Meski perbedaan itu ada, tapi kita mungkin sepakat bahwa aktivitas "Pewarta Warga" itu harus diatur oleh standar etika yang sama, layaknya jurnalis profesional.
Duhh!!! tak sengaja gerutu keluar dari mulutku ketika mendengar sejumlah orang di dekatku menyebut-nyebut dirinya pengurus daerah salah satu organisasi jurnalis warga.
Keluhanku itu melanting seiring dengan sinismeku melihat perangai orang-orang, yang menurutku lebih pantas disebut preman dari pada wartawan, ocehannya kasar penuh ancaman, topik perbincangannya tak jauh-jauh dari perkara orang dan jumlah uang.
Dalam pikiranku, lakon orang-orang itu bak episode "remake" drama wartawan "bodrex' yang pernah jadi tontonan, orang-orang yang tak punya kompetensi jurnalistik dan hanya bermodalkan identitas kartu pers abal-abal, kemudian memaksa orang untuk diwawancarai dan dimintai uang.
Hari ini ketika orang-orang itu belum juga mencapai standar kompetensi, tak cukup syarat menjadi anggota pers dan tak memiliki media terverifikasi Dewan Pers, maka "Jurnalisme Warga" pun jadi permainan. Muncul forum atau organisasi dengan label jurnalis warga, tujuannya tak lebih hanya mendompleng identitas kewartawanan.
Situasi itu sungguh paradoks dengan kemestian "jurnalisme warga", yang menempatkan "independensi dan partisipasi" sebagai keutamaanya. Independensi yang manakala tak ada keterikatan, paksaan dan tekanan dari apapun dan siapapun. Partisipasi yang bilamana hanya digerakkan oleh kepedulian, tanggung jawab dan kreatifitas.
Independensi dan partisipasi itu kemudian menjadi ironis takala "jurnalis warga atau pewarta warga" dipaksa atau diseret-seret menjadi profesi tertentu.
Tak soal, jika kemudian ia beralih menjadi jurnalis konvensional " atau memiliki etika dan kompetensi "setara dengan wartawan profesional, tanpa menjadikan ia sebuah profesi atau klaim milik profesi tertentu. Karena, jurnalis warga itu mestinya milik semua warga dan semua profesi, yang tidak dilimitasi oleh partisi status, strata dan profesi tertentu.
Logika sederhananya begini, seorang yang berprofesi sebagai, misalnya "guru, dokter, pedagang, petani, ojol dan lain sebagainya" bahkan wartawan profesional sekalipun memiliki kebebasan untuk berpartisipasi dalam aktivitas jurnalisme warga. Tidak ada kewajiban, ikatan dan apalagi pemaksaan. Sama halnya ketika mereka berpartisipasi dalam kegiatan sosial di lingkungannya.
Partisipasi yang dijalani pun sebanding dengan pengetahuan dan kenyamanan mereka. Seorang pendeta mungkin lebih tertarik melaporkan berita yang berkaitan dengan aktivitas keagamaannya, seorang guru mungkin lebih faham menginformasikan seluk beluk pembelajaran di tempatnya mengajar, atau seorang polisi lalu lintas merasa lebih nyaman jika mereportase situasi lalu lintas yang dipantaunya. Lalu, bagaimana dengan seorang preman?
Bukankah aktivitas bercerita atau menyimak cerita, berkabar atau mendengar kabar merupakan aktivitas universal manusia sejak dulu kala. Ia merasa "bangga dan puas" apabila menjadi orang yang pertama yang tahu atau pertama menyampaikan info terbaru kepada orang lain.
Kebetulan saja aktivitas itu dikaitkan dengan istilah jurnalistik, atau sejarah perkembangannya dihubung-hubungkan dengan “Acta Diurna” Romawi Kuno, atau dikaitkan dengan mesin cetak Gutenberg dan koran pertama ' Frankfurter Journal.' Yang kemudian pada masanya, aktivitas jurnalistik berubah menjadi komoditas "industri media" yang mahal dan mewah bagi warga biasa.
Banyak pendapat yang kemudian mengaitkan perkembangan aktivitas "jurnalisme warga" belakangan ini dengan ketidakpuasan warga atas media mainstream, yang dianggap lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal dan penguasa dibandingkan kepentingan warga
Meski persoalan ketidakpuasan dan ketidakberpihakan itu adalah realitas yang terjadi hari ini, tapi tidak lantas dikaitkan dengan tumbuhnya "jurnalisme warga" dewasa ini.
Apakah kemudian video rekaman Cut Putri pada tsunami Aceh tahun 2004 lalu adalah bentuk kekecewaan dirinya pada media mainstream, kemudian ia merekamnya. Atau, apakah tulisan Zakki Amali mengangkat isu plagiat seorang rektor, lahir dari kekecewaannya pada media mainstream yang tidak memihak dirinya. Itulah naluri kodrati "jurnalistik" seorang warga, ketika merespon peristiwa dan sumber informasi yang ada di sekitarnya.
Aktivitas jurnalistik warga bersemai dan semakin disadari warga ketika perkembangan teknologi digital memunculkan media baru dengan beragam platform internet, yang lebih murah, lebih cepat dan lebih mudah dimiliki, dikelola dan diakses oleh warga di banding media konvensional.
Platform media baru memungkinkan hasrat jurnalistik yang sebelumnya terbatas oleh model, produk dan praktik medium media mainstream, kini menyediakan kebebasan bagi warga untuk menerobos berbagai limitasi ruang dan waktu yang lebih terbuka, independen dan egaliter.
Maka itu, jurnalistik warga tidak mesti difasilitasi media pers (badan hukum pers), tidak butuh atasan yang mengendalikannya, Ia pun tak butuh organisasi atau forum apapun yang mengatur independensinya, jikapun ada, itu hanya wadah dunia maya, yang ada di group media sosial, yang cukup dikelola admin tanpa harus ada ketua dan pengurusnya.
Pandangan ini bisa jadi perdebatan. Tak masalah jika banyak yang tidak sefaham. Toh, Selama ini juga kita tak selalu sama dalam memahami praktik dan paradigmatik "jurnalisme warga". Setiap orang masih berbicara dalam keterbatasan perspektif mereka masing -masing, yang dipengaruhi oleh posisi, pengalaman dan kepentingannya.
Meski perbedaan itu ada, tapi kita mungkin sepakat bahwa aktivitas "Pewarta Warga" itu harus diatur oleh standar etika yang sama, layaknya jurnalis profesional. Jadi, tak soal seandainya ada preman, narapidana atau gangster sekalipun berpartisipasi pada aktivitas "jurnaslime warga", selama kode etik itu ada, difahami, dipatuhi dan diterapkan, malah itu akan menciptakan kultur literasi yang baru untuk membentuk mereka menjadi warga yang beretika, bermanfaat dan berguna bagi masyarakat.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews