Komnas HAM dan Peretasan Tempo

Menyerang hacker, atau buzzer dan influenzer bayaran, sebetulnya lucu juga. Kenapa yang diserang bukan argumennya, tapi bentuk dan karakter medianya?

Minggu, 23 Agustus 2020 | 21:21 WIB
0
431
Komnas HAM dan Peretasan Tempo
Ilustrasi hacker (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Baru saja saya membaca berita “Komnas HAM Minta Polisi Bongkar Peretasan Situs Tempo” (Kompasdotcom, 21/08/2020, 12:13 WIB). Tanpa bermaksud membela peretas, saya menyebut pernyataan Komnas HAM berlebihan. Khas pernyataan orang yang nggak ngerti hidup di jaman apa.

Siapa dan apapun yang hadir di medsos, atau media online, berhubungan dengan internet, sangat dimungkinkan untuk dibajak atau diretas. Tapi dari sejarah perkembangannya, hampir tak ada peretasan berlaku tetap. Peretasan hanyalah semacam gangguan kecil yang segera bisa diatasi. Kecuali yang diretas bener-bener bodoh dan gaptek. Atau kecuali yang dihadapi adalah hacker hitam atau abu-abu.

Di dunia para hacker, ada tiga penggolongan hitam, abu-abu, dan putih. Yang hitam dikategorikan jahat, dengan beberapa ciri operasionalnya. Yang abu-abu jahat juga, karena tujuannya pemerasan atau menawarkan jasa. Sementara hacker putih, tidak mengambil keuntungan apapun, kecuali pada sisi lain justeru sekedar mengingatkan kelemahan sistem pengamanan yang di-hack. Atau jika tidak hanya ingin menunjukkan eksistensinya.

Menilik apa yang dikatakan Setri Yasra, Pimpred tempodotco, peretasan terjadi semalam pukul 00.30 dan berlangsung 15 menit. Peretas memberi pernyataan agar tempo menyetop hoax dan kembali ke jurnalistik yang benar, dengan iringan lagu ‘Gugur Bunga’.

Saya menduga, peretas mungkin merasa terganggu berita tempo soal buzzer bayaran dan sebagainya, dalam hari-hari ini. Ini semacam hacker putih, yang hanya menyatakan eksistensinya. Tak mengambil keuntungan apa-apa, atau tindakan yang merugikan secara material kepada Tempo.

Pernyataan peretas yang disampaikan dalam aksi peretasannya, adalah cara penyampaian pendapat ke media tersebut (sekedar unjuk rasa). Sama seperti jaman analog, membawa poster dan kemudian teriak-teriak di depan gedung lembaga yang diprotes. Jangan lupa, hacker juga punya standar ethic dalam melakukan hacking. Heran?

Apa yang dilakukan peretas, adalah aksi demo biasa. Tentu saja menjengkelkan, tetapi hal itu akan susah dihindarkan. Masing-masing jenis media, mempunyai karakter dengan cara ucap berbeda. Resiko “bermain” dengan media online atau internet, memahami karakter itu. Maka yang harus dilakukan adalah langkah antisipasi.

Senyatanya, mengutip Yesri pula, tim IT mereka langsung bereaksi, dan bisa mengambil alih kembali situs tempo dalam waktu singkat.

Mengenai tudingan atau ancaman kebebasan jurnalistik, bahaya demokrasi, rasanya kok berlebihan. Lagian, untuk urusan pers ini (mungkin karena Tempo), kok tiba-tiba Komnas HAM heroik banget. Mbok biasa saja. Bukan berarti yang dilakukan peretas tidak salah, tetapi itu kenyataan kita hari ini. Orang luar bisa gampang membongkar kunci kamar rumah kita. Itu karena kelemahan teknologi informasi, yang sampai kini masih mencari cara bagaimana sistem pengamanan lebih terjamin.

Sekarang ini, sistem pengamannya masih mengadalkan nasihat kreativitas, soal konfigurasi data. Karena secara teknologi memang belum ditemukan cara pengamanan paling valid. Meski pun itu bernama Pentagon, CIA, KGB, apalagi cuma Tempo, Din Syamsuddin, dan Rocky Gerung yang konyol.

Jika mengatakan buzzer bayaran, hacker bayaran, dan sebagainya, buktikan hal tersebut secara faktual dan berjalurkan hukum. Jika hanya ngomdo, itu menunjukkan kelemahan mental, karena tak bisa mengatasi situasi yang belum siap dihadapi. Kenyataan teknologi memang kejam, dan para pakar (jaman analog) silakan bunuh diri sebelum mati linglung.

Apakah peretasan seperti itu tak mudah ditangkap? Mudah, jika pelakunya bodoh. Tapi, yang bodoh biasanya bukan hacker. Kalau yang ngaku influenzer, buzzer, apalagi tukang copast hoax dan pemroduksi hoax di medsos, mungkin gampang. Digertak pakai sambal saja, langsung mungkret, minta maaf, dan secara tidak etis mengumbar cerita ke pihak lain.

Persis youtuber bernama Anji atau Baim Wong, yang dibully netizen langsung ketahuan kualitasnya. Apalagi penyebar ujaran kebencian, begitu balik dibully atau dilaporin polisi, minta ampun-ampun deh. Berapa kali berita dengan logo Tempo dipalsukan (itupun dengan cara analog, manual), judul dan isi diganti, untuk memfitnah dan menyudutkan orang? Apakah Komnas HAM punya pembelaan?

Sementara itu, untuk membuktikan omongan Din, atau para SJW yang suka ngaku akunnya di-hack orang, jika memang benar terjadi, lapor ke Polisi, atau ke vendor jaringan mereka. Silakan Komnas HAM mendampingi, untuk memastikan benar tidaknya. Ini jaman internet, bukan lagi jaman media cetak dan analog. Itu faktanya. Ayo bangun! Lihat Bu Tejo viral juga terkaget-kaget. Nggak terima, semudah itu orang jaman sekarang terkenal.

Para hacker sekelas yang meretas Tempo, tak akan konyol dan bodoh meninggalkan jejak. Apalagi jika tujuannya hanya menyampaikan pesan. Di mana salahnya menyampaikan pesan? Salahnya, kita belum merasa lazim dengan cara itu. Makanya terkaget-kaget, terus ngigau ancaman demokrasi. Kalau nggak kuat resikonya, fokus ke media cetak saja. Berani?

Jika tak siap dengan perubahan media, memang susah. Sekali lagi, jenis atau bentuk media yang berbeda, tentu karakternya juga berbeda. Menyerang hacker, atau buzzer dan influenzer bayaran, sebetulnya lucu juga. Kenapa yang diserang bukan argumennya, tapi bentuk dan karakter medianya? Ini demokrasi macam apa, membungkam eksistensi generasi baru dengan teknologinya? Nanti kalau balik kita tuding Tempo mengritik keras PT Freeport, dan kemudian anteng setelah Freeport pasang iklan (seperti dalam edisi kemerdekaan kemarin), bijimana?

Himbauan pada Komnas HAM, sebaiknya tak usah sok pahlawan. Jadi lembaga biasa saja tapi ‘solutip’ gitu. Misal, menasihati pemerintah gimana agar nomor perdana HP itu 1 NIK 1 nomor ponsel. Dan harus didaftar on paper ke lembaga negara. Jadi kalau ada yang nyebar hoax atau teror online, lebih gampang lagi dilacak.

Tapi kalau yang ketangkep temen-temennya, orang Komnas HAM juga harus fair nerima. Nggak usah kutbah soal moral. Lagian kok getol-getolnya Komnas HAM ngurusin pers dalam konteks ini?

Bagaimana pendapat Komnas HAM tentang Ibu Ariati di NTB, yang tidak mendapat pelayanan kesehatan memadai, hingga bayinya meninggal gegara protokoler kesehatan Covid-19?

Kapan juga Komnas HAM menolong dan melindungi masyarakat konsumen, yang selama ini data pribadi dan hak azasinya diacak-acak, dan diperjualbelikan ke berbagai user?

@sunardianwirodono

***