Komplek Perumahanku Miniatur Negeriku Tercinta

Itulah yang terjadi di komplek perumahan tempat saya menetap. Mirip bukan seperti negeri tercinta kita ini?

Minggu, 1 Maret 2020 | 07:05 WIB
0
474
Komplek Perumahanku Miniatur Negeriku Tercinta
Ilustrasi apartemen (Foto: katadata.co.id)

Sekitar tahun 2011 saya tinggal di sebuah apartemen di kawasan Jakarta Barat. Ketika itu saya baru pindah ke sana. Saya lihat puluhan warga bergerombol di kantor Pengelola. Rupanya para warga itu demo karena pihak pengelola seenaknya menaikkan biaya iuran IPL (Iuran Pemelihara Lingkungan).

Singkat cerita, selaku warga baru saya diajak ikut demo. Saya tidak mau gegabah dan emosional. Saya harus pelajari terlebih dahulu kenapa warga marah dan melakukan demo. Saya pun pergi ke Gramedia mencari buku tentang apartemen. Dan saya baru tahu bahwa apartemen itu ada Pengurus yang mengelola yang disebut PPPSRS. Pengurus PPPSRS ini dibentuk berdasarkan UU nomor 20 tahun 2011 tentang rumah susun.

Setelah itu, saya meminta copy AD/ART kepengurusan PPPSRS. Setelah itu saya pelajari dan menyimpulkan bahwa kepengurusan PPPSRS itu telah melanggar UU dan AD/ART.

Kepengurusan PPPSRS di apartemen tempat saya tinggal itu terdiri dari 7 orang, yakni : Ketua,
2 orang Wakil ketua, Bendahara, Sekretaris, Pengawas 1 dan 2. Dari ke-7 pengurus itu ternyata 5 orang adalah staf dari perusahaan pengembang. Indikasinya saat pemilihan pengurus PPPSRS tidak fair.

Saya dan para warga pun terus demo dan melawan kecurangan dari kepengurusan PPPSRS yang merugikan warga. Bahkan sampai menggunakan jasa 3 orang pengacara yang kebetulan adalah warga-warga apartemen juga. Tetapi, perjuangan masih tak berhasil. Warga kompak membentuk forum warga melaporkan ke gubernur yang kala itu adalah Pak Ahok.

Pihak Pengembang dan pihak forum warga dipanggil ke Balaikota oleh Deputi Gubernur dan kami dikonfrontasi. Pihak pengembang yang diwakilkan bagian legal diomeli Deputi Gubernur DKI Jakarta. Dan sempat terjadi bentrok fisik antara warga dengan petugas satpam apartemen hingga menimbulkan luka-luka di pihak warga.

Singkat cerita, kami forum warga berhasil mendesak dilakukan RUALB (Rapat Umum Anggota Luar Biasa) untuk memilih ulang kepengurusan PPPSRS. Di dalam ruang acara RUALB masih terjadi keributan karena pihak pengurus PPPSRS belum legowo untuk memilih ulang kepengurusan PPPSRS.

Setelah warga ngotot keras akhirnya pihak pengurus PPPSRS mengalah. Dan para warga yang mencalonkan diri menjadi pengurus PPPSRS termasuk saya terpilih menjadi pengurus PPPSRS.

Setelah kepengurusan PPPSRS baru terbentuk yang murni terdiri dari para warga penghuni apartemen dan telah bersih dari unsur pengembang, kami pun mulai bekerja untuk membenahi apartemen tempat tinggal kami bersama. Dalam perjalanannya, mulailah terjadi intrik-intrik.

Ada oknum-oknum pengurus yang mulai berbuat curang dengan melanggar komitmen yang telah diputuskan dalam rapat. Antara lain setiap pengeluaran uang di atas Rp1 juta diwajibkan harus terlebih dahulu disetujui oleh (approval) minimum 5 orang pengurus, barulah uang tersebut boleh dikeluarkan.

Mulai terjadi pelanggaran. Ada pembelanjaan senilai Rp30 jutaan yang tanpa disetujui terlebih dahulu. Saya tidak terima pelanggaran itu. Saya tidak bersedia menandatangani formulir pengeluaran uang tersebut karena tidak melalui mekanisme yang telah disepakati sejak awal. Oknum-oknum pengurus itu terus melanggar kesepakatan bahkan melanggar AD/ART. Saya sendirian harus berhadapan dengan 5-6 pengurus lainnya. Sering terjadi perdebatan seru antara saya dengan pengurus lainnya. Akhirnya, saya memilih mengundurkan diri.

Pada tahun 2015 saya pindah ke komplek perumahan tidak jauh dari letak apartemen tersebut. Oleh karena saya sudah tidak tinggal di apartmen tersebut maka saya pun harus mengundurkan diri sebagai pengurus PPPSRS.

Kira-kira dua tahunan, sekitar 2017, seorang warga apartemen menelpon saya dan mengirimi saya video via WA tentang berita KOMPAS TV yang memuat berita oknum Pengurus PPPSRS apartemen tempat dulu saya tinggal dilaporkan ke Polisi karena diduga menyelewengkan keuangan Kas PPPSRS. Dan warga itu memberiku jempol. Katanya saya benar yang dulu pernah melawan oknum-oknum pengurus PPPSRS itu. Saya bersyukur dalam hati. Akhirnya, kebusukan-kebusukan pun terbongkar sudah.

Tahun 2015 saat saya pindah ke sebuah komplek perumahan yang juga di kawasan Jakarta Barat. Warga -warga di perumahan itupun sedang berdemo. Ada seorang warga yang pernah kenal saya saat masih tinggal di apartemen. Dia datang ke rumah saya meminta saya hadir ikut rapat dengg belasan warga yang sebagian ibu-ibu. Rupanya para ibu itu kesal dan marah karena pihak pengelola tidak mampu menyuplai air bersih layak pakai. Air kran yg disuplai dari WTP (Water Treatment Plant?) berbau dan seringkali bercacing merah-merah kecil.

Saya pun memberikan saran kepada para warga itu bahwa harus membentuk Forum warga terlebih dahulu untuk kemudian lewat forum warga inilah para warga bisa bergerak menuntut hal-haknya yang memang dijamin oleh UU.

Dan forum warga pun terbentuk. Saya selalu menolak ketika diminta warga untuk menjadi ketua. Saya cukup menjadi pembina dan pendiri saja. Karena tak punya waktu untuk mengurus forum warga.

Peranan forum warga ternyata terbukti bermanfaat bagi warga. Buktinya, saat pilkada, Jakarta mencekam. Para warga bangun semua dan berkumpul di depan pintu cluster. Rupanya mereka takut terjadi kerusuhan. Maklumlah perumahan itu mayoritas dihuni oleh kaum Tionghoa.

Pada suatu malam di kala pilkada Jakarta, saat sebuah outlet Indomaret dijarah di kawasan Gedung Panjang, para warga perumahan bangun tak bisa tidur. Ada warga yang mengetuk pintu rumah saya. Saya didesak untuk meminta bantuan dari aparat. Lalu, saya segera telpon Kapolsek setempat dan Kapolsek mengirimkan 8 personil TNI AU beserta anggota Polsek untuk bersama-sama dengan warga yang sudah panik menjaga perumahan kami hingga subuh dan bersyukurlah kondisi tetap aman.

Lalu, para pengurus forum warga juga bekerja berbulan-bulan untuk membentuk RT/RW. Para pengurus Forum itu harus mondar-mandir ke kantor Kelurahan, Kecamatan, Walikota, bahkan Balaikota. Dan akhirnya RT/RW perumahan kami pun terbentuk dengan 9 Ketua RT dengan 1 Ketua RW.

Setelah itu, ternyata ada oknum RW dan RT yang memasang tarif pengurusan dokumen KTP hingga sejuta-dua juta. Ada seorang warga datang ke rumah saya melaporkan ini dengan membawa bukti transfer bank senilai 1 juta ke rekening pribadi seorang oknum RW. Lalu, datang lagi seorang warga membawakan bukti oknum RW yang menggunakan uang kas warga untuk urusan pribadi.

Atas dasar bukti-bukti itu saya kumpulkan para pengurus forum warga untuk segera melakukan mosi tidak percaya dan mendesak oknum RW tersebut untuk mengundurkan diri.

Pada rapat mosi tidak percaya yang dihadiri pihak forum warga dan para ketua RT dan RW dengan disaksikan oleh petugas Binmas Polsek dan petugas Babinsa Koramil setempat, terjadi perdebatan seru. Oknum yang terbukti menggunakan uang kas warga untuk urusan pribadi sebesar Rp6 juta itu mengaku bahwa dia salah mengambil kartu ATM (Hahahahaha....)

Seusai rapat itu, oknum itu tetap ngotot tidak mau mengundurkan diri. Dan seperti biasanya, ini sudah karakternya masyarakat Indonesia, yang mudah memaafkan dan melupakan, para warga yang semula marah-marah penuh emosi dalam merespon ada oknum RT/RW yang memasang tarif urus KTP maupun penggunaan uang kas warga untuk pribadi, akhirnya pun mereda, mendingin dan kemasukan angin. (Persis kehidupan politik di tanah air kita, bukan?)

Saya pun memutuskan untuk menyurati pak Lurah. Saya datang ke kantor lurah menemui pak Lurah secara langsung dan menyerahkan surat dan berkata pada pak Lurah agar pak Lurah segera menurunkan oknum RW itu karena telah melanggar etika dan hukum.

Surat kepada Lurah itu juga tak bisa membuat si oknum mau mengundurkan diri, maka saya umumkan jika dia tak bersedia mundur, saya dan para warga akan memasang spanduk disetiap rumah kami tentang penyelewengan yg dilakukan si oknum.

Akhirnya, si oknum itu menyerah dan meminta pada ketua Forum warga untuk memediasi pertemuan dengan saya untuk meminta maaf pada saya dan seluruh warga dan berjanji akan segera mengundurkan diri. Pertemuan itu disaksikan Ketua forum, dan seorang warga di hadapan saya dan si oknum. Dua-tiga bulan dari itu, si oknum pun mengundurkan diri.

Setelah selesai satu masalah muncul masalah lain. Yaitu beberapa oknum RT bersama beberapa warga menyewa ruang club' house untuk dibangun menjadi cafe untuk jualan kopi.

Kembali warga protes dan datang ke rumah saya. Memang, yang namanya club' house itu adalah hak bersama, bagian bersama, atau istilah hukumnya fasos/fasum, yang harusnya tidak boleh disewakan untuk dijadikan lahan untuk bisnis pribadi.

Kemudian para warga pun kembali melakukan pemilihan pengurus RW yang baru. Semoga pengurus baru yang terpilih tidak akan mengulangi kebobrokan-kebobrokan masa lalu. Belajarlah dari sejarah!

Itulah yang terjadi di komplek perumahan tempat saya menetap. Mirip bukan seperti negeri tercinta kita ini?

Itulah, makanya, tulisan ini saya beri judul :  "Komplek Perumahanku Miniatur Negeri Tercintaku".

***