bagian dari proses untuk menguji kualitas karakter kita.
“The problem is not the problem. The problem is your attitude about the problem”― Captain Jack Sparrow
Pada Sabtu siang di tahun 2017, saya memfasilitasi percakapan bahasa Inggris diantara belasan siswa yang hadir di dalam salah satu ruang kelas salah satu lembaga bahasa tertua di Indonesia yang terletak di Jakarta Timur.
Percakapan dalam bahasa Inggris berlangsung dengan sangat dinamis saat kami terlibat dalam perbincangan sejumlah film Hollywood, mulai dari selebritis hingga perannya. Namun, saya kemudian mencoba mengalihkan fokus perbincangan sinema ke film yang sedang naik daun di Tanah Air saat itu.
Tanpa saya duga, salah satu peserta kursus secara lantang menyebut: "Pengabdi Setan." Sontak pernyataan tentang film Pengabdi Setan 1 disambut dengan gelak tawa oleh sebagian besar mereka yang hadir di kelas, termasuk oleh saya.
Di tengah gelak tawa, saya memperhatikan ada seorang siswa dengan tatapan mata tegang ke arah papan tulis yang terletak di depan kelas. Saat keriuhan gelak tawa mereda, siswa berusia 20 tahunan ini berkata: "Sir, there is a lady standing near the white board."
Keterangan siswa ini tentang sosok wanita yang tidak dapat dilihat oleh siapapun kecuali oleh dirinya itu sekaligus membuat suasana kelas sejenak menjadi hening sebelum saya menimpalinya dengan 1 pertanyaan: "Apakah kamu punya indera keenam?." "Ya," jawabnya singkat.
Sejenak saya berdoa di dalam hati agar tidak ada hal yang tidak diinginkan terjadi dengan kehadiran mahluk halus yang biasa muncul dalam proses belajar bahkan di siang hari sekalipun. Kehadiran mahluk halus ini sebelumnya sudah kerap menjadi perbincangan antarrekan guru maupun karyawan di gedung lembaga bahasa tempat saya mengajar itu atau sudah bukan hal yang baru.
"Apakah kamu tidak takut dengan apa yang kamu lihat sekarang?" lanjutku untuk mengetahui reaksi siswa yang memiliki indera keenam itu. Dengan cukup fasih berbicara bahasa Inggris, siswa ini mengaku sudah terbiasa berhadapan dengan penampakan berbagai mahluk halus yang ditemuinya sejak kecil. "Ayah saya juga punya indera keenam," tambahnya.
Entah kenapa saat itu juga saya merasa belum merasa yakin apakah siswa ini benar-benar memiliki indera keenam. Terpikir olehku untuk memintanya beranjak dari kursinya dan berdiri di sekitar papan tulis.
Namun, siswa ini seakan tidak yakin dengan instruksi yang saya berikan sebelum saya berkata: "Tidak perlu takut, ada saya di sini dan teman-teman kelas kamu juga ada di sini."
Akhirnya siswa itu melangkah mendekati papan tulis dan berdiri bersebelahan dengan wanita yang hanya dapat dilihat oleh dirinya itu. "Apa reaksinya," tanyaku ke siswa itu saat ia mencoba berdiri mendekati mahluk halus di depan kelas ini.
"She shooed me away," jelas siswa ini untuk menggambarkan mahluk halus itu tidak ingin ia berdiri mendekatinya. Siswa ini tetap merasa tenang berdiri di sekitar mahluk halus yang dilihatnya sambil menanti instruksi selanjutnya dari saya.
Saya memberikan instruksi ke siswa lainnya untuk mengajukan 1 pertanyaan kepada siswa pemilik indera keenam itu tentang deskripsi fisik dari mahluk halus yang ada di depan kelas. Siswa ini dengan cukup lancar menjelaskan sejumlah pertanyaan dari teman-temannya mengenai usia, gaun, desripsi rambut, serta pertanyaan lain mengenai deskripsi fisik mahluk halus tersebut.
"Usianya sekitar 30 tahunan, rambutnya panjang sebahu, gaunnya putih polos panjang hingga menutupi kakinya.....," demikian bagian deskripsi yang disampaikan siswa berindera keenam ini saat menjawab setiap pertanyaan dari teman-temannya dalam percakapan bahasa Inggris.
Saya sendiri sebenarnya sudah mengetahui deskripsi tentang mahluk halus ini dari beberapa karyawan dan petugas keamanan yang pernah melihatnya. Saat jawaban demi jawaban deskripsi mahluk halus itu disampaikan, saya mulai meyakini bahwa siswa ini memang memiliki indera keenam.
Setelah semua siswa mendapatkan giliran bertanya, tibalah giliran terakhir untuk saya bertanya. "Sekarang kamu deskripsikan rupa wajahnya!" pintaku kepada siswa itu. Di dalam hati, aku berkata siswa ini benar-benar punya indera keenam apabila dia dapat mendeskripsikannya sesuai gambaran yang sudah saya pernah dapatkan sebelumnya.
Siswa tersebut menoleh ke wajah mahluk tersebut dan sempat terdiam sejenak sebelum berkata kepadaku:"It's scary, sir." Siswa ini sempat terbelalak saat melihat wajah mahluk itu dan menyampaikan pesan kengerian yang dilihatnya. "Define the word scary," pintaku kepadanya untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata scary.
"The blood is all over her face," jelasnya kepadaku dengan raut muka tegang. Segera saya yakin siswa ini memang memiliki indera keenam karena desripsi yang saya dapatkan dari beberapa orang yang pernah melihatnya adalah mahluk ini memiliki wajah yang tertutup oleh lumuran darah.
Tidak lama kemudian, saya meminta semua siswa di dalam kelas berdoa menurut agama masing-masing selama 2-3 menit. Saat saya mengatakan amin untuk mengakhiri doa bersama, siswa itu menimpalinya dengan berkata:"She's gone, sir." Siswa ini mengamini doa bersama itu dengan menyampaikan kabar mahluk halus itu sudah tidak ada di kelas.
Refleksi permasalahan
Peristiwa di atas memang terjadi 7 tahun lalu. Tetapi, ada 1 nilai berharga dan relevan hingga saat ini bahkan sampai masa mendatang. Doa menjadi jawaban dari permasalahan yang muncul dari kelas saya yang multikultural dan multireligius.
Hal terpenting yang perlu dicatat oleh bangsa Indonesia yang majemuk ini adalah ancaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah karena kita kadang tidak sadar bahwa kita dikenal sebagai negara beragama, tetapi justru menganggap agama bukan sebagai kepentingan utama.
Bahkan dalam beberapa kasus, agama terkadang hanya digunakan tidak lebih dari komoditas politik untuk memenangkan suara atau merebut pengaruh dan jabatan tertentu dengan praktik memecah belah bangsa, seperti dalam kasus "cebong dan kampret".
Contoh kasus lainnya yang mengundang keprihatinan di negara ini adalah berbagai kasus pembunuhan hingga kasus bunuh diri, yang dilakukan baik oleh individu hingga kasus bunuh diri oleh 1 keluarga dalam beberapa tahun terakhir. Seharusnya masalah seperti ini tidak perlu terjadi apabila kita sepenuhnya beriman untuk mengatakan bahwa kuasa Tuhan jauh lebih besar dari apapun masalah yang kita hadapi.
Begitu juga saat kita harus menghadapi kenyataan akan terbentuknya pemerintahan baru di negara ini di tengah ketidakpuasan beberapa pihak karena capres dan cawapres yang diunggulkannya tidak keluar sebagai pemenang pilpres tahun ini.
Kita seharusnya selalu bersyukur tidak banyak lagi kampret dan cebong yang berkeliaran dalam tahun politik saat ini karena masing-masing sudah merasa tertipu. Setidaknya rasa tertipu itu patut kita syukuri karena kita dipaksa untuk menjadi dewasa berhadapan dengan perbedaan pandangan, suku, ras dan agama dalam kepentingan apapun, termasuk dalam politik. Bukan lagi menjadikan agama hanya sekadar komoditas politik atau menjadi kesurupan sendiri karena terlalu sering mengkafirkan orang yang berbeda agama tanpa sadar dirinya sendiri hanya mampu berpikiran sempit, bahkan tidak jauh lebih baik dari seorang ateis sekalipun.
Kita juga seharusnya bersyukur suara penentangan hasil pilpres tahun ini tidak sampai seperti kasus penentangan hasil pilpres 5 tahun lalu saat terjadi unjuk rasa di depan kantor Bawaslu Jakarta yang berakhir rusuh hingga menimbulkan korban jiwa dan materi. Kepolisian saat itu menangkap adanya indikasi martir di balik aksi kerusuhan.
Kalau kita pelajari, permasalahan bangsa terus bergulir dalam dinamika berbeda dari 1 pemerintahan ke pemerintahan lain. Ada kekhawatiran sejumlah pihak bahwa pemenang pilpres tahun ini rawan untuk ditunganggi kepentingan rezim Orde Baru yang sarat dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta penindasan demokrasi. Ini yang seharusnya kita sikapi bukan dengan tindakan apriori, melainkan dengan selalu menaikkan doa bangsa bagi kebaikan negara kita.
Masalah individu dan bangsa ini adalah bagian dari proses untuk menguji kualitas karakter kita. Tentunya ada banyak masalah yang tidak selesai hanya untuk dibahas dalam artikel ini. Namun, ungkapan doa pribadi dan bangsa banyak membuka lembaran keceriaan di tengah kedukaan dan ketidakpastian tahun-tahun mendatang.
Ada baiknya kita melihat setiap masalah dengan merenungkan kutipan dari Captain Jack Sparrow sebagai pembuka artikel ini. "Masalah terbesar yang kita hadapi bukanlah terletak pada masalahnya, melainkan bagaimana kita menyikapi masalah itu sendiri."
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews