Formulasi Pikiran

Jangan mengindoktrinasi anak-anakmu. Ajarkan mereka bagaimana berpikir untuk diri mereka sendiri. Bagaimana cara mengevaluasi bukti, dan bagaimana tak setuju denganmu.

Senin, 19 Agustus 2019 | 19:38 WIB
0
381
Formulasi Pikiran
Ilustrasi pikiran (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) formulasi /for·mu·la·si/ adalah kata benda yang bermakna ‘perumusan’. Dalam kata kerja memformulasikan = merumuskan, menyusun bentuk yang didapat dari aneka unsur.

Kemampuan manusia memformulasikan segala sesuatu (menjadi sesuatu), itu problem kita ketika medsos disodorkan secara serentak. Merobohkan bangunan-bangunan lama; namun jangankan fondasi, lahan bangunan baru pun belum ketahuan juntrungnya.

Maka ketika medsos mencemplungkan masyarakat Indonesia ke komunikasi dari lisan ke tulisan, di situ permasalahan muncul. Miskomunikasi muncul bukan karena beda bahasa dan kepentingan, melainkan bermasalah dengan formulasi pikiran. Bahkan acap, kesalahpahaman muncul karena makna yang dimaksudkan berbeda dengan maunya.

Apakah soal kemampuan menulis, atau berkomunikasi? Pada awal-awalnya adalah soal kemampuan memformulasikan pikiran. Tapi bagaimana cara memformulasikan pikiran, jika pelajaran mengenai hal itu tak ada? Pendidikan kita sejak awal tak berurusan dengan think by logic. Lebih banyak berurusan mengenai struktur berfikir kita.

Ujian-ujian akademik kita dalam bentuk esai (menulis paper, skripsi, tesis, disertasi), adalah semacam kutukan bagi kaum terdidik kita secara formal. Bagaimana dengan yang tak terdidik secara formal? Yang dididik oleh medsos?

Nggak ada hubungan sebenarnya. The essence of the independent mind lies not in what it thinks, but in how it thinks, tulis Christopher Hitchens dalam Letters to a Young Contrarian. Esensi pikiran independen tak terletak pada yang dipikirkannya, tapi bagaimana cara berpikirnya. Di situ kita bermasalah.

Kemampuan memformulasikan pikiran, sebenarnya semacam membangun sikap mental tentang pemikiran kritis dan keingintahuan. Ini tentang pola pikir melihat dunia dengan cara yang menyenangkan dan kreatif. Tapi karena tak menyenangkan untuk diajarkan (kebanyakan guru tak siap dilangkahi murid), maka latihan beropini pun menjadi menyiksa.

Di situ, lagi-lagi saya kutip Arne Tiselius, “Kita hidup di dunia di mana sayangnya perbedaan antara yang benar dan yang salah tampak semakin kabur dengan manipulasi fakta, dengan eksploitasi pikiran yang tidak kritis, dan oleh polusi bahasa.”

Dalam dunia akademik bisa lebih menjengkelkan, karena upaya mengembangkan pemikiran kritis goyah dalam praktiknya. Terlalu banyak dosen menguliahi audiens pasif, daripada menantang siswa.

“Apabila dua orang selalu sepakat dalam segala hal, berarti cuma satu orang yang berpikir,” ujar Lyndon B. Johnson, Presiden ke-36 Amerika Serikat.

Makanya, Do not indoctrinate your children. Teach them how to think for themselves, how to evaluate evidence, and how to disagree with you, ujar Richard Dawkins. Jangan mengindoktrinasi anak-anakmu. Ajarkan mereka bagaimana berpikir untuk diri mereka sendiri. Bagaimana cara mengevaluasi bukti, dan bagaimana tak setuju denganmu.

***