Jadi, cobalah lihat dengan sudut pandang yang luas. Orang yang bekerja jauh di luar bidang studinya itu orang tersesat, buangan, atau orang yang bisa terus belajar?
Ada yang bertanya pada saya, bagaimana ceritanya saya yang sekolah dari S1 sampai S3 di bidang fisika, kok malah bekerja mengurusi perusahaan, termasuk menangani finance dan accounting yang jauh dari bidang fisika.
Jawabannya bisa macam-macam. Yang sengak mungkin akan bilang, dia fisikawan abal-abal yang tak laku bekerja di dunia fisika, jadi apa boleh buat, bertahan dengan cari makan di bidang yang jauh dari kompetensi dia. Kok sirik banget? Lho, manusia sirik seperti itu ada.
Nah, biar tidak melulu tentang saya, akan saya ceritakan kisah kenalan saya, yang juga bekerja di bidang yang jauh dari bidang studi kuliahnya. Dia sekarang bekerja sebagai vice president director di sebuah perusahaan produsen komponen otomotif berbasis teknologi blow molding. Apa pendidikannya? Jurusan pendidikan sastra Jepang, IKIP. Standarnya, lulusan jurusan ini jadi guru bahasa Jepang di SMA. Bagaimana ceritanya dia bisa jadi wakil presiden direktur?
Dia mula-mula bekerja sebagai penerjemah. Ini sudah hebat. Umumnya lulusan jurusan pendidikan bahasa itu penguasaan bahasanya lebih rendah dari jurusan sastra, karena sekian persen kurikulum mereka berisi materi pendidikan dan pengajaran. Bahkan lulusan sastra pun banyak yang tidak sanggup menguasai kemampuan berbahasa di level penerjemah.
Umumnya penerjemah, ya jadi penerjemah, urusannya bahasa saja. Tapi teman saya ini tidak begitu. Sebagai penerjemah ia belajar teknis produksi. Karena kemampuannya menyerap ilmu, ia juga dipercayai menangani produksi. Mulai dari supervisor, manager, dan seterusnya. Karir dia selanjutnya bukan lagi bahasa, tapi manajemen produksi. Dia ahli dalam mengelola efisiensi produksi, juga sistem penjaminan mutu. Dari factory manager ia menjadi vice president, yang tentu saja juga harus menangani aspek keuangan perusahaan.
Minggu lalu saya berkenalan dengan vice president director juga, tapi dia orang Jepang. Dia memimpin sebuah perusahaan industri garmen. Apa pendidikannya? Dia tidak kuliah. Masa lalu dia adalah penyelam profesional. Ini bukan selam wisata. Ia spesialis di bidang teknik bawah laut, seperti mengelas, dan konstruksi bawah laut. Itu keahlian spesifik yang sangat langka.
Tapi kenapa bisa bekerja di industri garmen? Dia hanya menjawab pertanyaan saya dengan tertawa.
Kesamaan kami bertiga adalah, kami mau belajar. Tidak hanya mau, tapi bisa. Kami tidak membatasi diri untuk belajar hal tertentu saja, menolak belajar hal lain. Saya, misalnya, tidak menolak belajar akuntansi, meski saya doktor di bidang fisika. Untuk membangun konsep training saya tidak segan bertanya dengan kawan-kawan lulusan psikologi. Bidang studi maupun gelar saya tidak menghalangi saya untuk belajar.
Kedua, kami tidak menganggap pindah bidang itu suatu kemunduran. Bidang fisika tidak lebih mulia dari bidang keuangan. Kerja riset dengan menulis di jurnal tidak lebih intelek dari pekerjaan manajemen perusahaan. Tiap bidang punya kontribusi masing-masing.
Ketiga, kami tidak menganggap ilmu jadi sia-sia karena kami menekuni hal lain, atau hal baru. Meski tak digunakan secara teknis, hal-hal yang sudah dipelajari selalu berperan memperkaya dalam pekerjaan lain di bidang yang berbeda.
Keempat, selalu ada kesempatan untuk merangkum semua skill yang kita miliki dalam suatu wadah pekerjaan. Kelak semua akan diperlukan, dan ketika itu skala pekerjaan kita akan sangat besar.
Jadi, cobalah lihat dengan sudut pandang yang luas. Orang yang bekerja jauh di luar bidang studinya itu orang tersesat, buangan, atau orang yang bisa terus belajar?
Tapi apakah seseorang yang pindah jalur begitu benar-benar bisa punya kemampuan profesional? Lha, emang profesional itu apa? Kalau dia sanggup menangani urusan yang dibebankan padanya, dan dia dapat bayaran karena itu, artinya dia profesional.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews