Jika agama sebagai sumur moralitas sudah mengering; bagaimana bisa yakin bahwa segala percobaan reformasi politik bisa berhasil tanpa basis etis yang menopangnya.
Saudaraku, bulan puasa datang berulang, mengajak kita jeda kerutinan. Ibarat musim gugur memberi pepohonan saat meranggas. Dedaunan jatuh luruh, gugur-tafakur, pulang ke akar, menyuburkan kehidupan.
Sesungguhnya bejana kehidupan yang penuh jemu susah menerima pengisian. Perut yang terus-terusan kenyang jadi biang penyakit. Hati yang mengejuju jenuh jadi perigi depresi. Organ yang tunak bergerak jadi mudah lapuk.
Manusia memerlukan jeda pengosongan, penyegaran, pengasoan. Sela puasa menjadi momen hibernasi untuk memulihkan kesehatan jasmani-rohani. Sedemikian vitalnya, hingga Tuhan pun mengajak seluruh manusia melakukannya; menghargainya sebagai kado spesial buat-Nya.
Maksud puasa mengurangi kepenuhan perut, janganlah diisi gairah konsumsi dengan ritual melambung harga-harga. Maksud puasa melepas tekanan hati, janganlah disesaki asap pergunjingan dan permusuhan. Maksud puasa mengistirahatkan organ tubuh, jangan ditambah beban pencernaan.
Pengurangan konsumsi bisa menurunkan kolesterol jahat dalam tubuh; berbagi gizi-kenikmatan pada sesama. Pengosongan perut bisa mengistirahatkan pencernaan; memberi efek detoksifikasi dan peremajaan sel-sel otak. Pelepasan tekanan hati, lewat zikir dan aneka ibadah, membebaskan jiwa dan penjara rutinitas masalah.
Dengan mengendalikan diri dari gravitasi syahwat bumi, roh manusia bisa mikraj ke langit tertinggi. Dengan melesat ke langit suci, mental manusia terbang dari kesadaran personal menuju transpersonal; dari kesadaran keseharian, menuju kesadaran terluhur.
Dengan puasa sejati, derajat manusia ditinggikan melampaui nilai kebendaan-kekuasaan. Bahwa nafsu menimbun harta, memperluas pengaruh, dan eksploitasi pengetahuan telah melalaikan manusia hingga membiarkan dirinya menjadi faktor produksi, budak kekuasaan, dan alat percobaan.
Dalam perbudakan nafsu, agama yang mestinya pengemban misi keadilan, cinta kasih, dan kewarasan justru acap kali menjadi penasbih atau setidaknya membiarkan kezaliman, permusuhan, dan pembodohan.
Di manakah misi penyempurnaan akhlak jika agama hanya dijadikan kemasan pemasaran, pangkal pertikaian, dan dalih kekuasaan?
Kapan agama menyuburkan kebajikan jika terus-terusan jadi sengketa interpretasi dalam persaingan pendakuan kebenaran, sebagai amunisi dalam perebutan kuasa?
Jika agama sebagai sumur moralitas sudah mengering; bagaimana bisa yakin bahwa segala percobaan reformasi politik bisa berhasil tanpa basis etis yang menopangnya.
Politik tanpa landasan etik bak bahtera yang berlayar tanpa kompas. Rezim silih berganti, janji-janji digoreng dengan kecap nomor satu, sumber daya terkuras dengan utang luar negeri yang terus membubung. Ada banyak gerak-gerik sekadar untuk gerak di tempat. Kita seakan melaju ke depan, untuk tersesat di banyak tikungan, yang membuat kita kembali ke titik awal.
Jeda Ramadhan memberi momen refleksi diri, memulihkan tenaga rohani untuk membakar benalu yang mengerdilkan moralitas. Ramadhan memberi kesadaran bahwa hasrat menimbun dan berkuasa tak pernah ada puasnya kecuali dengan puasa. Pengendalian dirilah akar tunggang pengendalian sosial. Adapun puasa bak kawah candradimuka pelatihan kendali diri.
Sekiranya semua warga mampu berpuasa sungguhan, gumpalan lemak yang berlebih di satu kelompok bisa disalurkan menjadi energi hidup bagi kelompok lain, tidak menjadi kolesterol keserakahan yang memicu kelumpuhan sosial.
Seperti dedaunan yang jatuh di musim gugur bisa memupuk rerumputan di bawah dan sekitarnya. Sesekali kita pun perlu meranggas; membiarkan keakuan terbakar, tersungkur sujud; menginsafi kefanaan yang menerbitkan hasrat untuk berbagi, membuka diri penuh cinta untuk yang lain.
(Makrifat Pagi, Yudi Latif)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews