Hotel Keparat Itu, Tempat Ki Hajar Menebar Benih

Ini barangkali isyarat yang dikatakan dulu oleh Rendra tentang kota ini: kegagahan dalam kemiskinan. Masih juga berlaku sampai hari ini....

Jumat, 23 Oktober 2020 | 06:17 WIB
0
301
Hotel Keparat Itu, Tempat Ki Hajar Menebar Benih
Hotel Zeist (Foto: Dok. pribadi)

Siang kemarin, saat pulang ke kampung masa kecil saya. Bukan untuk berkunjung ke sanak sedulur. Buat apa? Saya toh setiap saat masih terhubung. Siang yang sialan, karena karpet di rumah bodol sobek, harus dipotong dan diobras ulang.

Dan di sinilah saya lupa, bahwa saya harus untuk kali ke sekian memaki dan mensumpah serapahi. Tetangga kampung yang bangunan-bangunan tradisionalnya dibabat habis untuk hotel-hotel yang sama sekali gak ada mutu-mutunya di mata saya....

Dulu sekali, sebagai anak kampung. Kampung tengah kota tentunya. Saya adalah anak glidig, nakal, suka sekali berkelana main jauh dari rumah. Untuk sekedar "saba omah kanca", bertandang ke rumah teman. Atau yang paling sering pergi cari musuh untuk diajak berkelahi.

Membully tetangga kampung adalah suatu kenikmatan tak terkira. Apalagi kalau mereka berhasil mengidentifikasi kami: "Ana cah Beji, ngalih wae". Kita adalah public enemy yang perlu dijauhi. Senang melihat orang jeri untuk alasan yang sesungguhnya kami juga tak mengerti.

Mitos bahwa kami berasal dari kampung para gali!

Salah satu tempat kami "menjarah" adalah bangunan sekolah Taman Siswa yang ada di seberang kampung kami. Di Kampung Pujowinatan. Saya suka sekali mencuri kapur atau penghapus atau membawa pulang apa saja yang tersisa atau tertinggal di dalam kelas. Yang entah kenapa dibiarkan selalu terbuka hingga senja menjelang. Tak seperti sekolah Katolik saya yang tertib, yang hanya dibuka ketika aktivitas belajar berlangsung. Yang ketika bubaran kelas kembali terkunci!

Berpuluh tahun kemudian, saya baru tahu bahwa sekolah tersebut adalah cikal bakal tempat tokoh yang kemudian menjadi panutan hidup saya: Ki Hajar Dewantara. Di sinilah beliau memulai aktivitas pendidikan, keluar dari melulu medan perjuangan politik. Ya, bangunan satu lantai yang saat itu sebagian masih kotangan.

Bagian bawah berbentuk tembok, namun bagian atas masih gedeg bambu. Ia lah bangunan cikal bakal Taman Siswa yang didirikan KHD sebelum berpindah ke kawasan Wirogunan. Kawasan pendidikan modern lokal tertua yang didirikan di Jogja. Sesuatu yang menyebabkan KHD dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

Sebagai trah Pakualaman, tentu saja KHD memulai aktivitas pendidikan di kawasan yang masih jadi hegemoni "Pura". Sebagai gambaran, orang Jogja menyebut antonim atau istana kecil pembanding Kraton adalah Pura. Pura menjadi sangat mungil dibanding dengan kraton yang sangat besar. Sekalipun ia juga memiliki alun-alun, pasar, masjid, dan tentu saja satuan militer.

Dalam tradisi Taman Siswa, yang saat ini menjadi surut: pembangunan dan pengembangan perguruan ini selalu berdasarkan urunan dan gotong royong simpatisan. Bukan dari merengek "ider proposal" kepada lembaga pemerintah atau pengusaha. Pride yang sekarang tertatih2 dipertahankan.

Taman Siswa sempat menjadi pernah besar dan mengindonesia, karena semangat tersebut. Sesuatu yang hilang di hari ini pada dirinya, namun dicontek habis oleh lembaga pendidikan lainnya yang justru makin agresif!

Kali kemarin, di luar saya kembali misuh. Saya sempatkan untuk memperhatikan secara detail, bangunan baru yang merampok warisan sejarah itu!

Entah garis waris KHD seblah mana yang sedemikian tega, merubah bangunan indah, terbuka, dan ramah itu menjadi sebuah hotel kubus dengan arsitektur yang sedemikian pragmatis dan sama sekali tidak stylis itu. Sangat buruk karena hanya sebuah kubus, yang saya pikir tak lebih dari desain karya anak STM. Gak ada bau dan sentuhan arsitek ternama dan berkararakter apa pun. Cilakanya, hotel ini diwarnai, dicat dengan cita rasa pop yang harus membuat kita menghela nafas!

Sebuah budget-hotel yang salah pilih status dan situs!

Dan apa namanya? Zest! Artinya: animo, semangat. Maksudnya barangkali semangat meruntuhkan bangunan bersejarah. Semangat lama yang dianggap ketinggalan zaman dan tak mendatangkan keuntungan. Eh!

Bagian paling norak dari bangunan ini adalah upayanya meninggalkan karakter lokal yang memang disarankan oleh Pemkot. Pilar bangunan tradisional ala bangunan Kraton Jogja. Namun karena kemudian justru hilang jejak dan dikaburkan. Karena dilabur dengan warna hijau. Karepmu ki piye to tel, hotel. Hawong ketitipan satu scene, satu aksen penanda saja yang akhirnya dibusak, dihapus demi menonjolkan sisi pop-mu.

Hotel yang gagal secara desain dan itu menjengkelkan. Lalu ketika hari-hari ini hotel sepi akibat pandemi, kami harus ikut prihatin? Kalau kalian mengeluh mengatasnamakan tenaga kerjamu kami harus simpati? Ha kok le....

Dan itu belum seberapa. Cerita dan derita kampung ini belum berakhir. Sepelemparan baru darinya, di rumah yang dulu saya kenal sangat asri. Dengan halaman berumput hijau yang selalu saya "injen", intip dengan diam-diam. Kini sudah dibangun sebuah konstruksi hotel berlantai sembilan yang tak kalah angkuhnya.

Lagi-lagi hotel yang tak ramah lingkungan. Entah darimana mereka kemudian akan menghisap sumber airnya. Ha kalau tetangga-mu itu megap-megap mempertahankan hidupnya. Hakok masih dibangun lagi hotel-hotel baru. Cilaka kok ngajak-ngajak...

Jogja itu penuh hal baik. Tapi juga hal-hal kampret dan brengsek seperti ini. Moratorium kan sudah ada? Gak boleh ada hotel baru lagi. Gampang itu, ngeles saja itu keputusan penetapannya sudah dibikin jauh hari sebelum moratorium. Atau kalau setelahnya, tentu ada surat saktinya. Keserakahan itu memang tak mengenal batas.

Ini barangkali isyarat yang dikatakan dulu oleh Rendra tentang kota ini: kegagahan dalam kemiskinan. Masih juga berlaku sampai hari ini....

***