Pers harus tetap tegas lurus meski oligarki kini gencar menelusup ke sendi-sendi kepemilikan perusahaan pers.
Tekanan yang berubi-tubi membuat kondisi pers Indonesia saat ini cukup memprihatinkan. Sangat dikhawatirkan pers Indonesia akan menjadi bagian dari era disinformasi. Untuk itu semua pemangku kepentingan wajib menghidupkan kembali ruh perjuangan pada pers Indonesia.
Meski oligarki kini gencar menelusup ke sendi-sendi kepemilikan perusahaan pers, tapi insan pers harus tetap busung dada untuk tidak terkooptasi dalam membela kebenaran.
Banyak muncul pemikiran yang orisinal. Mengingatkan bahwa tantangan pers setiap era memang berbeda-beda tetapi ruhnya harus tetap dijaga. Misalnya pers sebagai social control.
Salah satu tekanan yang dialami media massa mainstream adalah dari media sosial. Rendahnya literasi masyarakat mengakibatkan berkembangnya persepsi bahwa media sosial itu sama saja dengan media massa. Celakanya masyarakat lebih memilih mengakses medsos yang lebih mudah dan lebih hangat.
Secara kualitatif semakin tidak jelas batasan antara medsos dengan media massa. Namanya media massa tapi karakternya seperti medsos. Sama-sama menyebar realitas palsu.
Semakin tidak jelas mana hoaks mana yang jujur. Kian kabur antara fakta dan opini. Tidak jelas mana fake news pada truth news. Iklan dicampur berita. Jadi alat propaganda yang kadang malah ikut menyebar kebencian. Jadinya pers Indonesia penuh subhat (samar-samar).
Medsos itu digerakkan oleh kekuatan dahsyat invisible hand yang membalikkan era informasi menjadi era disinformasi. Yang mengikis batas-batas yang haq dengan yang batil. “Dalam bahasa agamanya ada proses pergerakan min an -nuri ilad-dhulumat (dari terang menuju kegelapan),” katanya.
Seharusnya pers itu bagian dari instrumen pergerakan min ad-dhulumat ila an-nur (dari kegelapan ke yang terang).
Berarti pers itu harus mencerahkan dan mendidik masyarakat. Pers harus membela kebenaran. Memperjuangkan yang papa dan mengingatkan yang mapan. Melakukan social control. Pers menjadi kekuatan moral masyarakat.
Pers Indonesia harus kembali kepada jati dirinya yaitu sebagai pers perjuangan. Ruh pers Indonesia itu perjuangan. Boleh saja pers dikelola sebagai industri, tetapi ruh perjuangan ini harus dijaga.
Kita tidak harus berkiblat kepada pers Amerika yang mengklaim sebagai pilar keempat demokrasi setelah lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif. Nyatanya kini pers Amerika telah menjadi alat propaganda. Alat partai politik. Menjadi bagian dari oligarki.
Selain menerangi dan mencerdaskan, kewajiban pers (jurnalis) adalah menjalankan amanah fungsi kontrol (watchdog). Pers harus kritis, mengontrol dan mencegah terjadinya ketidak-adilan, terutama praktik penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, kolusi dan nepotisme dan praktik ilegal lainnya.
Pers wajib membatalkan semua praktik oligarki hasil persekongkolan antarkekuatan politik (political connection) di semua level, nasional maupun daerah. Pers harus berani apapun risikonya. Karena di sanalah letak marwah tertinggi berada.
Independensi pers harga mati. Obyektivitasnya juga tak bisa ditawar. Tidak boleh silau terhdap rayuan suap, jika tetap ingin memperteguh eksistensi pers sebagai backbone demokrasi.
Pers harus tetap tegas lurus meski oligarki kini gencar menelusup ke sendi-sendi kepemilikan perusahaan pers, tapi insan pers harus tetap busung dada untuk tidak terkooptasi dalam membela kebenaran. Insan pers harus mengambil jarak yang tegas dengan manajemen usaha media fire-wall atau pagar api agar independensi tetap terjaga.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews