Dosa DI's Way

Aneh juga: mengapa saya menyarankan itu ke teman saya. Mengapa tidak saya sendiri yang melakukan. Itulah dosa kedua DI's Way: merasa tidak punya cukup daya untuk itu.

Rabu, 29 April 2020 | 05:47 WIB
0
280
Dosa DI's Way
Ilustrasi dosa DI's Way (Foto: disway.id)

"Ramai sekali. Meski pun tidak sampai macet," ujar teman saya di Ho Chi Minh City, Senin siang kemarin.

Senin itu adalah hari pertama Vietnam boleh bekerja kembali. Setelah lockdown tiga minggu. Ya, hanya tiga minggu lockdown-nya.

Vietnam --Anda sudah tahu-- memang luar biasa. Dari 90 juta penduduknya hanya 270 orang yang terkena Covid-19. Yang meninggal: 0. Penderita barunya: 0. Yang meninggal baru: 0.

Itu karena sejak awal Januari Vietnam sudah siaga penuh. Asumsi pemerintahnya jelas: virus itu pasti akan masuk Vietnam.

Wilayahnya berbatasan langsung dengan Tiongkok. Banyak pula penerbangan antar dua negara --pun yang jalan darat. Belum lagi begitu banyak industrial estate milik Tiongkok di Vietnam.

Teman saya itu bekerja di perusahaan milik Belanda Di Vietnam. Selama lockdown tiga minggu dia bekerja dari rumah.

Meski belum seratus persen, ekonomi Vietnam sudah jalan lagi.

Di Wuhan --setelah lockdown 76 hari-- Senin lalu juga sudah praktis normal 100 persen. Bukan saja tidak ada lagi pasien baru. Pasien lama pun sudah 100 persen bisa pulang. Sabtu lalu adalah pemulangan pasien terakhir: 12 orang.

Saya juga mendapat kiriman foto malam minggu lalu: ibu-ibu sudah mulai menari-dansa lagi malam itu. Di pinggir sungai. Sebagian pakai masker. Sebagian lagi tidak.

Melihat foto Wuhan yang sudah ingar-bingar itu hampir saja saya emosi: kurang ajar Wuhan!

Yakni ketika saya membaca artikel yang beredar luas di medsos. Yang mengungkapkan pendapat seorang profesor ahli imunitas dari Jepang --yang juga pemenang hadiah Nobel.

Nama ahli itu: Prof. Dr. Tasuku Honjo. Ia mengatakan --di medsos itu-- pernah bekerja untuk laboratorium virus kelelawar di Wuhan. Tapi belakangan kaget. Saat menghubungi para peneliti di lab itu tidak ada yang menjawab. Mereka sudah meninggal semua di dalam lab.

Lalu otak saya jalan: kok media utama dunia tidak ikut memberitakannya ya? Kan berita ini mestinya luar biasa hebatnya.

Saya cek website Asahi Shinbun, koran Tokyo paling bergengsi di Jepang. Saya cek pula Yomiuri Shinbun, koran terbesar di sana. Sekaligus melepas kangen. Saya pernah ke kantor koran-koran itu. Pernah pula ke lebih 20 koran daerah di Jepang --mulai dari Nagasaki (paling Selatan), Fukuoka, Hiroshima, Nagoya sampai Hokkaido Shinbun dan Kushiro Shinbun di paling utara.

Mereka juga tidak memberitakannya.

Padahal yang bicara itu tokoh ilmuwan kelas dunia asal Jepang. Pula pemenang hadiah Nobel ilmu kedokteran.

Medsos itu sangat luas menyebarkannya: Prof Tasuku mengatakan Covid-19 itu bukan alamiah. Itu bikinan orang. Kalau virus alamiah pasti hanya berjangkit di daerah dingin. Kok ini sampai ke negara gurun sekali pun. Anggapan saya ia sangat kredibel untuk bicara Covid-19. Yang bermula dari Wuhan itu.

Tapi justru Asahi Shinbun dan lain-lain tadi tidak memberitakan.

Koran-koran utama Amerika juga tidak memberitakan. Saya cari ke koran-koran di Inggris: juga nihil.

Akhirnya saya lega. Ketika tulisan ini saya buat, saya menemukan ulasan soal itu di website yang spesialisasinya mengecek kebenaran sebuah isu. Nama website itu: News Meter. Dari Heyderabat, India.

Banyak negara sudah memiliki website yang seperti News Meter. Ketika ini tulisan selesai saya buat, beberapa media dalam negeri mulai membahasnya. Termasuk situs pengecekan fakta asal Amerika Serikat, Snopes.

Kata News Meter: semua itu hoax. Tidak benar sama sekali. Nama profesor itu benar adanya. Bahwa ia pemenang hadiah Nobel.

Tapi sang profesor tidak pernah bicara seperti itu. Bahkan tidak pernah bicara soal Wuhan.

Sewaktu membaca heboh di medsos itu hampir saja saya terpeleset --mempercayainya. Saya kan pernah terpeleset satu kali: waktu ada hoaks tentang Singapura. Yang isi hoaksnya: pendatang ke Singapura langsung dites di bandara --bila positif, langsung dimasukkan RS atas biaya sendiri.

Gara-gara harus lebih hati-hati itu saya hampir tidak percaya ketika ada berita ini: ada 3.000 penderita baru Covid-19 di Singapura. Hanya dalam dua hari.

Masak sih di Singapura, yang manajemennya begitu hebat, terjadi pendadakan seperti itu.

Ternyata pendadakan itu benar adanya. Singapura baru saja kecolongan: di barak-barak buruh kasar di sana.

Asrama buruh bangunan itu telah jadi pusat penyebaran Covid-19.

Kecanggihan ilmu manajemen seharusnya bisa mengantisipasinya. Berarti doktrin manajemen "analisis persoalan potensial" tidak dijalankan.

Singapura mirip Magetan. Yang sejak awal mestinya juga tahu: ada faktor persoalan potensial di sana. Yakni Temboro.

Siapa pun tahu Desa Temboro adalah salah satu pusat Jamaah Tabligh di Indonesia.

Tentu saya pernah ke Temboro. Makan siang gayeng bersama kyai utama (sepuh) dan para ustaz di sana. Saya memang selalu bangga pada Jamaah Tabligh --gerakan ini sangat damai dan mandiri.

Tapi kekompakan dan sifat kekeluargaan kelompok ini kini menjadi titik lemahnya. Bukan mereka yang salah. Tapi zaman memang sudah terbalik --seperti digambarkan dalam humor yang beredar luas itu: bersatu kita runtuh!

Saya merasa ikut bersalah: kok tidak mengingatkan itu ke Pemkab Magetan --agar diantisipasi. Padahal saya tahu Desa Temboro itu selalu dipadati puluhan ribu manusia. Hampir sepanjang tahun. Silih berganti. Dari berbagai wilayah Indonesia dan belahan dunia.

Padahal Magetan adalah kampung saya. DI's Way ikut berdosa: sudah terlalu menasional. Sudah lupa pada kulitnya.

Maka statistik Covid-19 Magetan pun tiba-tiba melejit. Nama Magetan menjadi begitu terkenal --untuk yang kurang membanggakan.

Pun barak buruh kasar di Singapura itu. Juga membuat statistik Covid-19 di sana tiba-tiba mengalahkan Indonesia --memburuknya.

Penghuni barak itu umumnya buruh bangunan dari Bangladesh dan India.

Kejadian di Singapura itu membuat orang membandingkannya dengan Taiwan. Singapura kalah.

Taiwan juga memiliki ratusan ribu buruh pabrik --dan pembantu rumah tangga. Terbanyak dari Indonesia dan Vietnam. Tapi tetap terjaga: hanya satu yang terkena virus: yang dari Indonesia --itu pun sudah sembuh. Ia tercatat sebagai penderita Covid ke-2 di Taiwan.

Tapi apakah Prof Tasuku benar-benar tidak pernah berkomentar soal Covid?

Ternyata tidak juga. Ahli imunitas itu pernah membuat pernyataan. Isinya: Covid-19 bermula di Tiongkok, tapi Tiongkok akan yang pertama bisa mengatasinya. "Saya tidak bisa mengatakan apakah itu akan membuat Tiongkok kian berpengaruh di dunia atau dunia akan menjauhi Tiongkok," katanya.

Pernyataan itu dibuat tanggal 10 April 2020. Dua minggu kemudian muncul satu akun twitter dengan nama profesor itu. Tapi twitter itu hanya dua kali mengunggah isi --seolah pendapat Prof Tasuku beneran.

"Saya tidak tahu apa maksud akun twitter tersebut dibuat dengan nama saya," ujarnya.

Untung ada News Meter.

Media klarifikasi ini menjadi sangat terkenal. Yang menulis klarifikasi tadi adalah Amritha Mohan, reporter di media itu. Ia seorang master jurnalistik dari Hyderabad University.

Saya pun menyarankan Imawan Mashuri, teman saya yang kini memimpin sekolah tinggi kewartawanan di Surabaya. Nama sekolah itu STIKOSA d/h Akademi Wartawan Surabaya. Agar jurusan jurnalistiknya bisa mempunyai tim yang kuat untuk 'news clearing house' seperti NewsMeter. Media sosial begitu bebas sekarang ini. Perlu lembaga pengecek kebenaran semua isu yang menyesatkan.

Aneh juga: mengapa saya menyarankan itu ke teman saya. Mengapa tidak saya sendiri yang melakukan. Itulah dosa kedua DI's Way: merasa tidak punya cukup daya untuk itu.

Tapi ini bukan soal sumber daya saja. Memang akan lebih baik kalau mahasiswa jurusan jurnalistik yang melakukannya. Sekalian belajar bagaimana filsafat jurnalistik jangan diabaikan: adanya kebenaran di balik kebenaran.

Ya sudahlah.

Orang Wuhan sudah bisa bersenang-senang kembali.

Teman saya di dekat Wuhan pun kirim WeChat. Berikut fotonya. Ia lagi berada di lobi sebuah restoran yang sangat besar. Bersama keluarganya. "Sudah tiga bulan kami tidak pernah makan di restoran," tulisnya.

Hemm... kalau saja dua bulan lalu kita sudah lockdown, mungkin malam Minggu nanti kita juga sudah bisa ke restoran.

Atau justru sudah ke kuburan?

***