Kekuasaan Tanpa Hukuman

Apapun penyebab keputusan pemangkasan jam operasional itu, bisa dinilai keputusan tidak berdasar kajian mendalam, atau dalam bahasa netizen; ngawur.

Rabu, 18 Maret 2020 | 01:24 WIB
0
333
Kekuasaan Tanpa Hukuman
Ilustrasi pemimpin (Foto: facebook/Sunardian Wirodono)

Betapa menakutkannya kekuasaan tanpa kontrol. Itu jaman dulu. Yang terjadi sekarang, lebih mengerikan; Kekuasaan tanpa hukuman.

Bagaimana kekuasaan (bisa) dihukum? Karena kekuasaan dalam konteks demokrasi, adalah kekuasaan bersyarat. Kekuasaan dalam tanda petik. Berbeda dengan kekuasaan dalam sistem feodal, monarki, teokrasi, atau dalam sistem politik yang otoritarian.

Itulah maka ada pemisahan lembaga kekuasaan seperti kita kenal dalam tiga pilar demokrasi. Ada eksekutif, legislatif, dan judikatif. Hadeh, kok kayak kuliah dasar mahasiswa politik. Karena ketiga pilar itu, bisa berkomplot untuk rakyat sebagai pemberi mandat.

Kini di jaman digital, ketika semua anggota masyarakat adalah tokoh asyarakat (dengan alat komunikasi masing-masing), kontrol bisa langsung dilakukan oleh rakyat. Apalagi ketika legislatif yang mewakili kepentingan rakyat, bersekongkol dengan eksekutif.

Jika kita amati tiap detik, ocehan mengenai kelakuan pejabat publik (bahkan oleh pejabat publik pula), bukan hanya kritik, melainkan nyinyiran bernada fitnah dan hoax, terus diproduks. Dan juga bisa tanpa kontrol.

Ada yang empirik benar, terasakan, faktual, sungguh-sungguh terjadi. Meski tak sedikit yang jika bukan diniatkan menyebar hoax, lebih karena daya literasi yang rendah. Bukan hanya masyarakat awam, melainkan hingga anggota DPD, DPR, bahkan rektor universitas dengan simbol agama.

Kita bisa bilang pengawasan publik sekarang bersifat melekat. Pada Gubernur DKI Jakarta, misalnya. Tetapi apa yang terjadi? Mekanisme demokrasi tidak berjalan. Bahkan dalam kasus terakhir, ketika kemarin terjadi kekacauan karena pembatasan jam operasional bis Jakarta.

Hanya semalam setelah mendapat reaksi keras netizen, keputusan Pemda DKI kembali berubah. Kini bahkan menyediakan route malam tambahan, setelah jam 22.00 hingga 05.00, menyambung jam operasi yang pertama dari 05.00 s.d 22.00 yang kemarin dipangkas menjadi hanya sampai jam 18.00.

Apapun penyebab keputusan pemangkasan jam operasional itu, bisa dinilai keputusan tidak berdasar kajian mendalam, atau dalam bahasa netizen; ngawur. Itu menunjukkan kelas kepemimpinan yang rendah. Apalagi demikian mudah berubah-ubah, reaktif atas tekanan publik.

Memang kelemahan sistem demokrasi adalah, ketika kesalahan pilihan harus menunggu per-pemilihan berikut. Padal itu bukan waktu sebentar untuk menikmati kesengsaraan.

Bahkan lebih celaka, jika kelemahan dan kesalahan (dalam praksis) kekuasaan itu, justru diputar-balik pemilih fanatiknya yang berfikir sektoral dan sektarian Mengabaikan akibat yang sebetulnya sama dirasakan kelompoknya pula. Padahal, bagaimana rasa

Demokrasi adalah baik. Tapi membiarkan seorang yang terpilih bertindak bego, dan tanpa hukuman, adalah kekonyolan demokrasi itu sendiri. Apalagi dalam kesadaran demokrasi yang rendah, politik seolah justeru hanya jadi alat pemecah-belah dan adu domba. Mau benar atau salah, duit rakyat sudah pasti terhambur.

***