Pemerintah Anti Sains?

Dalam level negara, perantara ini adalah sistem demokrasi. Dalam demokrasi ini, sains digabung dan diramu berbarengan dengan domain lain seperti ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan politik.

Sabtu, 5 Februari 2022 | 09:41 WIB
0
227
Pemerintah Anti Sains?
Presiden Joko Widodo (Foto: Republika.co.id))

Please deh...

Jika pemerintah anti sains dan lebih suka klenik, maka untuk mencegah infeksi virus adalah menebar sesajen ke pelosok negeri.

Tapi yang dilakukan pemerintah malah melakukan program vaksinasi yang basisnya sains.

Jika pemerintah anti sains dan lebih percaya politik untuk deteksi virus, maka jumlah sebaran kasus Covid ditentukan oleh sebaran jumlah sebaran suara perolehan parpol dalam pilpres dan pileg.

Tapi yang dilakukan pemerintah testing PCR dan antigen yang merupakan hasil inovasi sains.

Jika pemerintah anti sains, dan hanya ingin cuan saja maka orang-orang akan dibebaskan bepergian, berkerumun tanpa masker.

Tapi pemerintah mengikuti nasihat penelitian ilmiah untuk membatasi mobilitas dan mengikuti protokol kesehatan.

Jadi faktanya secara umum kebijakan-kebijakan inti pemerintah untuk menangani pandemi (vaksin, tes PCR & antigen, pengurangan mobilitas dan protokol kesehatan) memanfaatkan produk, rekomendasi dan pengetahuan yang dihasilkan oleh sains. 

Ideologi dan praktek pemerintah sudah seiring dengan sains.

Lalu masalahnya dimana?

Masalahnya ada pada apa yang selanjutnya terjadi setelah mendengarkan dan mengikuti rekomendasi sains.

Misalnya, soal eksekusi di lapangan. Bisa saja semua ilmuwan top di dunia didatangkan dan memberikan rekomendasi terbaik berdasar sains. Tidak serta merta semuanya berubah. Karena kebijakan apapun harus dijalankan oleh sistem birokrasi yang ada.

Kita semua tahu dan punya pengalaman tidak manis dengan birokrasi di Indonesia. Meskipun pemerintah berusaha memotong birokrasi dengan membentuk organisasi-organisasi ad-hoc, tapi ujung-ujungnya yang bersentuhan dengan rakyat adalah birokrasi “dinosaurus” hingga ke RT-RW. 

Birokrasi yang menjadi tangan yang menghubungkan kebijakan abstrak menjadi realitas sehari-hari di lapangan. Jika tangannya tidak kuat dan lentur maka tidak akan terjadi apa-apa juga.

Selain masalah sistem birokrasinya, semuanya baru berjalan baik jika ada data yang dapat diandalkan sehingga alokasi barang atau jasa yang disalurkan lewat birokrasi sampai ke orang yang dituju, di tempat yang benar, dan pada waktu yang tepat. Lagi-lagi masalah data adalah masalah klasik di Indonesia.

Grand strategy pemerintah sudah mengikuti rekomendasi sains tetapi kesulitan eksekusinya karena, terutama, terhambat birokrasi tidak efisien dan data tidak lengkap atau tepat.

Lalu berikutnya adalah sifat sains itu sendiri. Sains berhasil membuat kemajuan karena sains bergerak berdasarkan spesialisasi tinggi.

Sains dihasilkan di sebuah “Lab” yaitu sebuah ruang ideal yang bersih dari segala macam masalah kecuali masalah yang sedang diteliti.

Alhasil, produk sains tidak bisa dipakai begitu saja karena produk yang terbukti berhasil di “Lab” yang steril belum berarti berhasil di dunia nyata yang penuh dengan faktor-faktor di luar masalah utama tapi saling berhubungan. 

Perlu ada perantara antara rekomendasi sains dan kebijakan publik. 

Dalam level negara, perantara ini adalah sistem demokrasi. Dalam demokrasi ini, sains digabung dan diramu berbarengan dengan domain lain seperti ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan politik. 

Sedangkan dalam level individu, perantaranya adalah hati nurani, empati, dan iba.

Jadi teman-teman, scientists atau bukan, gak usah terlalu “baper” mengkultuskan sains menjadi ideologi dengan istilah-istilah “anti-sains”, “pro-sains”, atau “percaya sains”. Jangan jadikan sains palu pembelah masyarakat.

***