Filsafat dan Cinta Martin Heidegger-Hannah Arendt

Cinta yang mendalam, saling mengagumi kapasitas intelektual masing-masing, membuat hubungan mereka berdua tetap langgeng hingga ajal memisahkan mereka.

Sabtu, 15 Juni 2019 | 08:19 WIB
0
1280
Filsafat dan Cinta Martin Heidegger-Hannah Arendt
Arendt dan Heidegger (Foto: Facebook/Manuel Kaisiepo)

"Nona Arendt yang terhormat", demikian awal surat tanggal 10 Februari 1925 yang ditulis Martin Heidegger kepada salah satu mahasiswinya yang paling cerdas, Hannah Arendt. Ketika sang mahasiswi meresponnya, empat hari kemudian --tepat Hari Valentine-- Heidegger mengawali surat berikutnya dengan "Hannah Sayang"!

Itulah awal kisah cinta dua pemikir besar dalam bidang filsafat yang pemikiran mereka masih berpengaruh hingga saat ini.

Heidegger adalah salah satu filsuf besar abad 20 yang menggagas fenomenologi dan eksistensialisme di Universitas Freiburg, Jerman. Karya pentingnya adalah BEING AND TIME/SEIN UND ZEIT.

Sedangkan Arendt kemudian dikenal sebagai filsuf politik yang banyak membahas topik totalitarianisme. Bukunya yang paling terkenal, THE ORIGINS OF TOTALITARIANISM (1951), juga buku laporannya tentang pengadilan penjahat Nazi, EICHMAN IN JERUSALEM: A BANALITY OF EVIL (1963). Dua buku itu sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Kisah cinta Heidegger-Arendt ini mirip kisah cinta dua filsuf besar lainnya, Jean-Paul Sartre dengan filsuf sekaligus feminis kontroversial Simone de Beauvoir. Karya-karya filsafat eksistensialisme Sartre sudah banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia, juga karya sastranya; demikian pula karya Simone de Beauvouir misalnya yang fenomenal, THE SECOND SEX (1949, yang baru diIndonesiakan 2017).

Ketika keduanya pertama kali bertemu dan saling jatuh cinta, Heidegger berusia 35 tahun, sedangkan Hannah Arendt baru berusia 18 tahun. Hannah sangat mengagumi kapasitas intelektual Heidegger, sebaliknya sang profesor filsafat itu juga mengagumi kecerdasan mahasiswinya, selain tentu kecantikan klasiknya.

Seperti semua kisah klasik, kisah cinta mereka pun mengalami pasang surut, berpisah untuk waktu lama, kembali bersambung di usia senja.

Hubungan mereka merenggang ketika NAZI mulai berkuasa di Jerman. Sebagai putri berdarah Yahudi, Arendt merasa kecewa ketika Heidegger mendekat ke Nazi, bahkan diangkat pihak Nazi sebagai Rektor Universitas Freiburg.

Saat itu Hannah dan keluarganya harus hidup dalam persembunyian dan terpaksa lari ke Prancis. Dia sempat ditahan di Paris. Setelah itu dia pindah ke Amerika. 

Hannah Arendt dua kali menikah, namun itu hanyalah "pelarian", cinta sejatinya adalah Heidegger.

Setelah 25 tahun berpisah, keduanya berjumpa lagi tahun 1950, saat usia mereka tidak muda lagi. Cinta lama mereka bersemi kembali, walaupun keduanya masing-masing masih terikat perkawinan.

Surat-surat mereka dalam kurun waktu 1950 hingga 1960 membuktikan betapa mendalamnya cinta mereka.

Cinta yang mendalam, saling mengagumi kapasitas intelektual masing-masing, membuat hubungan mereka berdua tetap langgeng hingga ajal memisahkan mereka.

Hannah Arendt meninggal tahun 1975 dalam usia 69 tahun. Heidegger meninggal tahun berikutnya, 1976, dalam usia 86 tahun.

Happy Valentines Day !

***