Dalam level negara, perantara ini adalah sistem demokrasi. Dalam demokrasi ini, sains digabung dan diramu berbarengan dengan domain lain seperti ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan politik.
Please deh...
Jika pemerintah anti sains dan lebih suka klenik, maka untuk mencegah infeksi virus adalah menebar sesajen ke pelosok negeri.
Tapi yang dilakukan pemerintah malah melakukan program vaksinasi yang basisnya sains.
Jika pemerintah anti sains dan lebih percaya politik untuk deteksi virus, maka jumlah sebaran kasus Covid ditentukan oleh sebaran jumlah sebaran suara perolehan parpol dalam pilpres dan pileg.
Tapi yang dilakukan pemerintah testing PCR dan antigen yang merupakan hasil inovasi sains.
Jika pemerintah anti sains, dan hanya ingin cuan saja maka orang-orang akan dibebaskan bepergian, berkerumun tanpa masker.
Tapi pemerintah mengikuti nasihat penelitian ilmiah untuk membatasi mobilitas dan mengikuti protokol kesehatan.
Jadi faktanya secara umum kebijakan-kebijakan inti pemerintah untuk menangani pandemi (vaksin, tes PCR & antigen, pengurangan mobilitas dan protokol kesehatan) memanfaatkan produk, rekomendasi dan pengetahuan yang dihasilkan oleh sains.
Ideologi dan praktek pemerintah sudah seiring dengan sains.
Lalu masalahnya dimana?
Masalahnya ada pada apa yang selanjutnya terjadi setelah mendengarkan dan mengikuti rekomendasi sains.
Misalnya, soal eksekusi di lapangan. Bisa saja semua ilmuwan top di dunia didatangkan dan memberikan rekomendasi terbaik berdasar sains. Tidak serta merta semuanya berubah. Karena kebijakan apapun harus dijalankan oleh sistem birokrasi yang ada.
Kita semua tahu dan punya pengalaman tidak manis dengan birokrasi di Indonesia. Meskipun pemerintah berusaha memotong birokrasi dengan membentuk organisasi-organisasi ad-hoc, tapi ujung-ujungnya yang bersentuhan dengan rakyat adalah birokrasi “dinosaurus” hingga ke RT-RW.
Birokrasi yang menjadi tangan yang menghubungkan kebijakan abstrak menjadi realitas sehari-hari di lapangan. Jika tangannya tidak kuat dan lentur maka tidak akan terjadi apa-apa juga.
Selain masalah sistem birokrasinya, semuanya baru berjalan baik jika ada data yang dapat diandalkan sehingga alokasi barang atau jasa yang disalurkan lewat birokrasi sampai ke orang yang dituju, di tempat yang benar, dan pada waktu yang tepat. Lagi-lagi masalah data adalah masalah klasik di Indonesia.
Grand strategy pemerintah sudah mengikuti rekomendasi sains tetapi kesulitan eksekusinya karena, terutama, terhambat birokrasi tidak efisien dan data tidak lengkap atau tepat.
Lalu berikutnya adalah sifat sains itu sendiri. Sains berhasil membuat kemajuan karena sains bergerak berdasarkan spesialisasi tinggi.
Sains dihasilkan di sebuah “Lab” yaitu sebuah ruang ideal yang bersih dari segala macam masalah kecuali masalah yang sedang diteliti.
Alhasil, produk sains tidak bisa dipakai begitu saja karena produk yang terbukti berhasil di “Lab” yang steril belum berarti berhasil di dunia nyata yang penuh dengan faktor-faktor di luar masalah utama tapi saling berhubungan.
Perlu ada perantara antara rekomendasi sains dan kebijakan publik.
Dalam level negara, perantara ini adalah sistem demokrasi. Dalam demokrasi ini, sains digabung dan diramu berbarengan dengan domain lain seperti ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan politik.
Sedangkan dalam level individu, perantaranya adalah hati nurani, empati, dan iba.
Jadi teman-teman, scientists atau bukan, gak usah terlalu “baper” mengkultuskan sains menjadi ideologi dengan istilah-istilah “anti-sains”, “pro-sains”, atau “percaya sains”. Jangan jadikan sains palu pembelah masyarakat.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews