Praktik dagang poligami sungguh keterlaluan banalnya. Jauh panggang dari api dengan semangat luhur Islam rahmatan lil alamin. Apalagi bila dipahamimunculnya justru di masa pandemik.
Hari ini membicarakan (atau malah menuliskan) hal-hal yang berbau sejenis poligami, itu bisa diidentikkan atau minimal dituduh sebagai "anti Islam". Perihal sejenis juga berlaku untuk banyak topik lain seperti jilbab, niqab, atau yang barangkali paling aneh orang shalat (sendirian atau berjamaah) di jalanan. Zaman absurd di mana demokrasi atau kebebasan berpendapat juga selalu harus dianggap berjalan tidak seimbang atas nama "menjaga perasaan mayoritas" yang bebas berbicara apa saja dan berperilaku semau-mau mereka.
Artinya jika kita minoritas, selain harus siap dipersekusi atas dasar alasan apa pun juga harus bersedia bersikap tenggang rasa. Tidak boleh menyakiti, tapi harus siap disakiti. Itu tampaknya akan menjadi hukum yang semakin lumrah di zaman serba boleh, sekaligus tidak boleh ini!
Biarpun "minoritas dalam mayoritas", tapi karena "mayoritas dalam mayoritasnya" diam. Maka suara minoritas dalam mayoritas-lah yang harus didengar, terus diberitakan, dan tidak boleh dikritik. Apalagi dianggap salah. Pertanyaannya: Apakah Ini (atau itu ya) dilema Islam kontemporer di hari ini?
Tidak! Itulah dilema Islam sepanjang sejarah negeri ini. Mari kita belajar sejarah bersama...
Sesudah Indonesia merdeka (atau lebih tepat saya sebut "memaksakan diri merdeka"). Dalam perdebatan lain, malah ada yang beranggapan "kemerdekaan Indonesia adalah sebuah hadiah". Anehnya hadiah kok dari penjajah yang kalah. Logikanya akan mudah patah, karena akan menjadi sulit diterima oleh negara pemenang. Masa revolusi yang berlarut-larut bahkan tak pernah selesai, mungkin hingga hari ini.
Masa empat tahun sesudahnya, bahkan lebih panjang lagi hingga nyaris lima belas tahun. Apa yang disebut adalah "menyatukan" kembali daerah-daerah atau lebih tepat gagasan yang nyaris terpecah belah. Hal tersebut kelak di hari ini, muncul istilah NKRI Harga Mati. Ya, karena di masa lalu NKRI memang diperoleh dengan perjuangan yang tidak ringan. Di masa yang fragile (rapuh), tidak aman, tidak mapan, tanpa stabilitas juga pertumbuhan, dengan gejolak yang tak pernah padam.
Pada situasi itulah, salah satu isu yang paling menonjol adalah poligami.....
Dan sialnya, representasi yang paling mencolok mata justru dicontohkan oleh presidennya sendiri: Soekarno! Tidak sekedar sekali, tapi kawin-cerai sebanyak sembilan kali. Sebagian para pembela dan pemujanya, selalu beragumentasi bahwa kita harus (mau) memahami betapa beratnya sikon yang harus dihadapi Sukarno.
Tak hanya masalah internal dengan bangsanya sendiri, juga dengan masalah eksternal dengan sikapnya yang dianggap sebagai garda paling depan anti imperialis dan kolonialis. Artinya "perempuan" dianggap sebagai penyeimbang dalam hidup Sukarno. Dan mau tidak mau, suka tidak suka, harus diterima sebagai suatu keniscayaan.
Tapi apakah sikap dan perilaku itu didiamkan saja oleh publik? Tidak!
Saya mencatat pada masa itu, banyak organisasi wanita yang menentangnya. Namun tentu saja yang paling keras adalah Gerwani, sebagai salah satu organisasi underbouw PKI. Alasan Gerwani menolak poligami karena di dalamnya mengandung unsur kawin paksa dan kekerasan seksual.
Argumentasi kawin paksa selalu berujung masalah sosial-ekonomi. Ketidakstabilan harus dikoreksi dengan sedikit stabilitas melalui pansos. Sedangkan alasan kekerasan seksual sebagaimana lazimnya, dalam sebagian besar kasus poligami melulu hanya bermanfaat "menyembuhkan" sakit para lelaki yang memiliki hasrat seksual berlebih. Berkat kampanye-nya ini, pada masanya Gerwani menjadi organisasi wanita terkuat secara politik! Bahkan terbesar dari jumlah pengikutnya.
Jadi bila hari-hari ini, walau PKI telah lama dibubarkan, dan dilarang, tetapi tetaplah ia dijadikan hantu. Sejenis shadow boxing, terus diantemi walau sekedar bayang-bayang masa lalunya.
Adalah sangat wajar bagi kelompok paranoia itu masih dianggap sebagai ancaman. Silogismenya jadi sederhana (dan harusnya gampang saja dipahami) bahwa siapa yang menentang poligami dengan mudah akan dicap sebagai anti-Islam dan pewaris PKI! Atau PKI gaya baru atau bibit baru atau apa saja. Pokoknya harus ada stigma PKI-nya...
Barangkali hal inilah yang terjadi. Nyaris di setiap saat, selalu bermunculan promosi ajakan untuk melakukan "praktek poligami". Sebagian besar tentu dengan bisik-bisik dan jalan tertutup. Namun yang menonjol, sudah sangat terbuka bahkan dengan ini yang paling bajingan. Dengan kurus singkat terbuka dengan biaya yang walau sudah disikon tetap saja sangat mahal?
Tentu saya tidak sedang mempermasalahkan tentang diperbolehkannya poligami dalam Islam bagi mereka yang mampu dan dengan syarat yang ketat. Tapi bila itu "diperdagangkan, didiklatkan, lalu diberi short-cut panduan". Diberi ilusi-ilusi memudahkan, diberi mimpi-mimpi memabokkan. Hingga muncul jargon baru aneh: "suamimu, surgamu". Dan imbalan bagi perempuan yang mau dimadu adalah menjadi bidadari surga. Yang kelak akan kembali menjadi pelayan bagi......
Ah sudahlah! Pancen ...
Sekali lagi, bila belajar dari sejarah. Minimal sejarah Indonesia modern. Isu poligami itu bukan melulu isu agama, tetapi terutama sosial-politik. Poligami (juga radikalisme) bisa tumbuh subur dalam masyarakat yang sakit, timpang secara ekonomi dan keadilan hukum masih merupakan mimpi.
Sebetapa pun era reformasi ini menjanjikan banyak hal baik, tapi sesungguhnya adalah masa instabilitas yang berkepanjangan. Kalau tidak mau dikatakan hanya pengulangan masa gaduh dan rapuh Orde Lama.
Kemana semua ini berujung? Sebagaimana juga dengan isu merebaknya wahabisme dan kadrunisasi. Semua didorong untuk merindukan masa-masa stabil seperti Orde Baru. Masa di mana poligami nyaris mati kutu, agama tidak jadi persoalan harian yang bikin sesak di dada. Korupsi boleh ada, asal semua berharga murah. Zaman normal, bukan new-normal yang aneh ini, yang kita dipaksa untuk menerimanya....
Dan siapa dibelakang itu semua? Kan sudah jelas......
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews