Jadi kalau engkau tahu rakyat sudah muak pada pemerintah, atau muak pada Presiden, atau lebih jelasnya muak pada Jokowi, terus bagaimana? Jihad fisabilillah?
Ada seorang yang oleh media dan banyak orang, disebut nganu. Istilah Arab itu, terjamahnya ke Idonesia; orang yang berilmu, para sarjana. Itu terjemahannya. Kalau faktanya, saya tidak tahu. Kebetulan orang yang kita maksud, ialah yang menjadi Wakil Ketua MUI. Entah apa kepanjangan MUI, mungkin ada hubungan nganu di Indonesia itu. Mungkin. Kalau nganu yang zuhud dan beneran, pasti ndak gitu.
Gitu gimana? Semua orang juga sudah tahu. Seperti FPI dulu dibentuk oleh kawanan Orbasoe, MUI sebenarnya juga bentukan Orbasoe, sebagai penyeimbang dalam konstelasi politik yang dikemudikan oleh Soeharto dekaka.
Tapi lantaran ngurusi agama nggak jelek-jelek amat, Pemerintah sering kerepotan menertibkannya. Jokowi yang janji tanpa kompromi pun, masih melakukan beberapa kompromi. Ormas yang pakai bau-bau agama (menurut UU-nya MUI adalah juga ormas, tak lebih tak kurang: organisasi masyarakat), jadi suka baperan dan ngamukan. Melakukan pressure ke Pemerintah bila-bila masa ada maunya. Dan Pemerintah, sejak jaman Soeharto, memakainya sebagai mainan yoyo, Tarik-ulur, dan take and give.
Problemnya, Jokowi memang ‘agak menjengkelkan bagi MUI, terutama wakil ketuanya. Lha wong wakil presidennya bekas ketua MUI, kok wakil ketua MUI ini tidak dijadikan apa-apa. Jadikan abal-abal kek.
Dalam kasus Waloni beberapa hari lalu, wakil ketua MUI ini nyablak ke mana-mana. Pernyataannya, agak nganu-nganu gimanah gitu. Bukan hanya intimidatif, tapi berbau kompor meleduk. Tak ada cerminan kesabaran dan kesadaran. Cenderung seperti tetangga jauh saya, yang suka ngomong; “Ini kalau Polisi tidak segera bertindak, jangan-jangan nanti rakyat marah, main hakim sendiri,…!” Sebenarnya, buntut kalimatnya itu yang ingin diamplifikasinya.
Padal, menurutnya, Waloni bukan atau belum level disebut ustadz. Lho, lha, jadi bijimana cara ngukur level, atau kepantasan seseorang pantas dan tak panas, kalau MUI sendiri menolak gagasan sertifikasi ustadz? Sementara MUI juga tak bisa menjelaskan, mengapa Waloni tak memenuhi syarat, tapi si itu-itu-itu, yang sebenarnya sama dan sebangun Waloni, disebutnya ustadz, atau bahkan ulama? Dulu bahkan di MUI ada yang bernama Tengkuzul.
Jangankan kriteria soal keustadzan, lha wong laporan pertanggungjawaban keuangan dari penggunaan duit pemerintah pun, ormas ini sering bermasalah. Berani dan maukah PPATK mengauditnya?
Kalau orang Kementrian Agama berani jujur ngomong, mungkin mereka bisa cerita banyak. Apakah kepanjangan MUI itu. Apakah huruf u di antara m dan I itu, mangsudnya ulama atau u apa? Itu yang harus diperjelas. Itu yang harus diaudit, kenapa mereka nolak audit mulu! Itu duit dari keringat dan darah rakyat, Mbah!
Pada akhirnya, saya sih ngarep KPK berani jujur itu hebat, kalau mau mengarahkan ‘bentar aja’ teropongnya ke ormas ini. Agama adalah suci. Orang beragama, hanya allah subhanahu’ wa ta’alla yang punya otoritas menilai. Dan di Indonesia, hanya Gus Dur waktu itu yang berani ngomong, bubarkan MUI! Karena kalau ulama bilang muak dengan umaro, level politiknya tentu high-cholesterol.
Jadi kalau engkau tahu rakyat sudah muak pada pemerintah, atau muak pada Presiden, atau lebih jelasnya muak pada Jokowi, terus bagaimana? Jihad fisabilillah? Mau menolak anggaran bansos dari Pemerintah? Yang jelas aja. Karena nanti, jangan-jangan para malaikat harus bawa-bawa rekam-jejak digital, untuk persidangan terakhir di akhirat?
Kayak jaman dulu kala, ketika para petinggi agama kecewa pada Raja Kertajaya, kemudian curcol pada SJW bernama Ken Arok, meski beda aliran. Karena musuh yang juga memusuhi musuh kita, adalah temen tentative kita. So?
Padal, Jokowi pantas lho jadi presiden 3 (tiga) periode, sekiranya UU membolehkan. Sekiranya! Gitu aja dianggep serius. Terus baper. Terus sewot. Terus imunitasnya turun. Terus ketempelan corona di paru-paru! Terus koit, eh, kopit dulu ding!
@sunardianwirono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews