Tawa yang mengiris hati dari Arthur Fleck, sebagaimana diekspresikan Phoenix, adalah tragedi involusi sosial yang hanya muncul dalam bentuk sinisme dan kenyinyiran.
Ketika Imam Samudra ditangkap (2002) karena peristiwa Bom Natal Bali, ia justeru menjadi idola para remaja. Kaos yang dipakainya, bertuliskan ‘Converse’ di dada, justeru diambil alih menjadi simbol perlawanan.
Banyak remaja membeli dan memakai kaos itu, bukan karena ‘kata-kata converse’ sebagai brand. Melainkan karena itulah yang dikenakan Imam Samudera ketika ditangkap aparat negara.
Identitas perlawanan, dalam sosok Imam Samudra, mendapatkan momentumnya. Meski tentu saja dalam ranah simbolik. Dan itulah cuma, yang bisa dilakukan. Apalagi saat itu, Reformasi Politik 1998 juga tidak memberi perubahan apa-apa, selain kepada para elite politik dan calo-calonya.
Dan tiba-tiba, kini kita (yang berkepentingan tentu) menjadi kaget, ketika melihat Joker yang diperankan Joeaquin Phoenix. Kemudian membanding-bandingkan dengan Joker yang diperankan Jared Leto, yang disebut versi rusuh, atau pun Heath Ledger sebagai versi psikopat. Sedangkan Joaquin Phoenix, disebut-sebut sebagai versi liar dan menyeramkan. Padahal ketiganya bukan dalam kesatuan, melainkan memiliki logika dan alasan dramatiknya sendiri-sendiri.
Bisa jadi itu pemahaman di Indonesia, oleh masyarakat Indonesia kebanyakan.
Apalagi mereka yang dididik dalam konflik tipologis seni kethoprak, atau seni wayang kulit, juga oleh legenda-legenda. Jarang sekali seni-seni tradisi mendidik kita masuk dalam konflik psikologis. Jika pun ada cerita dalam tradisi kita mengenalkan itu, seperti Keraguan Arjuna menghadapi Perang Bharatayudha, atau hadirnya tokoh-tokoh seperti Bhisma, Kumbakarna, Adipati Karna, jarang dimainkan karena kurang seru. Dilanjutkan represi sosial Orde Baru, membuat saraf manusia Indonesia tumpul.
Dengan jargon pragmatisme, formalisme, dan vandalisme, pembacaan akan sosok Joker pun, dikungkung dalam perspektif masing-masing. Ialah ketika memahami siapapun dan apapun, hanya pada yang tampak. Abai berupaya mengetahui apa yang menjadikannya. Termasuk, di luar soal Joker; Kenapa seorang beragama justeru bisa menjadi jahat? Seorang yang makan sekolahan, bisa berperilaku anti-sosial? Atau yang menjadi pejabat negara, bisa menjadi penjahat penghisap duit rakyat?
Ketika kita kemudian diam-diam memuja, atau berempati, kepada Joker, bahkan mengidolakan, hampir mirip ketika kita melihat sosok Imam Samudra dengan kaos ‘Converse’. Ia menjadi simbol perlawanan, bagi ketidakberdayaan dalam menghadapi peradaban yang lamis, atau kenyataan yang kejam. Modernitas yang gagap, dan segala macam ilmu pengetahuan, intelektualisme serta agamaisme yang macet. Tidak operated. Bahkan hanya sebagai alat legitimasi bagi kepentingan yang koruptif. Atau hanya sekedar menjadi Batman, yang sempurna, dalam imajinasi.
Tawa yang mengiris hati dari Arthur Fleck, sebagaimana diekspresikan Phoenix, adalah tragedi involusi sosial kita. Yang hanya muncul dalam bentuk sinisme, kenyinyiran, atau bahkan proposal-proposal lucu. Baik sebagai agen politik, buzzer bayaran, atau pun agen lembaga funding dari para penjarah Indonesia! Dan kita ketawa dalam keputusasaan, kayak tawa Phoenix!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews