Asal Muasal Kompas [30] Meninggalkan Lapangan

Kesempatan maju memang dibuka luas, jenjang karir banyak tergantung pada karyawan yang bersangkutan. Ini ciri pendidik sejati yang selalu memberi jalan bagi anak didik yang mau maju.

Selasa, 3 Desember 2019 | 07:06 WIB
0
485
Asal Muasal Kompas [30] Meninggalkan Lapangan
Jakob Oetama menulis menggunakan mesin tik (Foto: Kompas.com)

Setelah kepergian Pak Ojong, terjadi rerstrukturisasi di Redaksi. Saya pun terkena imbasnya, dimutasi menjadi koordinator Tata Wajah pada tahun 1982. Di situ saya menjadi “jembatan” alih teknologi baik di percetakan maupun redaksi.

Saya mengundurkan diri dari jabatan itu sekitar tahun 1983 karena tidak tahan menghadapi korban alih teknologi yang tidak diperhitungkan perusahaan. Jabatan itu pun dirangkap redaktur malam, dan saya diminta menjadi salah satu stafnya dengan tugas mengoreksi tulisan wartawan yang mau dimuat.

Suatu malam Mas Swantoro minta saya mempersiapkan diri untuk menjabat kepala desk daerah, redaktur yang menangani berita-berita dan wartawan daerah.  Saya pun menyambut dengan suka hati dan segera mencari tahu lingkup pekerjaan desk itu yang ternyata sangat luas.

Redaktur daerah tidak hanya  menggerakkan wartawan daerah dalam mencari berita tetapi juga mengurus administrasinya. Berbagai ketentuan saya pelajari dan saya tanyakan kepada staf  desk daerah untuk bekal jabatan baru tersebut.

Dalam rapat redaksi akhirnya diumumkan bahwa Valens Goa Doy, redaktur daerah akan menangani koran baru. Sebagai gantinya ditunjuk Julius Pour, wartawan Kompas di Jogyakarta. Saya agak terkejut dan bertanya-tanya namun hari itu saya hanya merefleksi diri, kenapa bisa begitu. Esoknya saya menghadap Mas Swan untuk menanyakan perubahan itu. Jawabnya singkat, “Tanya sama Valens!” dan saya pun tidak memperpanjang masalah.

Beberapa tahun  kemudian saya mahfum, keputusan pimpinan bisa berubah manakala ada hal-hal yang mengganjal. Jangankan keputusan lisan, keputusan yang sudah berbentuk surat pun bisa dianulir jika pimpinan menganggap bermasalah. Di lingkungan Kompas, keputusan yang diambil harus bulat benar, jika ada ganjalan yang meragukan maka rencana keputusan itu lebih baik ditunda atau dibatalkan.

Selanjutnya muncul tawaran agar saya bergabung dengan Kasijanto, wartawan bidang ekonomi yang ditugaskan memimpin peternakan udang di pantai Carita, Serang. Mengingat pekerjaan itu jauh dari bidang jurnalistik, saya pun tidak langsung bersedia. Tambak yang akan dibuat tersebut terletak dekat wisma Kompas, saat itu jalannya masih sempit dan sepi sekali. Anak-istri bahkan tidak bersedia turun dari mobil walau sudah sampai di lokasi.

Sepulang meninjau lokasi tambak udang, saya menemui kepala bagian SDM dan menyatakan keberatan bergabung. Baik Pak Jakob maupun Kasijanto menyayangkan penolakan tersebut. “Saya sudah memberi kesempatan kepada Saudara, ya!” begitu kata Pak Jakob ketika suatu malam kami berjumpa di ruang redaksi. Kalau Pak Jakob sudah menyebut dengan kata “Saudara” berarti beliau kurang berkenan. Usaha tambak udang itu tidak berumur panjang, saya tidak tahu kenapa, namun benar-benar ditutup.

Akhirnya saya diminta membantu Valens untuk menerbitkan koran baru bekerjasama dengan Pos Kota Grup. Saat itu untuk menerbitkan koran harus mempunyai Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan Pos Kota memiliki Harian Sore Terbit yang kembang kempis. Untuk mengembangkannya, Pos Kota mengajak Kompas bekerjasama mengelola koran sore tersebut.

Tim dari Kompas cukup banyak, selain saya dan Valens antara lain Tony Widiastono, Sutardjo, dan Max Margono (wartawan Kompas di Surabaya) . Sebelum bertemu tim dari Pos Kota, kami menyusun dulu bagaimana bentuk koran Terbit nantinya. Hampir sebulan kami menyusun rancangan tersebut bahkan sudah minta ke bagian umum agar menyediakan kantor di sekitar Senayan agar wartawan lebih mobil.

Akhirnya kami bertemu dengan tim dari Pos Kota yang jumlahnya jauh lebih banyak. Kami bersama-sama merancang kerjasama tersebut di Wisma Pacet milik KG. Rapat dua malam tersebut tidak menghasilkan kata sepakat, saya berpendapat perbedaan kultur masing-masing tidak mungkin disatukan.

Masalah muncul ketika kami membuat aturan tentang boleh-tidaknya menerima amplop, standar gaji, pembagian posisi redaktur hingga jam kerja. Valens maunya rapat pagi mulai pukul 06.00, wartawan tidak boleh terima amplop, gaji sesuai Kompas, wartawan harus selalu ke kantor pagi dan siang, dan sebagainya.

Kultur Pos Kota tidak menghendaki semua itu, bahkan ada yang nyeletuk dalam rapat, “Kalau nggak boleh terima amplop, perusahaan harus memberi gantinya untuk mencukupi kebutuhan saya dan dua istri serta anak-anak saya!”  Orang itu kemudian menyebutkan angka yang jauh lebih tinggi dari gaji wartawan Kompas sehingga mustahil bisa diberikan perusahaan.

Kerjasama itu batal dan saya kembali ke desk malam atau disebut  juga desk sunting. Tidak berapa lama kepala bagian SDM, Sugito, menawari saya untuk menjabat sebagai manager Hotel Santika di Semarang. Hotel itu baru mau buka, kini biasa disebut Santika Kecil. Mengingat tempo hari sudah ditegur Pak Jakob karena menolak bergabung di perusahaan penambakan udang, tawaran itu pun saya sanggupi.

Sejak itu saya rajin memperlajari seluk beluk hotel dan akhirnya memutuskan untuk mengambil kursus perhotelan di Manila. Namun tidak lama kemudian saya dipanggil lagi dan diberitahu bahwa penunjukan saya ditolak Pak Jakob. Pada suatu malam Pak Jakob menghampiri meja saya, “Sabar ya Mas, masih ada pekerjaan yang cocok buat you!”.

Beberapa bulan kemudian Raymond Toruan, wartawan senior yang saat itu menangani Kelompok Pers Daerah minta saya bergabung dengannya mengelola koran daerah yang akan diterbitkan di Jogyakarta. Sejak saat itu saya pun bergabung dengan Persda dan meninggalkan kerja lapangan yang saya nilai sangat mengasyikkan.          

Di sini saya akhirnya mendapat posisi tertinggi sebagai direktur kelompok yang membawahi delapan perusahaan koran di daerah-daerah selama sekitar 5 tahun.

** 

Pada era tugas di Kelompok Persda, pengelolaan koran daerah dilakukan bersama pemilik SIUPP. Posisi Kompas selalu lemah, mendanai semua penerbitan, mengelolanya namun di beberapa tempat tersandung partner yang punya izin resmi dari Deppen. Mengingat situasi politik tidak begitu kondusif  dan berimbas ke SARA bagi saya, pada tahun 2000 saya digantikan oleh Haji Herman Darmo yang semula memegang Harian Surya di Surabaya.

Setelah “parkir” sebagai staf Chief Excecutif (Pak Jakob Oetama) sekitar dua tahun, saya pun kembali ke Kompas. Sempat ditawari menjadi wakil direktur SDM namun saya menolak dan lebih memilih sebagai liaison officer antara redaksi dengan Direktorat SDM. Saya berpendapat, lebih berguna menjadi “jembatan” daripada pimpinan SDM yang selalu “dimusuhi” pihak redaksi.

Karir saya di Kompas berakhir  sebagai wakil sekretaris redaksi, jabatan yang kurang bergengsi namun saya merasa telah berbuat banyak dan saya melakukannya dengan senang hati.

“Mas you harus bersyukur bahwa dengan pendidikan yang tidak begitu tinggi, bisa mencapai jabatan yang lumayan  di sini,” begitu komentar Pak Jakob ketika akhir November 2004 saya pamit pensiun di ruang kerjanya.

Ini memang saya syukuri  dan rasanya disyukuri banyak karyawan di lingkungan Kompas Gramedia. Seorang yang masuk sebagai petugas ekspedisi bahkan pesuruh pun, jika bekerja dengan baik, bisa membawa karirnya hingga tingkat direktur.

Kesempatan maju memang dibuka luas, jenjang karir banyak tergantung pada karyawan yang bersangkutan. Ini ciri pendidik sejati yang selalu memberi jalan bagi anak didik yang mau maju.

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004

***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [29] Koresponden