Kekayaan harta benda, ketenaran, kesuksesan karir pekerjaan hingga kekuasaan politik, memberikan kontribusi dalam hal kebahagiaan.
Manusia yang kejiwaannya normal atau sehat, tentunya menginginkan kebahagiaan dalam kehidupan yang sedang dijalaninya. Apa sebenarnya yang benar-benar terbukti valid bisa membuat kita bahagia? Kekayaan harta benda?! Ketenaran?! Kesuksesan dalam karir pekerjaan?! Kekuasaan politik?!
Beberapa tahun yang lalu, sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 80% dari milenial yang disurvei mengatakan bahwa tujuan hidupnya adalah menjadi kaya raya, dan 50%-nya mengatakan ingin jadi orang yang terkenal.
Benarkah demikian? Bukan, bukan. Banyak sekali bukti-bukti dari lembaran-lembaran masa lalu yang menunjukkan bahwa kekayaan, ketenaran, kesuksesan dalam karir pekerjaan atau kekuasaan, tidak berhubungan langsung dengan kebahagian.
Banyak contoh orang yang kaya raya, tenar, terkenal sukses dalam suatu bisnis, dan memiliki kekuasaan publik yang sangat berpengaruh, namun kehidupan pribadinya berantakan. Mulai dari Firaun hingga Chester Bennington. Ada yang jadi gila, bahkan sampai membunuh seluruh keluarga dan dirinya sendiri. Kemungkinan besar para pembaca sudah mengetahui bahwa ada satu contoh nyata yang sedang berlangsung di depan mata kita, kasus Sambo dan istrinya.
Di sisi lain, saya sendiri pernah menyaksikan langsung beberapa pasutri yang bahagia, padahal bisa dikatakan mereka tidak memiliki apa-apa, apalagi yang namanya kekuasaan. Samasekali tidak tenar, pekerjaannya memulung sampah, buruh kasar atau jualan es campur di tepi jalan di atas gerobak butut.
Beberapa waktu yang lalu, Iqbal Aji Daryono, seorang penulis profesional dari Yogya, menyarankan buku The Geography of Bliss karya Eric Weiner dalam sebuah postingannya di Facebook. Dia sangat merekomendasikan buku dari penulis favoritnya itu sebagai bahan pembelajaran dalam dunia kepenulisan. Hal utama yang membuat saya tertarik untuk membacanya, walaupun gak gitu tau isi bukunya tentang apa.
Seminggu kemudian, buku itu berada di tanganku, kubaca dengan santai. Yap, gaya kepenulisan Eric memang sangat bagus, sangat menarik, ngebacanya asyik. Setelah membacanya beberapa bab, sayapun memahami bahwa buku tersebut bercerita tentang misinya dalam mencari kebahagiaan di berbagai belahan dunia. Mulai dari Belanda negeri kebebasan cimeng dan prostitusinya, Swiss dengan ketenangan, kerapian, kebersihan dan alamnya yang sangat indah, hingga Amerika dengan keadidayaan dan kebebasan berpikirnya. Dia penasaran hal apa yang membuat negara-negara tersebut berada dalam daftar negara yang paling berbahagia di dunia pada masa buku itu dibuat, tahun 2008.
Saya jadi tertarik dengan topik kebahagiaan dan tergerak untuk ngebahasnya. Mula-mula mengingatkanku pada filem The Pursuit of Happynes, filem yang menceritakan bagaimana Chris Gardner bisa melalui fase kehidupannya yang sangat berat bersama putranya yang masih kecil, hingga akhirnya bisa mencapai kebahagiaan yang diinginkannya. Selanjutnya teringat dengan buku “Kimia Kebahagiaan” karya Imam Al-Ghaali.
Imam Al-Ghazali membagi dua jenis kebahagiaan, kebahagiaan semu, duniawi dan kebahagian hakiki, akhirat. Beliau memaparkan cara memperoleh kebahagiaan yang hakiki dengan cara mengenal diri sendiri, mengenal Allah Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta, mengenal dunia dan mengenal akhirat.
Terakhir, saya menemukan sebuah penelitian ilmiah tentang kebahagiaan yang sangat menarik. Penelitian terbesar dan terlama yang pernah dilakukan manusia terkait tumbuh kembang manusia. Harvard Study of Adult Development. Penelitian tersebut dimulai dari tahun 1938, 85 tahun yang lalu.
Mereka meneliti pertumbuhan dan perkembangan 724 orang yang menjadi objek penelitian. Setiap dua tahun mereka mencatat kondisi pekerjaan, kehidupan pribadi hingga kondisi kesehatannya.
Sekitar 60 orang masih hidup hingga tahun 2016, usia mereka sudah mencapai 90an. Tahap kedua dari penelitian tersebut sedang berlangsung, meneliti kehidupan sebanyak lebih dari 2000 orang keturunan dari objek penelitian tahap pertama.
Melalui TEDx, Robert Waldinger, direktur ke-empat dari penelitian tersebut, mengatakan bahwa satu hal yang sangat jelas dari hasil penelitian mereka adalah, “Good relationships keep us happier and healthier.”
Selanjutnya dia memaparkan tiga pelajaran besar yang sangat berharga terkait hubungan sosial. Pertama, jaringan sosial sangat baik bagi kita dan kesepian atau kesendirian bersifat toksik.
Orang-orang yang secara sosial terkoneksi dengan istri, anak-anak, keluarga, teman-teman dan komunitas, lebih bahagia, lebih sehat dan usianya lebih panjang. Kedua, kualitas hubungan sosial jauh lebih penting daripada kuantitasnya.
Terakhir, hubungan sosial yang baik bukan hanya melindungi kesehatan tubuh, tetapi juga melindungi fungsi otak, menjaga memori dan jauh dari kepikunan.
Ketika saya menelaah penelitian tersebut, sebagai seorang muslim, muncul sebuah ingatan yang sangat familiar. Muhammad Rasulullah telah menyampaikan sekitar 15 abad yang lalu bahwa menjaga hubungan baik dengan lingkungan sosial (silaturrahmi/silaturrahim) melapangkan rezeki dan memanjangkan umur.
Sampai disini, sebenarnya sudah sangat jelas apa yang benar-benar bisa membuat kita bahagia. Jelas saya tidak memungkiri bahwa kekayaan harta benda, ketenaran, kesuksesan karir pekerjaan hingga kekuasaan politik, memberikan kontribusi dalam hal kebahagiaan.
Hanya saja bukan faktor yang utama. Darisini kita juga memperoleh hikmah mengenai letak keadilan Tuhan terhadap seluruh manusia, apapun latar belakangnya. Semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kebahagiaan yang hakiki.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews