Benarkah Hidup Itu Mimpi Buruk untuk Orang Bijak?

Hidup bisa jadi dapat dilakukan dengan rilek dan santuy. Apalagi mumpung sekarang, ketika Jokowi masih jadi Presiden. Bayangkan, kalau Jokowi kembali jadi tukang meubel, apakah kata ganti untuk memaki?

Selasa, 19 Oktober 2021 | 07:55 WIB
0
227
Benarkah Hidup Itu Mimpi Buruk untuk Orang Bijak?
Mencari kehidupan (Foto: bola.com)

"Hidup adalah mimpi untuk orang bijak, sebuah permainan untuk orang tolol, sebuah komedi untuk orang kaya dan tragedi untuk yang miskin," tulis Sholom Aleichem, penulis dan humoris Yahudi yang bernama awal Solomon Naumovich Rabinovich.

Mungkin saja benar, saya kurang tahu persis. Kurang tahu persis, karena bijak kayaknya bukan. Apalagi kaya. Tolol dan miskin, itu nyatanya. Tapi apakah hidup ini permainan bagi saya yang tolol? Apakah hidup ini adalah tragedi bagi saya yang miskin? Apakah bagi kawan saya yang bijak hidup adalah mimpi? Dan hidup hanyalah komedi, bagi teman saya yang kaya?

Jawabannya belum tentu. Belum lagi kalau kita ngikuti omongan Epicurus, soal kemahaan tuhan. Kalau tuhan begini, kenapa begitu? Kalau tuhan begitu kenapa begini? Yang terjadi sekarang ini, apakah kemajuan teknologi linier, seiring-sejalan dengan kemajuan kemanusiaan kita?

Medsos membuat kita mudah terkecoh, dan terlibat perseteruan. Lebih karena opini (pernyataan) mudah dimuncratkan, tetapi efeknya kayak lem-perekat yang tak gampang lepas. Sensitivitas dan sensibilitas kemanusiaan kita, tak terwadahi dan terpermanai dengan baik oleh huruf-huruf kaku. Sementara tukang kampanye demodec yang terpenjara kotak korek api jres, makin merasa benar, karena menurutnya orang lain memang tak ada benarnya.

Padal Yudi Latif menuliskan apa yang dikatakan Hannah Arendt, yang intinya bertumpu pada aksi, partisipasi, koordinasi. Kesadaran personal mungkin terlalu lambat, untuk apa yang digagas Jokowi soal Revolusi Mental. Tapi mulai dari mana? Tangan besi? Bukankah bapak kiri baru Herberth Marcuse tidak mati di jalanan memimpin aksi-demo?

Hidup bisa jadi dapat dilakukan dengan rilek dan santuy. Apalagi mumpung sekarang, ketika Jokowi masih jadi Presiden. Bayangkan, kalau Jokowi kembali jadi tukang meubel, apakah kata ganti untuk memaki? Padal, pertempuran yang baik membantu kita untuk terus berjuang. Pertempuran yang buruk, karena kualitas oposan dan SJW (social joker warrior) yang buruk, akan membuat kita anyang-anyangen.

Mau pipis tapi kok nggak tega diarahkan ke kepalanya. Apalagi pejuang yang jika kepepet terus cari alasan itu semantika yang disederhanakan. Karena biasa mbulet, dan tumbu oleh tutup ketemu orang yang sama-sama korupnya. Sama-sama funamiknya.

Yang mengritik dan dikritik, esensinya sama-sama. Cari duit. Cuma kadang yang satu merasa mulia padal tidak, satunya lagi mengaku mulia meski juga belum tentu. Dalam sosialisme, menurut Oscar Wilde, but it requires a very fine nature to sympathise with a friend's success. Karena kalau sekedar bersimpati pada yang menderita, itu mah biasa ditulis di medsos. Apalagi di musim pandemi. 

***