Mengapa kita tidak bisa menerapkan prinsip zero tolerance yang sama, untuk orang yang sakit atau meninggal?
Banyak korban virus corona awalnya gara-gara kecolongan.
Ada orang sakit. Keluarga dan tetangga tahu dia sakit jantung. Ada gejala itu selama ini, dan sebelumnya memang pernah kumat.
Lalu dibawa ke RS. Mingkin dokter curiga, jangan-jangan dipicu corona. Karena itu dilakukan tes swab.
Hasil swab belum keluar, korban keburu meninggal. Sampai rumah, tetangga semua melayat. Sesuai keyakinan, juga didoakan bersama selama 7 hari.
Belakangan, hasil swab baru keluar. Ternyata dia positif corona. Gegerlah keluarga dan para tetangga.
Coba hitung, berapa banyak orang yang kecolongan karena satu orang yang meninggal itu?
Ada yang lain lagi. Orang kecelakaan. Perlu operasi kepala, akibat perdarahan. Mulutnya meracau. Di IGD meludah ke sana-sini.
Penanganan oleh tim medis, seperti kasus kecelakaan pada umumnya. Tanpa APD. Karena memang tidak ada kecurigaan kena corona. Bagaimana mikir curiga, korban perlu tindakan segera.
Setelah operasi, beberapa hari berselang, baru ketahuan ternyata dia positif corona. Data hasil tes corona disampaikan RS lain.
Coba hitung, berapa banyak tenaga medis, pegawai RS dan pasien lain yang kecolongan?
Semua boleh menambahkan cerita dari daerah masing-masing. Saya yakin banyak.
Zero Tolerance
Dengan berbagai contoh di atas, sudah selayaknya kita harus menerapkan standar penanganan dengan prinsip zero tolerance kepada setiap pasien yang datang ke RS, maupun terhadap orang yang meninggal.
Nggak peduli orang itu sakit atau meninggal karena corona atau tidak, bila dia sakit/meninggal pada masa pandemi virus corona ini, perlakukan layaknya kena corona.
Perlakuan yang sama tidak saja oleh tenaga medis, tapi juga oleh saudara, teman dekat, maupun tetangga.
Kita nggak pernah tahu, dia positif corona atau tidak. Pembawa virus corona atau tidak.
Bagi tetangga. Menjenguk orang sakit atau melayat orang meninggal dan menghibur keluarga, adalah tindakan mulia.
Tapi virus corona tidak mengenal apakah calon korbannya berhati mulia atau tidak. Semua dia sikat.
Karena itu, langkah zero tolerance-nya adalah tidak boleh mendekat. Tidak boleh mendekat, bukan berarti membenci.
Juga jangan dikucilkan, karena mereka juga korban. Ini bukan aib. Tidak perlu ada yang disembunyikan oleh keluarga.
Mungkin cara ini tampak kejam. Nggak punya hati. Tapi kejam sedikit tidak apa-apa, demi kebaikan semua.
Kalau kita sekarang bisa memperlakukan langkah-langkah zero tolerance kepada orang yang hidup, yang baru pulang dari rantau, agar mengisolasi diri selama 14 hari.
Mengapa kita tidak bisa menerapkan prinsip zero tolerance yang sama, untuk orang yang sakit atau meninggal?
Salam sehat, waras, lawan corona.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews