Berkunjung ke Toko Buku di Luar Negeri

Di toko buku Paper Plus di Lake Wanaka Beach saya membeli buku "The Diary of A Bookseller" karangan Shaun Bythell.

Jumat, 27 Maret 2020 | 09:11 WIB
0
276
Berkunjung ke Toko Buku di Luar Negeri
Ilustrasi buku (Foto: medium.com)

Bila bepergian ke luar negeri, baik untuk tugas, belajar, maupun berlibur, saya senantiasa menyempatkan diri ke toko buku.

Ketika pada 2003 mendapat beasiswa Chavening untuk mengikuti program singkat bertajuk "Transition to Democracy," saya mengunjungi toko buku di London dan Edinburgh hampir setiap akhir pekan. Toko buku sekitar London saya jelajahi. Yang paling sering saya kunjungi toko buku Waterstones.

Toko buku Universitas seperti toko buku di London School of Economics and Political Science serta SOAS University juga saya kunjungi. Toko buku parlemen Inggris di Westminster tak luput dari penjelajahan saya. Di toko buku parlemen saya membeli buku "Constitutional Change in the United Kingdom." Saya membeli buku ini karena pengarangnya, Nigel Forman, memberi kuliah kepada kami di London.

Saya membawa banyak buku dari London, juga Skotlandia. Buku yang saya beli terkait sosiologi, agama, Islam, media, hingga sistem konstitusi Inggris. Saya sampai khawatir kelebihan bagasi bila kembali ke Indonesia. Saya merayu peserta lain yang kebetulan anggota Komisi I DPR RI, yakni Burhan Magenda, untuk menghubungi Dubes Inggris di Jakarta supaya kami mendapat tambahan allowance. Pak Burhan akhirnya menghubungi Pak Dubes dan kami, 13 peserta, mendapat £23 masing-masing.

Ketika ke Malaysia atas undangan Pemerintah Malaysia pada 2007. saya membeli beberapa buku, di antaranya "Islam Hadari" karangan Abdullah Badawi yang waktu itu menjabat Wakil PM Malaysia. Islam Hadari kira-kira sama dengan Civil Islam atau Islam Madani. Saat mengikuti seminar WAN-IFRA di Kuala Lumpur, Malaysia, tahun 2013, saya singgah di toko buku Kinokuniya membeli beberapa buku di antaranya "Vanishing Newspaper" karangan Philip Meyer. Meyer meramal koran terakhir terbit pada 2043.

Ketika berkunjung ke Taiwan atas undangan Pemerintah Taiwan pada 2010, saya membeli buku "Travel Writing" yang diterbitkan Lonely Planet. Saya diundang bersama wartawan dari Amerika, Rusia, dan Jepang. Kepala rombongan yang berasal dari Kementerian Informasi Taiwan bertanya mengapa saya sebagai wartawan senior masih membeli buku tentang teknik menulis. Saya jawab bahwa wartawan mestinya pembelajar seumur hidup. Ketika mengunjungi Hong Kong pada 2013 bersama Bank BRI yang menerima penghargaan Asia Money, saya membeli buku "The New Oxford Guide of Writing."

Beberapa kali berkunjung ke Singapura, saya senantiasa bertandang ke toko buku Kinokuniya, Takashinaya, Orchad Road. Di Kinokuniya Singapura dalam beberapa kali kunjungan, yakni pada 2017, 2018, dan 2019, saya membeli beberapa buku antara lain "On Populism" karya Ernesto Laclau dan "Mediating Islam" karangan Janet Steele.

Dalam empat kali kunjungan ke Amerika, yakni pada 2015, 2016, 2017, dan 2018, saya membeli buku di toko buku atau museum. Pada 2015, saya membeli sejumlah buku di toko buku New York University, antara lain buku berjudul "Inequality" karangan Atkinson. Pada 2016, saya membeli buku "God is Red" di National Museum of American Indian di Washington.

Saya juga membeli buku "The Jews of Islam" karangan Bernard Lewis di toko buku milik komunitas orang-orang Turki di Washington. Pada 2017, bersamaan saya mengikuti Fellowships dari East West Center, saya antara lain membeli buku "A People's History of the United State" karangan Howard Zinn di toko buku Nobel & Barnes, Minnesota.

Pada 2018, di Museum Afro-America di Washington saya membeli buku "A History of American People" karangan Paul Johnson. Hal paling menarik dari buku itu ialah pembahasan tentang pertarungan Kennedy dan Nixon pada Pilpres AS.

Kennedy beragama Katolik yang termasuk minoritas di Amerika. Nixon yang berasal dari mayoritas Protestan bisa saja menggunakan politik identitas untuk mengalahkan Kennedy. Tapi Nixon tidak melakukannya dan akhirnya kalah. Nixon berkata, "Satu hal yang memuaskan saya. Dalam kampanye pilpres, kita tidak menggunakan isu agama kandidat presiden. Ini mungkin buruk bagi saya, tetapi bagus bagi Amerika."

Ketika berkunjung ke Austria pada 2015, saya membeli buku tentang Mozart di rumah kelahirannya yang menjadi museum di kota Salzburg. Namun, ketika kembali mengunjungi Austria pada 2019, saya kesulitan menemukan toko buku yang menjual buku berbahasa Inggris di Wina, ibu kota negara berbahasa Jerman itu.

Saat berlibur ke Belanda pada 2018 saya terkejut menemukan toko buku Waterstones di Amsterdam. Toko buku ini mengingatkan saya pada masa-masa mengikuti program singkat di London ketika saya sering sekali mengunjungi toko buku Waterstones di sana. Di Waterstones Amsterdam saya membeli buku "For Left Populism" karangan Chantal Mouffe.

Sewaktu berlibur ke Selandia Baru pada September 2019, saya mengunjungi tiga toko buku. Di University Book Store di kota Dunedin saya membeli buku "What is Populism?" karya Jan-Werner Muller dan buku "The Origin of Totalitarianism" karangan Hannah Arendt. Di toko buku Paper Plus di Lake Wanaka Beach saya membeli buku "The Diary of A Bookseller" karangan Shaun Bythell. Di toko buku Scorpio di Christchurch saya membeli buku anak-anak untuk anak saya.

Pada 2015 saya berlibur ke Sydney, Australia. Di hari terakhir dalam liburan selama 8 hari itu, saya berwisata buku. Toko buku masuk dalam buku panduan wisata Sydney yang diterbitkan Lonely Planet.

Ada 7 toko buku yang saya jelajahi selama satu hari dan membeli banyak buku. Di antara toko-toko buku itu yang paling menarik namanya ialah toko buku "Better Read than Dead" atau "Lebih Baik Baca daripada Mati." Nama toko buku ini diambil dari jargon "Better Red than Dead" atau "Lebih Baik Komunis daripada Mati."

***