Apakah buzzer bayaran (hanya) milik Jokowi, atau Pemerintah, dan memakai APBN? Di dunia maling, teknik bluffing yang sering dipakai ialah ‘maling teriak maling’, atau ‘copet teriak copet’.
Di jaman teknologi digital, urusan ‘foto editan’ bisa jadi perbincangan politik. Dari sini, kita akan tahu bagaimana proses kelahiran penumpang gelap di jaman disrupsi informasi. Yang membuat kita baperan, dan mudah menuding ‘BuzzerRp’, bahkan tudingan itu dilakukan oleh buzzer bayaran karena haluan politiknya berbeda.
Debat-kusir photo Gunung Pangrango, hanya contoh kecil perdebatan media kita. Tapi debat kusir platform medsos pun bisa menyeret ormas macam MUI dan lembaga yang berani menamakan dirinya Dewan Pers.
Demikian pula para ortu yang gagal dalam karir politik, terutama yang bangga tapi baperan jadi oposan. Sering menunjukkan kedunguan mereka dalam berkomunikasi di abad berubah ini. Kedunguan itu termasuk dilakukan oleh manusia yang suka menuding orang lain dungu. Padal, hanya dia yang dungu, dan pengikutnya tentu.
Sementara, perubahan bukan sesuatu yang menyenangkan, bagi mereka yang mau mempertahankan kekuasaannya, dan sedang berada di zona nyaman. Lebih karena ketidakmampuannya untuk beradaptasi atau berubah pula. Di semua level, termasuk elite politik, lembaga media, bahkan kalangan akademik itu sendiri.
Senyampang itu, masyarakat menggeser aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata beralih ke dunia maya. Fenomena ini tentunya didukung karena munculnya teknologi digital, yang memudahkan aktivitas masyarakat.
Kemudahan itu, yang tidak pernah dilihat sebagai sebab-musabab, ketika pada sisi lain kita mengeluhkan mengenai tingkat kualitas SDM kita, kualitas kompetensi dan kompetisi kita. Kemampuan literasi masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif rendah. Belum lagi lemahnya kebijakan pemerintah, di sektor pendidikan, pendataan, serta UU serta peraturan mengenai komunikasi digital .
Dari situasi-situasi semacam itu, wajar jika yang terjadi adalah keriuhrendahan komunikasi dan informasi. Lebih besar dampak buruk daripada dampak baiknya. Karena rasa frustrasi, kemudian muncul sebutan ‘BuzzerRp’, yang oleh MUI hal itu disebutkan sebagai haram. Bahkan Dewan Pers menyatakan semestinya hal itu ditiadakan atau dilarang. Belum pula, yang nampak a-historis, para oposan Jokowi, menuding yang memusuhi mereka sebagai ‘BuzzerRp’.
Celakanya, para penuduh itu sebagiannya adalah buzzer bayaran dari pihak kepentingan politik yang memusuhi Jokowi. Padal, kelahiran ‘buzzer’ di Indonesia tak lepas dari praktik politik elite yang jadi penumpang gelap dalam proses demokratisasi kita.
PKS, sebuah partai kader dengan ideologi agama, adalah partai yang paling sadar untuk menggunakan ‘disrupsi informasi’, dengan merekrut 500.000 kadernya pada tahun 2011. Sebagaimana dikatakan Anies Matta, Presiden PKS waktu itu, untuk meraih 3 besar dalam Pemilu 2014.
Dalam Pilpres 2014, PKS memegang kendali pemenangan kampanye Capres Prabowo-Hatta Radjasa. Untuk itu PKS mendapatkan gelontoran dana besar, yang tentu tidak mudah (dan tidak mungkin) diaudit. Mulai Pilpres 2014 itu pula, muncul fenoemena hoax, hate speech, plintiran media, meme, merasuk massif di medsos. Korban terbesar dalam Pilpres 2014, capres Jokowi dengan tudingan anak PKI, keturunan China, bukan beragama Islam, dan seterusnya dan sebagainya.
Fenomena 2014 itu memakan korban Ahok di tahun 2017, dalam kontestasi pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Sehingga wajar jika dalam situasi itu yang tak layak pilih bisa terpilih.
Di Indonesia, elite politik adalah penumpang gelap terbesar proses disrupsi informasi itu.
Revolusi Industri 4.0 yang mestinya mendorong terjadinya disrupsi dalam berbagai bidang, ditumpangi kepentingan praktis dunia politik. Mereka membajak buzzer information untuk membangun dan merusak citra.
Dalam teori bisnis, dikenal istilah “inovasi disruptif” (disruptive innovation). Inovasi yang menciptakan pasar baru dan jaringan nilai, yang akhirnya mengganggu pasar dan jaringan nilai yang ada (lama). Menggantikan perusahaan, produk, dan aliansi terkemuka di pasar yang sudah mapan.
Disrupsi di bidang politik, misal kampanye yang kini lebih meriah di media sosial, dengan daya jangkau audiens jauh lebih luas dan merata. Kampanye di medsos, seperti “perang tagar” dan “tweet war” (twar) lebih seru ketimbang orasi di lapangan terbuka dengan ribuan orang.
Namun karakter media yang menuntut perubahan penyikapan itu, tak mendapatkan respons memadai. Di samping karena sikap mental ‘masih analog’, juga tiadanya frame of view yang jelas dari sisi regulasi Pemerintah. Di situ buzzer bayaran bisa tumbuh sebagai konsekuensi ketidaksiapan kita.
Apakah buzzer bayaran (hanya) milik Jokowi, atau Pemerintah, dan memakai APBN? Di dunia maling, teknik bluffing yang sering dipakai ialah ‘maling teriak maling’, atau ‘copet teriak copet’. Karena dalam area politiklah lahir buzzer dalam pengertian negatif. Yakni hanya berideologi merusak citra (lawan). Bukan membangun sistem citra menemukan jalan kebenarannya. Dengan prestasi, reputasi, dan sejenis-jenis itu.
Pendiri Alibaba, Jack Ma, mengatakan fungsi guru pada era digital berbeda dibandingkan guru masa lalu. Kini, guru tak mungkin mampu bersaing dengan mesin dalam hal melaksanakan pekerjaan hapalan, hitungan, hingga pencarian sumber informasi. Mesin jauh lebih cerdas, berpengetahuan, dan efektif dibandingkan kita, apalagi yang pelupa dan baperan.
Karena itu, fungsi guru bergeser lebih mengajarkan nilai-nilai, etika, budaya, kebijaksanaan, pengalaman, yang tak dapat diajarkan oleh Google atau mesin pencari. Sayangnya, ortu yang tak terdidik wajar pula jika tak bisa mendidik. Dan bisanya main larang ini-itu, haram, kafir, dan sejenisnya.
Jika disrupsi di berbagai bidang tak berhasil diantisipasi, bahkan melahirkan ortu-ortu ortodoks, tapi maunya terus berkuasa, yang bangkrut bukan hanya mereka, tetapi Indonesia secara keseluruhan. Kalau capres kita besok ketemu orang jadul, masih ada MUI dan Dewan Pers yang kek sekarang, juga SJW (social; joker warrior) yang sok pintar tapi strategi politiknya masih nasbung, bonus demografi kita tak bisa dipetik di 2045.
Kalau kita teriak-teriak soal new-era atau new-normal, tapi masih baperan dalam ber-medsos (maunya melarang-larang dan mengharamkan doang), itu artinya akan tetap ada orang dungu teriak dungu, maling teriak maling, copet teriak copet, buzzer bayaran teriak buzzer-rp. Dan buruk muka cermin pun digadaikan.
@sunardianwirodono
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews