Usai perdebatan, kami tidak menemukan kesamaan pandang. Tidak mengapa, tidak harus dijadikan masalah baru.
Hal baik yang dilakukan Wakil Gubernur Kalimantan Utara Yansen Tipa Padan -kami biasa memanggilnya "Pak Yansen" - adalah bersilaturahmi melalui video call ramai-ramai. Biasanya hanya berempat saja di mana Pak Yansen memanggil sekaligus; saya, dan dua rekan pegiat literasi lainnya, Masri Sareb Putra dan Dodi Mawardi.
Tetapi bukan silaturahmi sembarang silaturahmi. Ada saja percakapan yang dipantik oleh pertanyaan Pak Yansen untuk kami diskusikan bersama. Percakapan ini kadang kami rekam, kadang cukup dicatat atau diingat-ingat dan hasilnya kelak bisa untuk penulisan artikel -sebagaimana yang saya lakukan ini- atau lebih luas lagi untuk bahan penulisan buku.
Di forum video call "Berempat" ini, tidak jarang kami bersilang pendapat, berargumen dengan referensi masing-masing yang sudah dipersiapkan atau yang sudah melekat di kepala kami. Tidak jarang pula kami di akhir diskusi "bersepakat untuk tidak sepakat" atas argumen tajam yang tidak bisa dipersatukan, ibarat jelantah dan air.
Seperti hari ini, Senin 10 Januari 2022, ketika Pak Yansen melempar pertanyaan berupa tiga pilihan di mana kami berempat harus memilih salah satunya, termasuk Pak Yansen si empunya pertanyaan. Pertanyaannya sederhana; mana yang akan bapak-bapak pilih jika mendapat masalah: berada di dalam masalah itu, berada bersama masalah itu atau berada di atas masalah itu?
Sungguh ini pertanyaan filsafati yang memerlukan jawaban yang tidak sederhana. Pak Masri bahkan meminta Pak Yansen menjelaskan terlebih dahulu apa definisi "masalah" yang dimaksud. "Bagi orang itu mungkin masalah, tetapi bagi saya mungkin tidak," kilahnya.
Pak Yansen menjelaskan bahwa masalah yang dimaksud adalah pernyataan tentang keadaan yang belum sesuai dengan yang diharapkan atau suatu keadaan yang harus diselesaikan sesegera mungkin.
Saya sendiri bersama Pak Masri memilih "berada bersama dengan masalah itu", sedangkan Pak Yansen dan Kang Dodi kebetulan memilih "berada di atas masalah itu". Imbang dua lawan dua dan debat sengit pun dimulai, kami berusaha mempertahankan argumen masing-masing.
Saya memulai cakrawala berpikir dengan terlebih dahulu menempatkan "di dalam (in) masalah, "dengan (with) masalah" dan "di atas masalah (on) masalah". Saya kemudian memilih berada "bersama dengan masalah".
Argumen yang saya kemukakan, bahwa saya tidak mungkin mengelak dari masalah yang datang silih berganti. Manusia hidup dengan masalah. Hanya manusia mati saja yang tanpa masalah.
Berada "di dalam masalah" (in) tidak saya pilih karena manusia seperti saya tidak seharusnya berada selamanya dalam masalah, seolah-olah kita hidup itu hanya untuk urusan memecahkan atau mengatasi masalah saja.
Bagi saya, berada "di atas masalah" (on) menunjukkan suatu sikap ingin selalu menyelesaikan atau mengatasi masalah, tidak peduli bagaimana pun caranya. Ada sikap "jalan pintas" yang diambil, bila perlu meminta/membayar orang lain untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Pokoknya masalah beres!
Sedangkan hidup "bersama dengan masalah" (with) yang saya pilih menandakan orang seperti saya mencintai proses demi proses menuju perbaikan, agar persoalan dapat diselesaikan dengan baik dan tahu presis di mana permasalahannya. Hidup bersama dengan masalah bukan berarti membiarkan masalah, tetapi tetap menyelesaikan masalah satu persatu, tidak menumpuk masalah sampai menjadi gunung masalah.
Setiap masalah memerlukan proses dalam penyelesaiannya. Pun jika masalah tidak bisa diselesaikan, ya mau apa lagi, yang penting usaha telah dilakukan. Saya tidak punya daya untuk bisa menyelesaikan semua masalah, tetapi saya bisa hidup berdampingan dengan masalah yang (pernah) saya hadapi dan tidak terselesaikan itu.
Sementara Kang Dodi mengatakan akan selalu mengatasi masalah, bila perlu dengan menggunakan "helicopter view" yang kemudian Pak Masri patahkan, "Emangnya masalah selalu ada di bawah? Bagaimana kalau masalah itu justeru ada di dalam atau di atas helikopter? Helicopter view tidak selalu akurat, apa yang kita lihat dari atas seperti warna cokelat ternyata biru!"
Di sini saya menahan tawa karena argumen pak Masri meski terkesan lucu, ada benarnya. Pun ketika Pak Yansen ingin memperkuat argumen Kang Dodi karena "berada dalam satu perahu yang sama" dengan mencontohkan bahwa orang mengatasi masalah itu seperti main Rodeo, di mana orang itu duduk di atas kuda yang mengamuk. Kuda Pak Yansen ibaratkan sebagai masalah dan orang yang mengendalikan kuda itu sebagai manusia yang mengatasi masalah.
Tetapi saya katakan bahwa contoh Rodeo itu tidak selalu tepat untuk sebuah analogi penyeleisaian masalah. Bagaimana kalau orang itu astronot yang berada dalam kabin satelit, bagaimana kalau orang itu berada di dalam kabin mobil, bukankah mereka berusaha mengatasi masalah bersama masalahnya itu sendiri (satelit dan mobil)?
Alhasil kami saling mematahkan. Kadang harus dengan suara keras untuk meyakinkan, tetapi tidak saling rebutan saat berbicara, meski tidak ada moderator yang mengatur lalu lintas percakapan sekalipun. Kami membiarkan siapapun yang berargumen dan tidak menolak saat harus berargumen.
Usai perdebatan, kami tidak menemukan kesamaan pandang. Tidak mengapa, tidak harus dijadikan masalah baru. Setidak-tidaknya tadi saya dan Pak Masri berada dalam masalah yang dikemukakan Pak Yansen dan berusaha memecahkan masalah tersebut. Kami tidak langsung atau ujug-ujug berada di atas (mengatasi) masalah tanpa tahu menahu proses di dalamnya.
Kami berdua, saya dan Pak Masri, memang tak kenal budaya instan!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews