Semua ini berawal dari bungkam. Kita bungkam di hadapan semesta. Kita bungkan di hadapan Yang Kuasa. Pada akhirnya, kita pun sadar, bahwa kita selalu sudah bersama dia, Yang tak Terhingga…
Di Indonesia, kita gemar sekali berdoa. Setiap ada bencana, kita berdoa. Setiap ada perayaan, kita berdoa. Doa dianggap mampu menyelesaikan segala tantangan kehidupan.
Gaya berdoanya pun macam-macam. Ada yang berdoa dengan berteriak-teriak ke seluruh penjuru arah. Ada yang berdoa sampai menangis-nangis. Bahkan, ada yang berdoa sampai pingsan, sehingga harus dibawa ke rumah sakit.
Di dalam doa, mintanya pun macam-macam. Ada yang minta, supaya cepat kaya. Ada yang minta, supaya enteng jodoh. Ada yang minta, supaya sehat selalu, dan tak pernah mati, walaupun ingin masuk surga.
Padahal, jika diperhatikan, alam ini sudah penuh dengan apa yang dibutuhkan manusia. Matahari bersinar. Udara segar setiap saat. Sumber daya alam yang kaya untuk menopang kesejahteraan hidup manusia.
Lalu, mengapa kita tak pernah puas? Mengapa kita masih merasa berhak untuk meminta sesuatu kepada Tuhan, bahkan sampai teriak-teriak, atau pingsan? Ini adalah kesalahpahaman mendasar di dalam hidup spiritual kita. Di abad teknologi dan ilmu pengetahuan ini, kesalahpahaman ini tak mau juga pergi.
Ruang Hampa Ilahi
Segala hal lahir dari ruang hampa. Ruang hampa adalah kemungkinan. Para ilmuwan astrofisika menyebutkan materi dan energi gelap (dark energy dan dark matter). Sepanjang sejarah, manusia menyebutnya sebagai Tuhan.
Entitas ini melahirkan segala sesuatu. Galaksi lahir darinya. Bintang dan planet juga lahir dari rahimnya. Manusia, dengan segala kompleksitasnya, pun lahir dari entitas yang misterius ini.
Segala yang dibutuhkan kehidupan pun sudah ada di alam semesta. Bumi menjadi tempat yang istimewa, karena ia mampu menopang kehidupan. Namun, ada kemungkinan juga, bahwa tempat lain pun bisa menopang kehidupan. Di bumi, manusia hanya perlu melatih akal sehat dan nuraninya, supaya ia bisa hidup damai, dan sejahtera.
Ironi dan Bungkam yang Mulia
Namun, karena ketololan dan kesombongannya, manusia tetap meminta. Ia tak pernah puas. Hidupnya penuh kerakusan. Bahkan, kerakusan, kebodohan dan kesombongannya itu, seringkali, dibungkus dengan jubah agama, supaya terlihat suci.
Tuhan dijadikan kacung. Tuhan bisa diperintah untuk mewujudkan keinginan-keinginan dangkal manusia. Bahkan, Tuhan dijadikan budak untuk kerakusan manusia. Sungguh penuh ironi dan tak masuk akal.
Jangan salah paham. Kita tetap harus berdoa. Namun, kita harus berdoa dalam bungkam. Kita menutup mulut kita, ketika kita berdoa.
Kita bungkam di semua tingkat. Kata lenyap. Pikiran tertunda. Ambisi dilepas. Bungkam yang mulia adalah doa yang tertinggi.
Moralitas Alami
Ketika kita bungkam, kita menjadi satu dengan segala yang ada. Doa tak lagi kata penuh kesombongan. Doa tak lagi memperbudak Tuhan. Doa menjadi saat kembalinya manusia ke jati dirinya yang asli, yakni satu dengan segala yang ada.
Apa yang perlu terjadi akan terjadi. Alam dan Tuhan yang menentukan. Manusia bisa bersyukur, sambil tetap berusaha. Usahanya tak datang dari ketakutan ataupun kerakusan, namun dari harmoni dengan segala yang ada.
Inilah dasar bagi moralitas alami. Baik dan buruk tidak lagi mengikuti tradisi secara buta. Baik dan buruk lahir dari batin manusia yang menyatu dengan segala yang ada. Moralitas pun melampaui kekuasaan politik yang dangkal, dan menjadi satu dengan semesta.
Ada kejernihan yang lahir. Kita pun bisa memilih. Ada waktunya diam, dan menerima segala yang terjadi. Ada waktunya bergerak, dan berjuang untuk kebaikan.
Semua ini berawal dari bungkam. Kita bungkam di hadapan semesta. Kita bungkan di hadapan Yang Kuasa. Pada akhirnya, kita pun sadar, bahwa kita selalu sudah bersama dia, Yang tak Terhingga…
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews