Tentang Kebaya Putih Berenda

Kebaya sebagaimana sebuah roda, ia pernah menggelinding ke atas. Kemudian jadi biasa, lalu jatuh harga dihina-dinakan. Demikianlah nasib kebaya, yang sebenarnya tak perlu dikasihani.

Kamis, 18 November 2021 | 07:29 WIB
0
296
Tentang Kebaya Putih Berenda
Kebaya putih zaman Belanda (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Bahwa sejarah itu berjalan aneh, berputar, berguling, terkadang hiperbolik itu nyata! Semua hanya berjalan melingkar-lingkar, berkelindan. Tampak berubah menjadi sesuatu yang baru, tapi realitasnya masih sama. Masih di situ-situ saja. Dulu berkebaya itu dianggap ndeso, ndesit malah. Sekarang wanita berkebaya itu ukuran yang "wah-wah." Sulit mendeskripsikannya dengan satu kosa kata yang tepat...

Fenomena film Losmen Bu Broto menguatkannya. Ia menjadi menarik, bukan karena jalan ceritanya. Tapi terutama pilihan pakaian dari para pemerannya. Bukankah film dengan pakaian sejenis memang banyak, sangat banyak. Tapi kenapa film ini banyak mengundang haru? Minimal begitu, opini yang saya baca dari beberapa sahabat yang telah menonton premiere maupun sekedar cuplikan trailernya. Sebagian terharu, justru karena masa-masa indah itu tampak "baru lalu", baru kemarin ini.

Tapi tampak sudah sangat jauh sekali dari hari ini.

Bahwa kita pernah menginjak bumi ini, berpijak pada tanah ini dengan segenap kesederhanaan, tapi penuh kekuatan dan kebanggaan. Saat bau tubuh kita adalah wangi mawar dari halaman rumah. Bukan dari bau parfum tanah gersang yang bahkan kaktus terliar pun tak mau tumbuh!

Kebaya, yah kebaya seolah mengulang cerita kelam masa lalu yang sama. Pernah di suatu kala ketika kebaya justru menjadi lambang status para diaspora kolonial yang sedemikian kuat. Mereka yang pengen mengenali, mencumbui, dan memeluk bumi baru mereka. Bukan sekedar menjadi kolonialis yang menghisap bak lintah darat. Atau benalu yang menumpang hidup. Begini ceritanya....

Ironi hal ini terjadi tatkala Jawa, eh lebih luas ding Hindia Belanda, berada pada titik rendah dalam sejarahnya. Dalam masa yang disebut "cultuurstelsel". Apa yang kita kenal sebagai Masa Tanam Paksa. Di mana rakyat harus berhadapan dengan "dua bangsat". Bangsat pertama tentu saja para tuan modal yang datang membawa duit dan bermimpi menjadi kaya. Mereka yang butuh meminjam (eh menyewa tanah) dari para feodalis pemilik tanah yang selalu berwatak korup. Demikian kita menyebut para ndoro lokal yang anggap saja sebagai sejenis bangsat kedua.

Pada masa itu adalah periode saat para kolonialis itu datang sudah dengan membawa istrinya. Tak lagi seperti masa VOC, di mana datang sorangan dan lebih memilih memperistri perempuan lokal. Apa yang kemudian melahirkan banyak para "Nyai". Kemungkinan karena pengaruh para Nyai itu pula, kemudian para istri-istri di kalangan kolonialis itu gandrung untuk berpakaian mirip mereka. Memakai kain jarit dan berkebaya. Jadi juga bukan kebetulan, kalau mereka justru mampu melahirkan bentuk dan model baru.

Pada kain jaritnya, mereka melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai "Batik Belanda". Saat ini, barangkali jenis batik ini adalah collector item yang paling mahal dibandingkan jenis batik-batik lokal mana pun. Dulu akan dianggap aneh penggunaan warna biru (indigo) pada batik. Tapi sejak dipopulerkannya batik Belanda, indigo justru merupakan komoditi baru yang sangat populer dan menjanjikan secara bisnis. Ada masanya sebidang lahan saling berebut antara pilihan ditanami tebu atau indigo.

Sedangkan, pada bagian kebaya-nya. Orang Belanda (lebih tepatnya sih Eropa) menemukan sebuah model baru yang disebut kebaya putih berenda. Renda adalah teknik sulam yang sangat rumit, mahal, dan eksotis pada masanya.

Suatu hal baru yang belum dikenal sebelumnya. Karena itu, banyak wanita Eropa yang bangga menggunakannya, bahkan untuk sesi pemotretan yang tentu saja untuk masa tersebut dapat dianggap moment mewah, saking mahal baiayanya. Tidak sekedar para ndoro nyonya, tapi bahkan dikenakan oleh para anak gadisnya yang beranjak remaja.

Tapi kemudian zaman berubah, ketika kesadaran akan Politik Etis berkembang. Ketika berpakaian model apa pun boleh sama dan tak lagi saling membatasi. Saat itulah kemudian, model berkebaya putih berenda ini ditiru dan dipakai mula-mula oleh para wanita Tionghoa. Mereka akan menganggap diri naik kelas. bila sudah menggunakannya. Berasa jadi "Londo Kuning". Hingga tiba waktunya, mode ini ditiru habis oleh perempuan pribumi.

Tidak sekedar di Jawa, tapi nyaris menyeluruh di sekujur jajahan Hindia-Belanda. Di Jawa, bahkan Tiga Bersaudara Kartini, Kardinah, dan Rukmini menjadikannnya sebuah sesi foto studio yang klasik dan abadi. Di Bali ia menjadi pakaian yang artistik sekaligus modis, yang mula-mula digunakan oleh golongan brahmana dan ksatria. Tapi hingga masa akhir-akhir ini, kebaya jenis tersebut tetap sangat populer digunakan untuk upacara tradisional. Bahkan di Ambon, ia adalah pakaian kebesaran para wanita hingga hari ini.

Kok bisa? Kan mahal?

Di sinilah sebetulnya peran para pedagang kain dari Jepang. Yang diawal abad XX, mulai masuk dan disusupkan untuk persiapan infiltrasi militer Jepang. Mereka menggunakan politik dagang dumping. Dengan menjual nyaris semua kebutuhan rakyat dengan harga jauh lebih murah dibanding pedagang Tionghoa, apalagi pedagang Eropa. Tak terkecuali dalam kebaya putih berenda ini. Nyaris, semua wanita menggunakannya. Dan semua dengan perasaan bangga yang sama: "naik derajat".

Sejak itulah, perempuan Eropa mulai jengah karena merasa disamai. Lalu mulai meninggalkan gaya berkebaya, dan kembali pada selera aslinya. Kembali menggunakan "longdress" untuk nyaris semua moment acaranya. Bahkan ketika mereka di lapangan tenis, pergi ke pasar atau berangkat ke pesta. Suatu fenomena yang ndilalah beriringan dengan peningkatan standar kehidupan dan masuknya "gaya hidup" ala Perancis yang sangat modis. Munculnya majalah mode, hadirnya butik yang nyaris selalu up-date dengan gaya berbusana di pusat-pusat mode Eropa.

Bukankah hal yang sama persis terjadi pada hari ini?

Politik etis yang semula bertujuan mendekatkan ketiga pihak: bule, kulit putih, kuning, dan sawo matang kembali justru memperlebarnya. Keinginan baik dari "pihak kerajaan" untuk memperbaiki sikapnya, kesalahannya di masa lalu. Justru dimanfaatkan oleh segolongan kecil pihak luar untuk menungganginya. Proses liberalisasi yang kebablasan justru merubah zaman normal, hingga mendatangkan malaise apa yang sering disebut zaman meleset!
Dan melesetlah semuanya!

Infiltrasi Jepang yang menyaru sebagai pedagang, namun kemudian terbukti merusak harmoni yang semula tercipta. Mereka kemudian datang dengan kekuatan militer yang telengas. Lalu menghancurkan semua hal baik yang ratusan tahun coba ditata ulang. Hanya dalam hitungan umur jagung, saking singkatnya mereka mampir berkuasa. Kita memang dapat hadiah kemerdekaan yang semu, apa yang setiap tahun kita rayakan dengan membusungkan dada.

Tapi selalu melupakan sisi berantakan yang ditinggalkannya yang tak pernah selesai itu. Sambil memelihara rasa dendam tak berkesudahan..

Orang Jawa masa lalu, memiliki istilah yang luhur pada pakain dan cara berpakaian yang mereka sebut sebagai "ageman". Sesuatu yang lebih dari sekedar pakaian, tapi juga jati diri dan kesejatian. Itulah yang sebenarnya juga selalu dijual oleh "orang lain yang lain lagi". Sebagaimana dulu kita dipermainkan perasaan dan harga diri kita oleh bangsa-bangsa di luar diri kita itu. Apa yang kita punya mula-mula dinaikkan tinggi sekali, untuk kemudian dihina lalu dijatuh bantingkan. Sebuah cara masuk untuk berkuasa!

Kebaya sebagaimana sebuah roda, ia pernah menggelinding ke atas. Kemudian jadi biasa, lalu jatuh harga dihina-dinakan. Demikianlah nasib kebaya, yang sebenarnya tak perlu dikasihani. Karena akan selalu datang orang baru yang memberinya harga, dengan cara pandang baru dan selera yang lebih bagus. Yang lebih perlu dikasihani adalah nasib mereka yang seharusnya bangga menggunakannya.

Mereka yang dari masa ke masa, marwahnya tak pernah benar-benar berubah. Tak pernah sungguh2 jadi diri mereka sendiri. Ilmu boleh makin tinggi, kekayaan boleh makin bertumpuk, dan cara menghargai diri sendiri makin tak bertepi. Sayangnya mereka tetap saja, menyediakan diri diatur-atur dan ditakut-takuti. Hanya sekedar dari cara "ngagem ageman".
Kemajuan yang semu, dalam ketidakberdayaan yang abadi. Di situ saya terharu!

NB: Jangan sepelekan kebaya! Dulu orang Eropa saat menggunakan busana lokal, seperti kebaya, batik dan celana pangsi. Mereka melahirkan apa yang disebut "budaya hindisch" yang anggun tapi membumi. Pun ketika orang Tionghoa menggunakan pakaian sejenis itu, mereka melahirkan "budaya peranakan" sebuah sub-kultur baru yang sama sekali lain dengan budaya Tiongkok Daratan. Dan keduanya jejaknya jauh membumi dalam sejarah panjang Indonesia yang kaya.

Hari ini, kita sudah cukup bangga dengan meniru cara berpakaian yang akarnya tak jelas milik siapa. Dianggap Arab, tapi kok orang Yahudi yang mereka benci jauh waktu sebelumnya juga memakainya. Mau dianggap gaya baru ala Indonesia, kok sama sekali tidak memiliki originalitas dan otentisitas. Demikian mode, menunjukkan ia bukan modus. Ia akan terus berputar, apa yang saat ini dianggap "high level" atau minimal "new level" itu juga akan berubah.

Suka atau tidak, hanya sekedar menunjukkan mereka bagian sebuah komunitas (community). Saya percaya mode adalah apa yang disebut orang Jawa: "pitanda owah gingsiring zaman".
 ***