Belajar bukan sekadar waktu dan kesempatan, tetapi, lebih dari itu tergantung niat dan disiplin untuk mencari pengetahuan.
Pagi ini, cuaca sedikit mendung. Malam tadi pun, hujan begitu derasnya turun membasahi Bumi. Setelah mengantar istri ke kantor. Saya mampir, buat sarapan. Di tempat favorit kelas pinggiran, dan menu utamanya ketoprak.
Asyik menikmati makanan favorit itu, di meja seberang, datang seorang prajurit TNI, berseragam lapangan lengkap, beserta anak laki-lakinya, yang baru saja keluar kelas. Bocah laki-laki itu, sekira usia 8 tahun.
Sang Bapak, sambil menenteng tas sekolah anaknya, sementara di punggungnya, tergantung tas khas TNI, model back pack, warna hitam. Menuntun anaknya, duduk di sebuah meja, bersebelahan tempat duduk saya, yang sementara menikmati ketoprak.
Sang prajurit, tersenyum dengan ramah kepada saya, sambil berkata "Pagi Pak, permisi..", dengan senyum nya yang menawan,karena memang sang prajurit itu, termasuk kategori ganteng. Sepintas wajahnya mirip artis Korea, yang bermain dalam serial Descendants of the Sun, yang memerani seorang pasukan elit Korea Selatan.
Saya pun, membalas, salam beliau, dengan senyum ramah. Sembari pikiranku menerawang, betapa perangai para pasukan TNI saat ini, begitu sopan dan ramah.
Sepintas, sang prajurit itu -menurut perkiraan saya- berusia sekira 30an tahun. Masih muda, dan sungguh enerjik dengan bentuk tubuh ideal standar pasukan TNI.
Tak lama berselang, datang seorang ibu muda, berjilbab, sambil membawa satu piring ketoprak dan satu mangkuk soto ayam, khas, tempat makan favorit kelas pinggiran jalan itu.
Ternyata beliau adalah istri sang prajurit dan ibu dari bocah laki-laki yang lagi asyik memegang smartphone, sambil berselancar di dunia awan-awan itu.
Sang Ibu, dengan cekatan. Meletakkan piring ketoprak di depan sang prajurit, sementara mangkuk soto ayam, ia letakkan di depan anaknya.
Mereka pun, menikmati makanan itu, dengan begitu bahagianya. Sang Bocah, sesekali disuapin soto ayam oleh ibunya, sementara sang prajurit, sembari makan, ia menjelaskan pertanyaan-pertanyaan anaknya seputar pelajaran sekolah. Sambil sesekali, sang bocah, menunjukkan kepada ayah dan ibunya, definisi istilah yang ia kurang mengerti itu dari mesin pencari google.
Sang ayah pun, melihatnya, dan memberi penjelasan juga, selain apa yang tertera di mesin pencari itu.
Saya tidak terlalu mendengar apa yang mereka bincangkan, karena memang suasana saat itu, sedikit ramai. Apalagi karyawan sebuah kantor yang tepat berada di depan tempat makan itu, lagi sarapan di tempat itu, tentu ramai dengan topik bincang-bincang atau suara ketawa karena topik pembicaraannya kocak.
Walau dalam "keramaian", fokus perhatian saya, kepada satu keluarga kecil itu.
Terbayang, betapa seorang bapak, yang berprofesi sebagai anggota TNI, di sela-sela kesibukan aktivitasnya, tetap meluangkan waktu, mendampingi anaknya dalam belajar, walau di saat makan sekalipun.
Pun juga dengan sang ibu, menyemangati anaknya untuk makan, sambil menyuapinya, dan sesekali nimbrung pendapat, dengan anaknya tentang topik yang sementara mereka bicarakan.
Sungguh sebuah pemandangan yang indah, bagi saya, pagi ini. Bahwa tanggung jawab "mendidik" bukan saja oleh sekolah dalam hal ini guru, tapi orang tua pun, punya andil yang sangat besar dalam membentuk karakter dan kecerdasan anak itu.
Keceriaan keluarga kecil itu, di tempat makan kelas pinggiran, jelas terlihat dengan mimik ceria, mereka telah melakukan suatu aktivitas positif, dalam hal ini, belajar, di tengah keramaian dan memanfaatkan teknologi (smartphone) dengan baik dan benar.
Sejenak pikiranku menerawang jauh ke belakang, dan terbayang, kisah "heroik" seorang DJ (Daoed Joesoef), yang berasal dari kampung darat menuju Sorbonne, dan berhasil menggondol dua gelar doktorat sekaligus, yang ia persembahkan buat dua bidadari yang ia sangat cintai, Ibundanya dan Istrinya.
Selesai sarapan, saya pun, langsung balik kanan, sembari melewati meja yang ditempati keluarga kecil itu, yang sementara menikmati proses "belajar" ala kadarnya itu.
"Permisi Pak, Ibu, saya duluan", kata saya kepada mereka sambil tersenyum. Dan mereka pun membalas salam saya dengan senyum yang sebenar-benarnya senyum.
Saya pun melanjutkan langkah, menuju gerobak tempat saya memesan ketoprak tadi, sambil berkata pada ibu pengelola yang bertindak juga sebagai kasir, "Ibu, tolong hitung sekalian dengan tagihan bapak berpakaian TNI, di seberang meja saya tadi". Sambil menyerahkàn uang kepada ibu kasir itu, dan menerima kembali kembaliannya. Hitung-hitung, sedekah pagi sebelum beraktivitas mengelola kedai kopi yang kini tak minimalis itu.
Di tengah perjalanan menuju, markas penggila sejarah, saya masih terbayang, dengan aktivitas positif yang dilakoni oleh keluarga kecil itu tadi.
Seandainya, setiap Ibu dan Bapak, bisa memanfaatkan waktu dan kesempatan untuk "mendidik" anaknya, dimana pun berada, menggunakan fasilitas apa adanya, saya pikir, akan banyak tumbuh generasi penerus, yang mempunyai kecerdasan yang baik, kata saya dalam hati sambil pikiran menerawang model ideal pendidikan seperti apa yang perlu untuk dikembangkan di zaman yang serba digital ini?
Saya pun, harus menuntaskan buku Anak Tiga Zaman, karya bung Joes, yang diberikan Opa Alex John Ulaen , untuk di baca dan dibuatkan ulasan ringannya, setibanya di markas penggila sejarah.
Belajar bukan sekadar waktu dan kesempatan, tetapi, lebih dari itu tergantung niat dan disiplin untuk mencari pengetahuan.
***
Dari Bilangan Jl. Bahari VIII 18 November 2021, pukul 12.55
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews