Meski Ketandan semakin menua, namun atmosfer pecinan di Kota Yogyakarta ini, tak pernah surut. Hingga kini, Ketandan masih menjadi daya tarik bagi siapa saja, baik lokal ataupun asing.
Mendengar nama Yogyakarta, pasti ada banyak hal yang menyembul dalam pikiran. Mulai dari kemegahan Candi Borobudur, kenikmatan kuliner khas gudegnya, hingga mode pemerintahannya yang masih menggunakan sistem kerajaan atau keraton.
Lalu bagaimana dengan Kampung Ketandan? Bagi yang sering berkunjung ke kawasan Malioboro pasti sudah tak asing lagi.
Ya, karena letaknya tepat berada di tengah-tengah kawasan Malioboro. Persisnya di sebelah tenggara, perempatan Jalan Malioboro, Jalan Margo Mulyo, Jalan Pejaksen, dan Jalan Suryatmajan.
Menariknya lagi, Kampung Ketandan adalah pecinannya Kota Yogyakarta. Lokasi ini juga sempat viral lantaran sebuah akun Instagram @shanghai.explorer mengunggah sebuah foto gapura yang menjadi jalan masuk Ketandan.
Unggahan tersebut juga diberi keterangan "Peacefull days in Shanghai". Wow, sebegitu miripnya ya Ketandan dan Shanghai.
Ketandan sendiri diperkirakan sudah ada sejak abad ke-18. Yakni, saat penjajahan Belanda dan ketika Tan Djin Sing hijrah dari Kedu ke Yogyakarta.
Tan Djin Sing adalah seorang Kapiten Tionghoa yang membantu Inggris menggulingkan kepemimpinan Sultan Sepuh dan mengangkat Hamengkubuwono III. Dirinya pun diberi hadiah berupa gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secadiningrat.
Selain itu, menurut Joni Purwohandoyo dan kawan-kawan dalam Pariwisata Kota Pusaka: Mendayagunakan Aset Pusaka, Menyejahterakan Masyarakat (2018) diterangkan bahwa kawasan Ketandan muncul saat pertengahan tahun 1811-1830. Alasannya karena area Ketandan baru muncul pada peta Yogyakarta terbitan 1830.
Sedangkan pada peta Yogyakarta yang terbit tahun 1811, Ketandan belumlah muncul.
Gerbang masuk Kampung Ketandan ditandai dengan sebuah gapura raksasa setinggi tujuh meter. Gapura ini didominasi oleh warna merah serta hijau yang menjadi simbol akulturasi antara keraton dan Tionghoa.
Kata 'Kampoeng Ketandan' di gapura tersebut ditulis dalam tiga aksara. Yakni dalam bahasa Jawa, Latin, dan Mandarin.
Dua ornamen kuat dalam gapura ini adalah tiga atap berjajar khas rumah Tionghoa serta gambar naganya. Dimana keduanya memiliki makna berupa kekuasaan, ketidaktakutan, dan kejujuran.
Pada awalnya etnis Tionghoa di Kampung Ketandan kebanyakan adalah penjual sembako dan jasa. Namun seiring berjalannya waktu banyak diantara mereka yang beralih menjual emas dan perhiasan.
Sehingga tak heran bila berkunjung kesana yang bisa ditemui saat ini adalah deretan pertokoan emas di sisi kiri dan kanan jalan. Bahkan ada pula yang menjajakan emas hanya berbekal etalase berukuran 1x1 meter di trotoar atau pinggiran jalan.
Sementara etnis Tionghoa lainnya rata-rata pindah ke kawasan pecinan baru, yakni di sebelah utara Tugu Yogyakarta. Tidak jauh dari kawasan pecinan lain yang berada di Poncowinatan.
Walau era dan para penghuni telah berganti, nuansa Tionghoa di Ketandan tetap terasa, terlebih ketika Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) digelar. Kegiatan tersebut rutin diselenggarakan untuk menyambut Imlek dan Cap Go Meh.
Selama sepekan, pengunjung akan disuguhi beragam sajian khas Tionghoa. Mulai dari menu makanan yang dijajakan hingga seni budayanya.
Salah satu hidangan yang cukup digemari adalah menu lontong Cap Go Meh. Yakni sajian yang terdiri dari potongan lontong yang diguyur kuah santan dan dilengkapi ayam, telur rebus, sambel goreng hati ampela, taburan bubuk koya plus kerupuk.
Ada pula perlombaan tari, atraksi naga barongsai, dan pertunjukan komedi dengan guyonan ala Tiongkok. Permainan Wayang Potehi juga ikuti dipentaskan dalam pagelaran PBTY.
Meski Ketandan semakin menua, namun atmosfer pecinan di Kota Yogyakarta ini, tak pernah surut. Hingga kini, Ketandan masih menjadi daya tarik bagi siapa saja, baik lokal ataupun asing.
Oleh: Sony Kusumo
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews