Batas Sebuah Penantian, Cinta versus Agama

Inilah novel dengan cinta yang berliku. Sebagaimana kisah minoritas Shiah di Sampang, yang juga berliku.

Sabtu, 3 Oktober 2020 | 20:08 WIB
0
232
Batas Sebuah Penantian, Cinta versus Agama
Ikrama Masloman (Foto: tribunnews.com)

Sampang, Madura, menyimpan luka. Bukan saja itu luka karena konflik paham agama. Komunitas Syiah diserang. Korban jatuh. Sebagian besar mereka terusir dari tanahnya.

Sampang juga menyimpan luka cinta. Tapi yang luka justru seorang lelaki, Zafran, berpaham Suni.

Zafrab luka sejak ia menyimpan cinta, merahasiakannya, berjuang tapi diam diam untuk sang buah hati. Yang ia cintai adalah Halimah, gadis saleh dari komunitas Shiah.

Membaca novel Maria Qistina, nama pena dari Ikrama Masloman, seorang aktivis dan peneliti, kita menikmati berkah dari genre historical fiction. Secara fiksi, drama tokoh utamanya menghanyutkan. Namun kita pun dilezatkan oleh sepotong sejarah, peristiwa nyata yang menjadi latar kisah cinta itu.

Novel ini dibuka dengan kesyahduan Asyura. Ini adalah perayaan sedih kisah Imam Husein, cucu Nabi Muhammad, yang dibantai secara kejam di Karbala.

Imam Husein tak hanya dibunuh. Kepalanya dijadikan permainan, dan dikirim kepada penguasa yang menghendakinya terbunuh.

Kaum Syiah memperingati peristiwa ini setiap tahun selama sepuluh hari. Sebagian kaum Suni, hanya sebagian, juga memperingatinya.

Tragedi Karbala ikut mempertajam pemisah dan konflik Shiah dan Suni. Konflik itu pada sebagian pihak bertahan hingga hari ini.

Halimah, gadis cantik itu, tidak meminta. Ia dilahirkan dari Ayah yang mencintainya. Karena Ayahnya Shiah, Halimah pun menjadi Shiah.

Mengikutii tradisi, tekun dan khusyuk Ia memperingati Asyura. Hening ia mengingat kisah Imam Husein, Cucu Nabi. Sebagian komunitas memeringatinya dengan tetes air mata.

Tiba tiba sekelompok orang dengan kekerasan menyerang. Atas nama Islam, mereka membubarkan paksa komunitas itu. Kekerasan terjadi. Ada warga Shiah terbunuh.

Halimah mencari dimanakah Ayahnya? Ia tak tahu apakah Ayahnya hilang hidup atau mati.

Serangkain derita terus membayangi Halimah. Ia mendengar Ayahnya selamat. Ayah terbaring di sebuah tempat.

Dalam perjalanan menjenguk Ayah. Dua pria menyergapnya. Memperkosanya. Sang pemuda merasa berhak memperkosa seorang gadis dengan paham agama melenceng. “Tak apa. Ia shiah,” ujar pemerkosa.

Zufran juga seorang Suni. Ia mencintai Halimah. Peristiwa kebetulan, Zufran melihat adegan perkosaan itu. Astaga, itu korban adalah Halimah. Gadis pujaannya.

Dengan susah payah Ia selamatkan Halimah. Ia lawan dan usir dua pemerkosa itu.

Namun Halimah sudah histeris. Dua pemerkosa lari. Tinggalah Zufran dan Halimah di sana.

Halimah terus histeris dan meronta. Zufran memeluknya. Mencoba menenangkannya.

Apa daya. Penduduk keburu berkumpul. Halimah terus meronta dalam pelukan Zufran. Segera Zufran mendapatkan tuduhan. Ia memperkosa Halimah.

Pengadilan digelar. Zufran dianggap bersalah. Ia masuk penjara.

Tapi seberapa kuat daya tahan cinta? Seberapa panjang seseorang kuasa menyimpannya? Menangung derita?

Ketika dipenjara atas tuduhan perkosaan yang tidak ia lakukan, Zufran masih bertahan. Di dalam penjara, ia menulis banyak novel dengan nama samaran. Novel itu Ia niatkan di dalam hati, untuk Halimah.

Ketika Halimah pergi ke Kairo melanjutkan sekolah, Zulfran juga tetap menunggu. Rapat- rapat, Ia simpan cintanya. Bahkan di hadapan Halimah, kadang Ia memberi kesan cinta pada orang lain.

Zufran juga ikut pula mengantar Halimah menjumpai seorang pria, Zaki. Mereka dari Jakarta naik mobil ke Banten.

Atas semua itu, Zufran tetap memelihara cintanya pada Halimah. Cinta yang begitu kuat. Tapi cinta yang juga tak kunjung terucapkan.

Namun ketika Zufran menyangka, Zaki, lelaki yang dicari Halimah, akan menjadi suami Halimah, Zufran terdiam.

Ajaran agama itu mengiang di hati Zufran. Ia tak boleh mengambil gadis, berharap lagi pada gadis, yang sudah menjadi jodoh sesama lelaki Muslim lain.

Dengan kesedihan mendalam. Dengan kepatuhan pada paham agamanya. Diam diam Ia meninggalam Halimah. Inilah akhir penantian panjang itu.

Novel itu berjalan dengan alur Sad- Ending. Kita kagum mengenang daya tahan sebuah penantian. Namun akhirnya kita sedih, penantian itu harus berujung kelam. Cinta Zufran tak kunjung terkatakan. Akhirnya cinta itu harus Ia lupakan, setelah sekian lama.

Sebagaimana kita sedih mengenang kaum
Imigran Shiah asal Sampang, komunitas Halimah. Sebagian dari mereka hingga kini tahun 2020 tetap menjadi Imigran. Terusir dari tanah sendiri. Delapan tahun sudah.

Inilah novel dengan cinta yang berliku. Sebagaimana kisah minoritas Shiah di Sampang, yang juga berliku.

Sept 2020

***

Denny JA