Taburan Sedekah dari Seorang Mayat

Pada dasarnya dalam Islam, pahala sedekah sendiri untuk orang yang sudah meninggal itu bernilai sangat tinggi.

Sabtu, 20 Juni 2020 | 23:13 WIB
0
4811
Taburan Sedekah dari Seorang Mayat
Pengiringan jenazah menuju makam (foto: islam.nu.or.id)

Indonesia selain terkenal memiliki berbagai konflik politik, terkenal juga di dalamnya mengenai kebudayaan. Aset kekayaan ini, nampaknya sangat melekat pada tubuh negeri kita tercinta ini. Masuknya Islam di Indonesia pun akan sulit ketika tidak dibarengi dengan unsur kebudayaan yang ada di dalamnya.

Mengutip kalimat dari Kang Ulil Abshar Abdalla ketika menjadi narasumber diskusi online di instagram @historiadotid, yang kurang lebih berbunyi seperti ini “para pembawa Islam atau para wali itu membawakan Islam di Indonesia tidak lepas dari unsur kebudayaan di daerah yang mereka injak. Karena mereka tahu bahwa Islam tidak bisa diterima oleh masyarakat setempat kalau tidak mengadopsi kebudayaan setempat”.

Dalam koridor khusus, sebenarnya hal di atas sangat relevan jika yang kita lihat di daerah Jawa. Karena walisongo (Organisasi wali yang masyhur di Indonesia) semuanya memiliki napak tilas di tanah Jawa. Sebelum datangnya para wali, sebenarnya tanah Jawa sudah memiliki peradaban sendiri yang mana mayoritas beragama Hindu dan Buddha.

Jawa memang kerap masyhur karena dunia mistisnya dan juga dengan dunia filosofisnya. Jadi disetiap kegiatan atau adat orang Jawa sebetulnya memiliki landasan filosofisnya.

Tidak menutup kemungkinan landasan tersebut mendasar ke dunia teologis atau dunia ketuhanan. Mungkin dahulu mereka merujuk pada nenek moyang mereka, akan tetapi setelah masuknya walisongo, rujukan mereka bukan lagi nenek moyang, melainkan Gusti Allah (Tuhan Yang Maha Esa).

Apa saja contoh dari akulturasi yang para walisongo bawa di Indonesia khususnya di tanah Jawa? Salah satunya dapat kita lihat pada upacara kematian. Ketika membahas tentang upacara kematian di Jawa, bisa sedikit kita cermati prosesinya pada lagu Kelayung-layung karya Pak Bugiakso. Dalam reff lagu tersebut berbunyi:

Ditumpakke kereto Jowo
Rodane roda manungso
Ditutupi ambyang-ambyang
Disirami banyune kembang

Jika diartikan, kurang lebih seperti ini “dinaikkan/ditempatkan kereta Jawa (keranda), rodanya roda manusia, ditutupi ambyang-ambyang (kain penutup keranda), disirami air bunga”. Kenapa keranda di sini identik dengan kereto Jowo? Kalau menurut penulis sendiri, bisa jadi keranda yang dipakai di Jawa bentuknya berbeda dari daerah lain terutama luar negeri yang kebanyakan memakai peti mati.

Roda kereta (keranda) tersebut berbentuk manusia yang mana berarti manusialah yang menggotong dan mengantarnya untuk sampai ke kuburan si jenazah. Setelah pemakaman selesai, barulah kuburan itu disirami air kembang. Tapi saya menafsirkan lirik “disirami banyune kembang” justru mengait pada perjalanan mengantar jenazahnya.

Hal ini dikarenakan ketika di dalam perjalanan menuju kuburan itu, ada seseorang yang menyebarkan atau menaburkan kembang, beras kuning, dan uang recehan ke atas. Dan ketika itu semua jatuh, biasanya ada banyak orang terutama anak kecil mengambil uang receh hasil dari sebaran itu.

Dari hal di atas, timbul pertanyaan mengapa yang disebarkan berupa kembang, beras kuning, dan uang receh? Rasa penasaran ini kemudian saya tanyakan kepada seorang budayawan sekaligus peneliti budaya di daerah saya lahir, yaitu daerah Banyumas. Beliau bernama Azka Miftahuddin dan saat ini bekerja sebagai guru di salah satu SMP di daerah Banyumas.

Pertanyaan saya tadi akhirnya mendapat jawaban dari beliau. Menurut beliau, menaburkan kembang itu bermakna supaya wangi, jadi semasa hidupnya bisa diampunkan segala dosanya agar kembali fitrah dan selamat di dalam kubur. Lagi pula, Rasul SAW juga suka dengan wewangian, dengan begitu upaya ini sebenarnya dilakukan guna mengamalkan salah satu sunnah Rasul SAW. Prosesi untuk mendapatkan syafaat Rasul di akhirat memang salah satunya dilakukan dengan cara mengamalkan sunnahnya. Beras kuning bermakna bahwa hidupnya sudah layu.

Selain itu, beras kuning juga bermakna bahwa ketika sudah menjadi mayat, maka beras sudah tidak menjadi makanan pokok lagi dan hal ini juga dikarenakan beras telah disebar sehingga tercerai-berai tak layak untuk dimakan.

Dari literatur yang pernah saya baca juga, tujuan disebarkannya beras kuning yaitu untuk sedekah kepada hewan seperti ayam dan yang lainnya. Jadi ketika rombongan sudah melewati jalan tersebut, biasanya ada ayam yang kemudian memakan beras hasil dari penaburan tersebut. Kemudian uang receh yang disebarkan itu sebenarnya bertujuan untuk mengundang banyak orang supaya turut serta mengantar jenazah sampai ke kuburan.

Yang terakhir ini memang sedikit lucu, karena kebanyakan orang Jawa khususnya anak kecil masih kekurangan uang jajan sehingga dalam prosesi upacara kematian tersebut dapat mereka ikuti guna menambah uang jajan mereka. Tanpa mereka sadari (karena saking asyiknya berebut uang receh), akhirnya mereka membuntuti jenazah sampai ke liang lahatnya.

Tanpa disadari pula, bahwa si mayat telah bersedekah kepada para pengambil uang sebaran itu. Pada dasarnya dalam Islam, pahala sedekah sendiri untuk orang yang sudah meninggal itu bernilai sangat tinggi.

Sehingga, wajar ketika mayat sudah disemayamkan, kemudian di rumah duka diadakan slametan atau selamatan seperti tujuh hari kematian, empat puluh hari kematian, dan berbagai slametan yang lainnya yang memiliki esensi sedekahnya si mayat guna menyelematkan hidupnya di alam barzah.

***