Pentingnya Menjadi "Outliers" bagi Pustakawan

Meski pustakawan dalam pekerjaannya berurusan dengan buku, penting membaca buku itu sendiri. Mereka harus jadi "intelektual publik" yang gagasannya bisa dinikmati di ruang publik.

Minggu, 18 Agustus 2019 | 09:05 WIB
0
399
Pentingnya Menjadi "Outliers" bagi Pustakawan
Saya dan para pejabat Perpustakaan Nasional (Foto: Angga)

Dua pekan lalu saya menerima permintaan melalui pesan WA agar menyediakan waktu untuk tanggal 17 Agustus 2019 pukul 19.00 WIB. Si pengirim pesan Opong Sumiati yang tidak lain teman semasa kuliah dulu. Kini ia menduduki jabatan penting di bawah langsung seorang Deputi di Perpustakaan Nasional.

Oleh Opong, saya diminta menjadi pemateri di depan para pustakawan berprestasi dari 34 provinsi. "Pokoknya kasih mereka semangat bagaimana menjadi pustakawan yang baik dan bermanfaat itu," demikian pesannya.

Sambil berlibur di kampung halaman, memandang pesawahan yang menghampar hijau bak permadani berundak, saya menyiapkan materi berupa power point jadul, sebagaimana biasa. Cukup satu jam saja untuk menyiapkan satu slide berisi 24 sekuel yang saling bertautan satu dengan yang lain itu.

Dari 24 sekuel, 22 di antaranya hanya berupa gambar, foto atau grafik dan hanya menyisakan 2 sekuel berupa teks yang saya pinjam dari diskusi Kang Budhiana Kartawijaya tentang "Intelektual Publik".

Judul diskusi yang saya sampaikan kepada para pustakawan itu sedikit bernada tantangan (challange), yaitu "Librarian and Disruption Era", wuih.... gayanya pake nginggris. Ya, sekadar bergaya saja, tidak lebih, bukan persoalan tidak cinta bahasa Indonesia.

Saya mulai menampilkan sampul buku "Outliers" dan gambar penulisnya, Malcolm Gladwell. Bukan sebuah kebetulan, saya membaca hampir seluruh buku Gladwell, tetapi "Outliers" yang paling menancap di otak dan pesan dari buku itulah yang saya sampaikan kepada khalayak di depan saya, saat saya menyampaikan materi di Ruang Mezzanine Hotel Aryaduta, Jakarta.

Waktu sudah beranjak pukul 19.30 yang berarti telat 30 menit dari jadwal. Sesungguhnya itu acara "antiklimaks", sebab beberapa jam sebelumnya acara puncak berupa penganugerahan pustakawan teladan sudah dilangsungkan dan sebagaimana kebiasaan; saya menyerap selintas siapa saja para pemenang itu. Yang menjadi moderator pendamping saya adalah Eva.

Saya menekankan pentingnya pustakawan mampu ke luar dari arus utama pustakawan sebagai "business as usual", pustakawan yang "comme ci comme ca" alias biasa-biasa saja (medioker).

"Anda harus keluar dari statistik besar untuk menjadi berbeda dengan pustakwan kebanyakan," saya mulai memprovokasi lewat sekuel berikutnya berupa gambar duo Bill Gates & Steve Jobs juga gambar The Beatles yang telah memenuhi aturan 10.000 jam terbang, sebagaimana disebut dalam "Outliers".

Baru setelah itu saya masuk ke Era Disruption dengan mengemukakan sejumlah anomali di dunia digital dan tentu saja pentingnya pustakawan menyelami dunia yang merusak segala tatananan sekaligus kemapanan itu. Niscaya, saya bilang demikian, perpustakaan pun akan dirusak hanya oleh sebuah aplikasi yang berhasil menjembatani kebutuhan pengguna (users) dengan pustakawan. "Gejala-gejala itu sudah nampak di depan mata."

Karena saya banyak membaca buku dan yang saya hadapi adalah para pustakawan yang seharusnya banyak membaca, maka saya punya banyak cerita di kepala yang bisa dituangkan tanpa harus melihat gambar, apalagi membaca teks. Saya "keluar" dari semua teks dan gambar untuk bercerita apa saja berdasarkan pengalaman langsung atau dari sejumlah buku yang saya baca.

Satu hal yang saya tekankan, meski mereka dalam pekerjaan sehari-hari berurusan dengan buku adalah pentingnya membaca buku-buku itu sendiri. Saya dorong mereka untuk jadi "intelektual publik" yang gagasan-gagasan mereka bisa dinikmati di ruang publik berupa tulisan atau opini di media massa/sosial. "Jangan hanya jago kandang atau duduk di menara gading saja, Anda harus keluar dari kepompong!"

Apa yang bisa mereka tulis di ruang publik sebagai pustakawan, bagaimana menuliskannya dan di mana menayangkannya? Ya, ini perlu diskusi sesi lain karena urusannya akan panjang kali lebar.

Alhasil, waktu yang semula cuma satu jam untuk diskusi ini, meleber sampai pukul 21.30 WIB. Dua jam lebih saya melayani sejumlah pertanyaan dalam diskusi yang hangat, memerangi kantuk yang menyengat mereka akibat kelelahan. Toh kalau tidak dihentikan moderator, para pustakawan itu masih bersemangat untuk berdiskusi sekaligus eksplorasi gagasan.

Baiklah, kita sambung diskusinya lain kali.

***