Semua Bisa Dikomentari

Soal logo halal diributkan, hanya dari sisi ‘seninya’ dan ‘grafisnya’. Substansinya apa? Apa hubungannya soal halal-haram kok ujungnya uang pendaftaran ratusan ribu, atau bahkan jutaan rupiah, untuk dihalalkan?

Rabu, 16 Maret 2022 | 06:54 WIB
0
157
Semua Bisa Dikomentari
Ilustrasi serigala (Foto: Facebook.com)

Apa saja yang tak bisa dikomentari? Tak ada. Semua hal bisa dikomentari. Ini jaman medsos. Yang tidak siap atau sudi menerima kenyataan ini, pasti akan pusing nyari-nyari kesalahannya.

Apanya yang salah? Postingannya? Tak seberbobot para cendekia jaman dulu, yang menulis di koran, majalah, buku?

Kesalahannya, justeru ada pada mereka, orang-orang berbobot yang terlebih dulu ada. Kenapa tak bisa menurunkan dan menularkan keberbobotannya pada generasi berikut? Ada apa dengan keberadaannya? Ngapain saja selama itu, karena sejak jaman penjajahan Belanda sudah dikenalkan yang namanya sekolahan. Sampai jaman merdeka, jaman Soeharto, hingga kini, sudah 29 menteri sejak Ki Hadjar Dewantara hingga Ki Nadiem Makarim.

Tapi kok pertumbuhan literasi dan keterdidikan kita belum juga merata?

Bukannya tak ada yang pintar atau pandai. Tidak sedikit kita punya doktor, bahkan lulusan luar negeri. Meski pun data yang terbanyak adalah doktor ilmu agama. Cuman, celakanya, jumlah orang yang terdidik dan berilmu tinggi, selain persentasenya kurang memadai untuk 270 juta penduduk Indonesia, belum tentu yang sedikit itu juga memadai sebagaimana peran yang diharap.

Karena nyatater, bagaimana bisa tidak ada korelasi antara keterdidikan dengan patrap atau perilakunya? Patrap atau perilaku yang bijimana?

Ya, tentunya patrap atau perilaku seorang berilmu dan berpengetahuan, yang semakin banyak tahu semakin menyadari banyak pula yang tidak diketahuinya. Sebagaimana ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk.

Tapi bagaimana kalau ada penceramah agama melarang kita merunduk di depan orangtua, karena kita hanya boleh merunduk di depan Allah? Masak-awoh! Masak itu tahu, mumpung minyak goreng langka!

Pantes saja soal logo halal diributkan, hanya dari sisi ‘seninya’ dan ‘grafisnya’. Substansinya apa? Apa hubungannya soal halal-haram kok ujungnya uang pendaftaran ratusan ribu, atau bahkan sebelumnya jutaan rupiah, untuk dihalalkan?

Itu label halal bikinan tuhan? Terus pura-pura dalam perahu, tak berani nyinggung bentuk kubah masjid yang kalau diperhatikan juga kayak gunungan? Apakah itu proses jawanisasi masjid?

Padal ada sebuah kitab suci yang menuliskan ajaran bagus, “Dan jangan sekali-kali kebencianmu (kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram), mendorongmu berbuat aniaya kepada mereka.”

Mau tafsir apalagi? Ingat Ahok, yang karena menyebut Al Maidah ditafsir oleh Ketua MUI waktu itu, sebagai menista agama dan menghina ulama? Tahun 2017 kemarin. Ingat? Dan seterusnya!

Sunardian Wirodono 

***