Nyepi Obat Mujarab bagi Semesta

Mereka fokus pada upacara inti nyepi itu sendiri, yang barangkali kelak akan dikenang sebagai perayaan nyepi paling panjang sekaligus paling mencekam.

Minggu, 29 Maret 2020 | 11:35 WIB
0
378
Nyepi Obat Mujarab bagi Semesta
Ogoh-ogoh (Foto: ubudvalleyresort.com)

Jogja, pemerintah daerah maupun rajanya, memutuskan untuk tidak akan menerapkan lockdown. Bukan karena, masyarakat nya sejak awal sudah apatis, mengolok-olok dan memplesetkan istilah itu sebagai lok-jon. Istilah yang merupakan bahasa walikan yang merupakan kearifan lokal masyarakat setempat.

Lok-jon sendiri sejatinya berarti ngloco, yang barangali asal mulanya dari Serat Gato-Loco yang bernuansa jorang itu. Ngloco di banyak tempat punya istilah sendiri-sendiri apakah itu yang kasar seperti ngocok, nyabun, coli, atau yang lebih eufisme seperti self-service atau swalayan. Intinya adalah aktivitas masturbasi yang hanya menyenangkan diri sendiri.

Apa yang dianggap sangat marxis sebagai "sebagian wujud ketakutan orang kaya, dengan mengabaikan orang miskin". Kenapa orang Jogja sedemikian sensitif dengan lock-down. Jogja sekalipun termasuk kota paling sehat, rata2 penduduknya berumur paling panjang, namun bukanlah termasuk masyarakat makmur.

Istilah ora obah, ora mamah (tidak bekerja, tidak makan) sudah menjadi ideologi publik sejak lama. Jadi sebagai anti-tesis terhadap lock-down, pemerintah menawarkan wacana calm-down. Calm down dianggap berbeda dengan slow-down, yang konotasinya sangat ekonomi-bisnis itu. Calm-down lebih spiritualis mendekati menenangkan diri, menurunkan tensi kehidupan ke arah yang lebih hening dan introspektif.

Hal mana yang sangat sejalan dengan semangat nyepi bagi orang Hindu-Bali yang kita peringati secara bersama di hari ini. Saat inilah nyaris semua kepala mengeok Bali tidak sebagi obyek wisata, tapi justru pada tradisi luhurnya.

Walau orang terkadang juga salah kaprah, menganggap masyarakat Bali, merayakan nyepi dengan acara tunggal. Melakukan penyepian diri yang terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Dengan melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadhi.

Namun sesungguhnya rangkaian ritual yang mengawali dan mengakhirinya merupakan proses yang cukup panjang, yang merupakan perayaan sangat publik. Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan penyucian dengan melakukan upacara Melasti. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) diarak ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam.

Sehari sebelum Nyepi, mereka melaksanakan upacara Buta Yadnya di segala tingkatan masyarakat, mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya.

Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar nasi tawur, mengobori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja hingga bersuara gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.

Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.

Dan khusus tahun ini, terkait dengan mewabahnya virus Corona, sebagian sangat besar perayaan publik ditiadakan. Atau kalau pun tetap dilakukan tidak dalam skala publik yang mengundang massa besar. Dan cukup diwakili beberapa orang saja. Menunjukkan betapa siap dan dewasanya masyarakat Bali menghadapi perubahan situasi-kondisi yang mengerikan ini.

Mereka fokus pada upacara inti nyepi itu sendiri, yang barangkali kelak akan dikenang sebagai perayaan nyepi paling panjang sekaligus paling mencekam. Tapi terutama paling representatif dan kontekstual terhadap situasi global dan aktualnya.

Sebagai Kejawen, saya termasuk yang menjalani nyepi sangat kerap, tidak tergantung momentum. Saya termasuk yang terlalu mudah nyepi daripada ngrame. Itu pilihan tentu saja. Tapi bagi publik global yang lebih luas dan heterogen itu, nyepi pada saat ini semestinya adalah keniscayaan.

Apapun istilah yang digunakan lock-down, slow-down, atau pun calm-down. Intinya adalah sementara waktu tetap di rumah, menjaga jarak fisik tetap aman, dan menganut pola hidup sehat. Nyepi kali ini menyadarkan publik bahwa kearifan lokal, juga bisa menjadi fenomena global. Nyepi adalah kebutuhan masyarakat global...

Nyepi bisa menjadi obat mujarab bagi semesta yang lelah, kotor, dan bingung. Berhenti sejenak, mandeg sakwetara wektu. Ia adalah panasea yang manjur untuk menyembuhkan ibu pertiwi bumi tempat yang juga lelah kita pijak dan injak-injak, maupun bapak angkasa yang menyediakan udara bersih untuk bernafas.

Nyepi kali ini sungguh menjadi indah dan syahdu sekali....

Rahajeng Rahina Nyepi Tahun Baru Caka 1942.

***