Justru beragama tidak bisa diselenggarakan tanpa pikiran yang sehat. Karena itu, baginya, ilmu yang mengawinkan agama dan akal adalah sebaik-baik ilmu.
Selama ini kita terbiasa melihat dikotomi antara ilmu dan amal, antara pengetahuan dan tindakan, antara teori dan praksis, seolah-olah ilmu adalah kategori lain di luar amal. Dikotomi ini memberi kesan seolah-olah apa yang disebut amal, tindakan, dan praksis sebatas pada apa yang dilakukan oleh badan. Seolah-olah ilmu bukan amal.
Imam al-Ghazali memiliki pandangan yang berbeda. Baginya, ilmu adalah termasuk amal, tindakan, bahkan masuk dalam kategori tindakan yang paling "top markotop". Ilmu adalah tindakan, hanya saja ini bukan tindakan badan, melainkan tindakan yang dilakukan oleh "al-qalb". Istilah terakhir ini mungkin lebih tepat dimaknai sebagai "rasio" atau pikiran, bukan "hati" sebagaimana selazimnya.
Bagi al-Ghazali, pikiran dalam pengertian "al-qalb" adalah "a'azzu-l-a'dla'", anggota badan manusia yang paling mulia, mengatasi anggota-anggota badan yang lain seperti mata, telinga, mulut, hidung, tangan, dan kaki. Karena itu, tindakan pikiran adalah sebaik-baik tindakan, karena ia diproduksi oleh sebaik-baik anggota badan, "a'zzul al-a'dla'."
Ilmu, dengan kata lain, termasuk amal, dan bukan sekedar amal saja. Ia adalah amal yang paling top-markotop, paling keren. Demikianlah kata al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa, kitab yang mengenai teori hukum Islam alias ushul al-fiqh. Kitab ini ia tulis setelah Ihya' 'Ulumiddin yang kondang itu.
Kemudian daripada itu (ini adalah ungkapan khas Presiden Suharto dulu yang sering ia pakai saat berpidato mengenai Repelita), ilmu yang terbaik menurut al-Ghazali adalah ilmu-ilmu yang di dalamnya terkandung dua aspek sekaligus: aspek wahyu dan akal, al-sam' wa-l-'aql.
Ilmu yang murni wahyu atau murni akal saja, bagi a-Ghazali, kedudukannya lebih rendah daripada ilmu yang, meminjam istilah beliau, "izdawaja fihi al-'aqlu wa al-sam'u", ilmu yang mangawinkan antara akal dan riwayat (maksudnya: Qur'an dan hadis).
Ilmu yang murni wahyu biasanya hanya bersandar pada hafalan. Orang yang memiliki ilmu ini tidaklah terlalu istimewa; "wa al-khathbu fi amtsaliha yasirun," kata al-Ghazali. Sebab, siapapun yang hafalannya kuat, baik orang kecil atau dewasa, bisa meraih ilmu yang "naqliyyun mahdlun", murni wahyu ini. Dengan demikian, ilmu ini tidak menyematkan keistimewaan yang khsusus pada seseorang.
Begitu juga ilmu yang murni akal saja, kedudukannya lebih rendah di bawah ilmu yang mengombinasikan wahyu dan akal. Sebab, ilmu semacam ini tidak ada unsur kewahyuan di dalamnya. Ilmu yang paling mulia, bagi al-Ghazali, adalah ilmu kategori ketiga, yaitu ilmu yang mengawinkan akal dan wahyu, bumi dan langit.
Apa ilmu yang menggabungkan antara akal dan wahyu itu? Banyak. Salah satunya adalah ilmu ushul fikih, teori hukum Islam. Ilmu ini menggabungkan antara rasionalitas dan transendentalitas atau wahyu, antara yang kodrati dan adi-kodrati. "Subject matter" atau bahasan pokok ilmu ini adalah wahyu, yaitu ayat atau hadis yang berkenaan dengan hukum. Tetapi, dalam ilmu ini, wahyu diolah, ditelaah, dianalisis dengan menggunakan akal.
Karena itu tidak heran, jika Musthafa Abdurraziq (1885-1947), seorang ulama Mesir yang pernah menjabat Syaikh al-Azhar, menggantikan Syekh Musthafa al-Maraghi, pernah berpendapat bahwa Islam memiliki filsafat sendiri di luar filsafat yang berasal dari Yunani. Yang bisa disebut sebagai filsafat yang asli Islam, menurut Abdurraziq, tiada lain adalah ilmu ushul fiqh.
Ini sekaligus menolak asumsi para kaum atheist atau new-atheist yang beranggapan bahwa beragama sama saja dengan memunggungi rasionalitas dan akal, seolah-olah orang beragama dengan sendirinya akan bersikap irrasional dan menegasikan peran pikiran.
Al-Ghazali menunjukkan sebaliknya. Justru beragama tidak bisa diselenggarakan tanpa pikiran yang sehat. Karena itu, baginya, ilmu yang mengawinkan agama dan akal adalah sebaik-baik ilmu.
Sekian.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews