Hidup bersama ada hukum dan norma. Memang, mereka tidak mutlak. Mereka harus ditafsirkan dengan nalar sehat dan nurani yang jernih, sehingga bisa membawa kebahagiaan bagi semua mahluk.
Bentuk adalah kekosongan. Kekosongan adalah Bentuk.
Tidak ada Bentuk. Tidak ada kekosongan.
Bentuk adalah Bentuk. Kekosongan adalah kekosongan.
Form is emptiness. Emptiness is form.
No form. No emptiness.
Form is form. Emptiness is emptiness.
Minggu 6 Maret 2022. Jakarta Timur pagi ini diisi dengan cuaca yang cerah, serta udara yang segar. Pohon hijau bergoyang tertepa angin. Langit biru diselipi awan putih yang terus menari.
Keheningan pagi diganggu oleh suara rumah ibadah terdekat. Terdengar orang bernyanyi-nyanyi dengan suara keras. Sampai 2 km, suaranya tetap terdengar. Masalah lama yang tak kunjung selesai, karena diabaikan oleh pemerintah dan masyarakat luas.
Tetangga sedang renovasi. Ketukan palu menghantam tembok. Suara bising mengisi gang perumahan kami. Tak ada waktu untuk istirahat untuk orang Jakarta.
Dalam keadaan itu, saya menyelam ke dalam rahim Zen. Tiga kalimat di awal tulisan sudah lama menjadi misteri bagi saya. Hal yang sama dialami oleh para praktisi Zen di seluruh dunia. Apa arti sesungguhnya?
Sebenarnya, tak ada arti yang istimewa. Tak ada ajaran rahasia. Tiga kalimat itu hanyalah alat bantu untuk mengajar. Ia bukan ajaran mutlak yang harus dihafal, apalagi dipatuhi secara buta.
Bentuk adalah kekosongan. Kekosongan adalah Bentuk.
Ini yang disebut dengan dunia dualistik. Ada benar, dan ada salah. Dua hal itu diyakini secara mutlak. Tak ada titik tengah yang mendamaikan.
Hasilnya adalah derita dan permusuhan. Kelompok saya melawan kelompok anda. Negara saya melawan negara anda. Perang Rusia dan Ukraina 2022 ini adalah contoh nyata pola pikir dualistik yang amat kuat.
Dunia dualistik adalah dunia kebodohan. Ia dibentuk oleh pikiran yang tersesat. Ia lahir dari ajaran yang salah tentang kehidupan. Sayangnya, mayoritas orang di dunia hidup dengan cara berpikir ini.
Tidak ada Bentuk. Tidak ada kekosongan
Beberapa orang memutuskan untuk keluar dari dunia dualistik. Mereka belajar Zen, atau ajaran spiritual lainnya. Mereka sadar, bahwa baik dan buruk adalah ciptaan manusia. Di mata semesta, tidak ada pembedaan semacam itu.
Konsep dan bahasa juga buatan manusia. Ia adalah abstrak. Ia adalah fiksi yang dipercaya bersama, sehingga seolah menjadi kenyataan yang kokoh. Setelah mendalami Zen, orang mulai terbebas dari konsep dan bahasa yang ia pegang erat sebelumnya.
Baik, buruk, benar dan salah menjadi lenyap. Aku, kami, dia dan mereka juga menjadi lenyap. Inilah kenyataan absolut, bahwa segala sesuatu, sejatinya, adalah kosong. Hanya manusia yang membuat beragam hal, dan terjebak di dalamnya.
Bentuk adalah Bentuk. Kekosongan adalah kekosongan.
Jika orang terus berlatih, maka ia bergerak dari dunia absolut. Ia pun memasuki dunia yang penuh. Inilah dunia sebagaimana adanya. Kesadaran manusia hanya memantulkan semua secara utuh, tanpa ada tafsiran ataupun penilaian apapun.
Matahari bersinar cerah. Udara segar. Pohon-pohon hijau menari. Rumah ibadah bernyanyi-nyanyi. Renovasi tetangga terdengar begitu keras.
Di dalam dunia yang penuh, keadaan tidak baik, dan tidak buruk. Semua adalah sebagaimana adanya. Terkadang, bahagia berkunjung. Lalu, kecewa dan derita bertamu. Semua berganti, tanpa kenal henti.
Di dalam dunia penuh, arah lalu menjadi penting. Untuk apa semua hal dalam hidupmu digunakan? Jika tindakanmu menciptakan derita bagi pihak lain, maka ia harus berhenti. Jika tindakanmu menciptakan kebahagiaan dan pencerahan bagi pihak lain, maka ia harus terus dilakukan.
Hidup bersama ada hukum dan norma. Memang, mereka tidak mutlak. Mereka harus ditafsirkan dengan nalar sehat dan nurani yang jernih, sehingga bisa membawa kebahagiaan bagi semua mahluk. Saat ke saat, apa motivasi tindakanmu?
Sudah jam 9 pagi. Perut saya mulai lapar. Jam sarapan sudah lewat. Agenda berikutnya sudah menanti. Selamat berhari Minggu.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews