Sebagai sesama perempuan, saya merasa terpanggil ketika kasus prostitusi artis menjadi bahasan.
Berawal dari pemberitaan yang tersiar di media online yang muncul di laman media sosial Facebook. Sejatinya saya tidak begitu mengetahui siapa VA (inisial yang disebut) dengan keterangan artis FTV.
Begitu gencar pemberitaan media, khususnya media online yang meng up date perkembangan "penggerebekan" si Artis FTV tersebut, hampir tiap jam. Sehingga saya pun bisa "ngeh" dengan nama lengkap, wajah beserta kronologis kejadian.
Saya termasuk dalam kelompok masyarakat yang menanggapi pemberitaan prostitusi tersebut dengan cara "selengekan". Bukan saya tidak berempati sebagai sesama perempuan. Namun kasus prostitusi kelas kakap yang melibatkan public figure memang tidak dalam jangkaun tangan saya.
Penyintas bukanlah "wanita tuna susila" (maaf) biasa yang bisa menjadi objek penelitian sosial layaknya penghuni lokalisasi. Wajar jika sebagian masyarakat khususnya pegiat media sosial memiliki cara kreatif dalam berempati.
Sebuah Refleksi Empati
Melalui timeline Facebook, saya turut membagikan tautan pemberitaan terkait kasus "VA". Ini bentuk empati sederhana saya. Menggunakan istilah tertentu untuk mengungkap aktifitas prostitusi yang dilakukan sang artispun sengaja saya lakukan. Bukan sebuah hujatan vulgar, melainkan cara saya menelisik realitas kekinian yang cukup memprihatinkan.
Terlepas pembelaan yang muncul pada "VA" yang akhirnya dinyatakan sebagai korban, empati saya sempat mengarah pada sebuah refleksi keprihatinan. Apa kurangnya menjadi artis?
Cantik, menarik, terkenal, secara sosial ekonomi pun jauh dari kata minus. Jangan karena tuntutan gaya hidup yang berlebihan, prostitusi menjadi jalan pintas atas prestasi dan target capaian ekonomi saat kadar keartisan mulai memudar.
Andai saya bisa berkata seperti Dilan: "Jadi artis perempuan itu berat, biar aku saja", tentu saya bisa lebih menyelami modus dibalik prostitusi masa kini yang melibatkan para selebritis. Hingga akhirnya, pembelaan demi pembelaan, bantahan demi bantahan bahwa "VA" terlibat prostitusi itu datang dari mereka yang dekat dengan artis tersebut.
Pihak kepolisianpun akhirnya membebaskan sang artis dan menangkap 2 orang yang disebut-sebut sebagai mucikari.
Wajah Inocent "VA" saat meminta maaf kepada masyarakat atas kegaduhan tak ubahnya serial FTV yang kerap ia bintangi. Seperti sebuah jalan cerita yang berkisah seorang "gadis" yang pergi ke Surabaya untuk menjemput rejeki di awal tahun 2019. Namun tak dinyana, kota yang menyimpan sejarah kejayaan lokalisasi Dolly itu membawanya bertemu dengan laki-laki hidung belang yang sangat misterius.
Saking misteriusnya, saya pun penasaran dengan uang senilai 80 juta yang konon menjadi mahar yang harus dibayar untuk sebuah transaksi seksual. Masyarakat harus puas dengan akhir episode petualangan VA di Surabaya yang Happy ending. Sang Artis kembali ke Ibukota. Menyisakan seribu tentang Pria misterius itu siapakah sebenarnya?
Ketika Tanggapan Afi Nihaya Menjadi Kontroversi
Sementara kita, masyarakat pecinta berita gosip, adegan syuur, pun mereka yang disebut dengan cebong -kampret terlanjur terhibur dengan pemberitaan seputar "VA". Hingga kontroversipun muncul dari sosok yang sempat menuai kontroversi atas tindakan plagiat di waktu lampau.
Setelah sekian waktu status media sosial milik mahasiswa bernama lengkap AFi Nihaya Faradisa ini sepi dari sorotan massa, kasus "VA" seakan menjadi debut kedua baginya untuk memperoleh kembali panggung kontroversi.
Kalimat yang dia sampaikan terkesan ilmiah. Saya sendiri menyergit membacanya. Takut salah persepsi seperti yang dia tuliskan saat sebagian netizen mulai menyerangnya, saya pun hanya garuk-garuk kepala.
Afi mengawali tanggapannya dengan kalimat ekonomi dengan menyebut hukum pasar dimana ada permintaan ada penawaran. Sebagai emak-emak logika itu kadang berlaku terbalik, nawar dulu baru minta :
biasanya kalimat tawar menawarnya begini: " kasih deh harga segitu... kasih ya, kalo gag dikasih gag jadi beli nih"ini persepsi saya sebagai seorang emak. Jadi buat Afi, dalam menanggapi masalah ini, tolong logika sederhana saja yang dipakai ya.
Apalagi contohnya bawa-bawa barang branded segala. Wajar jika akhirnya tanggapan nomor 1 dinilai sebagain netizen sarat makna merendahkan perempuan yang berstatus sebagai istri. Afi menambahkan bahwa seorang istri diberi uang bulanan 10 juta merangkap jadi koki dan tukang bersih-bersih, babby sitter dll.
Dengan emoticon menjulurkan lidah Afi menuliskan lalu yang sebenarnya murahan itu siapa?Sontak emak-emak yang sebulan cuma dapat jatah belanja dari suami dibawah 10 juta bahkan dibawah 5 juta macam saya ini pun merasa terprovokasi.
Ini anak gag tau apa ya, banyak perempuan yang banting tulang agar tidak mengandalkan uang bulanan dari suami. Pengen rasanya bilang ke Afi begini :
"Eh Fi, uang bulanan istri 1o juta per bulan, dalam bayanganmu kelak suamimu gajinya berapa memang?"
Masih tersungut-sungut saya membaca paragraf kedua. Istilah Holier than Thou hingga flawed society yang dituliskan semakin membuat saya merasa ini anak "text book thingking" banget. Coba donk "out of the box", menceritakan kisah pembully-anmu dengan bahasa sederhana yang mudah dicerna. Ga usah pake istilah rumit. Gunakan bahasa yang enak dipahami dan mudah dimengerti semua orang.
Point ketiga yang Afi tulis tentang media yang dalam istilah dia "please reveal both side". maksudnya cover both side apa yak? Duh nih anak lupa. Zaman kemunculannya dulu, kalau saja media itu mau cover both side, maka nasib loe tu ya , gag seindah sekarang Fi. Makasih loe sama media, apapun yang telah ditulis di media itu membuat loe terkenal.
Sama juga dengan kasus VA. Dibalik pemberitaan besar-besaran, dalam pangung selebritas tetap saja itu bagian dari katrol popularitas. Kita lihat saja, sejauh mana mental VA kuat melewati badai prostitusi. Jangankan VA, sederat artis yang pernah tersangkut kasus mesum dari level 1-10, pada akhirnya akan baik-baik saja.
Dan kembali menikmati popularitasnya seolah tanpa batas. Berbeda halnya dengan perempuan desa biasa yang menjadi korban mucikari untuk untuk dijual belikan dalam bisnis Prostitusi. Tentu butuh pemulihan mental dan moral yang lebih dari sekedar dinyatakan sebagai 'Korban"
Dan melihat point ke4 yang ditulis Afi saya semakin tidak mengerti apa tujuannya ikut serta memberi tanggapan jika hanya ingin mencari sensasi. Seolah ingin menjadi sosok yang melek gender dia ngalor ngidul menulis tentang karakteristik negara berkembang yang sakit kronis antara lain disebutnya literasi rendah, penuh pejabat korup,banyak masalah HAM/Sara, Kesejahteraan rendah. Duh..duh..duh, semakin jauh dari lokus pembicaraan saja.
Hingga saya pun lebih menikmati tanggapan atas kasus VA yang kreatif lagi menggelitik
Dari Donat Hingga Apem, Istilah yang Bikin Geli
Istilah selang yang saya gunakan untuk menyamarkan aktifitas seksual yang konon bertarif 80 juta belumlah seberapa. Dalam waktu singkat muncul banyak istilah lengkap dengan gambar ilustrasi yang membuat geli. Sebut saja donat, apem hingga daging mentah. Kosakata sederhana yang mengungkap peristiwa prostitusi masa kini banyak beredar di media sosial.
"Joke" yang disertai gambar atau yang kita kenal dengan istilah meme untuk sementara waktu menjadi hiburan tersendiri bagi pegiat medsos. Perang urat syarat seputar Pilpres sempat mengalami jeda. Efek donat hingga apem begitu efektif membius netizen. Hanya pasangan Presiden Jokowi-Maruf Amin dan lawannya yang tidak bergeming menanggapi peristiwa ini. Semoga Prabowo-Sandi pun tidak ikut latah menanggapi.
Dan begitulah dibalik sebuah fenomena, terlebih prostitusi masa kini selalu menyisakan empati, kontroversi hingga hal-hal yang membuat kita gila. Yang perlu kita ingat, sindikasi prostitusi masa kini sangat absurd keberadaanya. Aparat berwenang dalam hal ini kepolisian harus lebih jeli membidik siapa yang menjadi inti jejaring.
Bukan tidak mungkin, dalam kasus VA, laki-laki hidung belang yang memesan korban justru menjadi pelaku yang dalam penyamaran. Identitasnya sebagai pengusaha kaya, menjadi umpan yang jelas akan membuat para pialang penyedia jasa esek-esek langsung merespon transaksi.
Membongkar kegiatan prostitusi masa kini, tidak lah bisa semasif menutup lokalisasi Gang Sadar (Purwokerto) hingga Doli (Surabaya). Pemberdayaan penghuni lokalisasi bisa dilakukan dengan memberi bekal ketrampilan, bantuan modal hingga rehabilitasi mental di panti sosial.
Namun bagi pelaku prostitusi masa kini yang menikmati kemudahan transaksi di hotel berbintang, dalam gemerlap popularitas dan kemewahan, adakah pola pendekatan hukum yang efektif untuk menjerat dan menghentikan?
kita tunggu kelanjutan dari kasus VA lebih dari sekedar tanggapan yang kontroversial
***
sumber gambar
Afi Nihaya : chirpstory.com
Donat : Selebrity.okezone.com
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews