Adakah Hubungan antara Pameran Memedi Sawah dengan Situasi Politik?

Kamis, 21 Februari 2019 | 09:39 WIB
0
567
Adakah Hubungan antara Pameran Memedi Sawah dengan Situasi Politik?
Instalasi Memedi Sawah di Bentara Budaya Jakarta (sumber penulis)

Memedi Sawah adalah sebutan orang-orangan sawah yang fungsinya untuk menakut-nakuti hewan pengganggu dan hama di sawah

Pada saat memasuki ruang pameran Bentara Budaya Jakarta terdengarlah sayup-sayup lagu Ibu Pertiwi. Berdiri dengan tegak 100 memedi sawah dengan lukisan-lukisan wajah berbagai tokoh mulai dari Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Lalu ke para tokoh negarawan sampai ada seniman yang berprofesi aktris atau pun pelawak.

Sementara di lantai ilalang kering berhamburan juga beberapa burung kertas tergeletak kadang tanpa sadar terinjak. Jika mendongak ke atas juga tampak burung-burung seolah-olah terbang menurut penerima tamu pameran yang buka mulai dari jam 10.00-18.00. Burung ini terbuat dari kertas pembungkus nasi, terangnya. Saya menebak-nebak apakah maksud dari tujuan instalasi seni Memedi Sawah dari perupa Hari Budiono.

Pada bagian dinding terpajang 8 lukisan yang menyimbolkan situasi politik saat ini. Ada lukisan seseorang memakai topeng seram, yang menunjukkan teror atau ketakutan. Lalu ada juga lukisan dua ekor ayam jantan sedang bertarung, dengan sekelilingnya anak-anak ayam berbulu warna-warni. Menurut teman saya, anak-anak ayam tersebut adalah partai-partai yang mendukung para calon presiden 2019.

Akibat rasa penasaran akhirnya saya menemukan jawaban di salah satu artikel di media Kompas. Ternyata pameran ini adalah hasil refleksi atas situasi terkini di negeri ini.

Hari Budiono bercerita bahwa Memedi Sawah dimaknai sebagai simbol teror dalam kondisi kontemporer negeri ini. Tapi fungsi Memedi Sawah sebagai penjaga justru berbalik berubah menjadi pengganggu ekosistem. Loh, kok bisa? Dalam hati saya membatin bertanya.

“Memedi Sawah menjadikan kita saling curiga, saling membenci, saling tak menghargai, selalu merasa menang dan benar sendiri, sehingga kita menjadi manusia intoleran,” ujarnya. Membaca ini saya mengangguk perlahan.

Memang situasi pada saat ini penuh dengan gesekan, ujaran kebencian bertaburan di halaman media sosial, intoleran dan radikalisme tampil di sana-sini. Bahkan hal ini berakibat kepada anak-anak. Karena mereka melihat perilaku orang tua mereka. Bahkan sempat seorang guru mengajar hal ini kepada seorang anak kenalan saya.

Agar jangan makan di restoran cepat saji asal Amerika. Karena mereka yang membiayai senjata perang yang menembaki umat Muslim. Padahal anak ini baru duduk di bangku TK. Untung sang anak bercerita kepada Ibunya.

Kebetulan juga saya baru menghadiri deklarasi penulis untuk Pemilu Damai pada hari Minggu, 17 Februari 2019. Yang difasilitasi oleh Pepnews.com. Dimana acara ini bertujuan agar para penulis melawan intoleransi, radikalisme dan terorisme juga segala bentuk penyebaran hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian.

Dengan mengedepankan rasa aman dan nyaman melalui pilihan kata, fakta dan data. Jadi saya rasa, perlulah untuk membagikan makna dan tujuan dari sang perupa  yang merupakan alumni Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI“ Yogyakarta tahun 1985. Yang ternyata hubungannya dengan pemilu damai.

Lukisan para tokoh ini mengandung arti sesuatu yang khusus. “Memedi Sawah itu jadi tidak menakutkan lagi, mereka telah tertawa dengan tawa manusia Indonesia, mulai dari presiden sampai rakyat biasa," kata GP Sindhunata, kurator Bentara Budaya, terungkap dalam tulisannya tentang pameran ini. "Memang, ketakutan sosial hanya bisa dikalahkan dengan tertawa bersama-sama. Ketakutan itu memecah belah, sedangkan tertawa itu menyatukan.” tekannya.

Kalau menurut versi kurator Pameran, Romo Shindunata. Dia memberikan penjelasan, bahwa memedi sawah sudah bukan fungsi aslinya melainkan manusia-manusia yang saat ini suka menakuti sesamanya. Yang adalah simbol ekstrasi dari pengalaman ketakutan yang sedang mencekam banyak warga di tahun politik 2019 ini.

“Memedi sawah tampil kapan saja, di mana saja, dalam berbagai ekspresinya: teror, kampanye politik yang membakar, kabar bohong, fitnah, hasutan, intoleransi, dan kekerasan. Nyaris tak ada wilayah yang tak bisa dimasukinya. Media sosial sudah dijadikan koloni ketakutannya.

Bahkan memedi sawah bisa menyusup masuk ke dalam kealiman dan kesalehan agama. Di bawah kesalehan agama, ia bisa memaksakan kebenaran yang mutlak. Jika kebenarannya sendiri telah menjadi mutlak, maka kebenaran lain hanya ada untuk ditiadakan dan dilindas,” demikian penjelasan detail dari Romo Shindu.

Lukisan manusia menggunakan topeng seram yang tadi saya sebutkan tadi ternyata mempunyai makna sindiran yang dalam. “Manusia ini mempunyai banyak topeng, yang rupanya tenang, sabar, bijak, sampai yang alim. Ia bisa berganti-ganti topeng, sesuai dengan kebutuhan dan situasinya. Namun kali ini ia mengenakan topeng yang menakutkan, maklum tahun ini ketakutan paling laku dijual di pasar,” tambah Romo Shindu.

Kurator Bentara Budaya Jakarta, Efix Mulyadi berpendapat, pameran yang berlangsung sampai tanggal 23 Februari 2019 ini sangat kreatif. Hal ini dapat ditiru sebagai upaya untuk meruwat kehidupan bersama, yang terus terancam oleh memedi-memedi sawah masa kini, yang bermunculan dari semua penjuru di Indonesia.

Orang-orangan sawah menjadi lekat di otak saya dengan lukisan wajah-wajah para tokoh yang tertawa. Semoga dengan menulis dengan hati nurani dan jiwa yang sehat. Saya bisa menjadi lukisan tokoh-tokoh tertawa.

Menegakkan yang benar, membela yang salah dengan sepenuh jiwa raga. Berharap tulisan-tulisan saya bisa mendorong terciptanya pemilu damai. Semoga Memedi Sawah kembali ke fungsi asalnya : sebagai pelindung sawah.

*** 

Sumber : 12