Pada Dua Buah Kafe

Eksistensialisme ialah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauan bebas. Eksistensialisme Sartre bersifat ateistik.

Jumat, 14 Februari 2020 | 07:15 WIB
0
344
Pada Dua Buah Kafe
Jean-Paul Sartre (Foto: isfcogito.org)

Ada dua kafe yang biasa menjadi tempat filosof eksistensialisme Jean-Paul Sartre bekerja. Bekerja maksudnya membaca, menulis, dan berdiskusi. Kedua kafe itu Kafe Lex Deux Magots dan Kafe de Flore. Kedua kafe terletak berdekatan di Saint Germain-des-Pres, Paris, Prancis.

Satu reporter Media Indonesia beruntung pernah mengunjungi salah satu kafe tersebut dan menulis laporan tentangnya. Saya tahu tentang kafe tersebut dari tulisan reporter Media Indonesia itu. Setelah membaca tulisan itu, saya kepingin sekali menyinggahinya bila saya berkesempatan ke Paris. Akan tetapi, ketika dua hari berkunjung ke Paris pada 2018, saya tidak sempat mengunjunginya.

Ingatan saya tentang kafe Sartre terbit kembali ketika saya membaca Majalah Basis edisi terbaru yang mengangkat tema ‘Eksistensialisme Sartre.’ Sudah lama saya tidak menemukan majalah filsafat itu. Saya pikir Majalah Basis “bubar jalan” terimbas era digital. Syukurlah, pekan lalu, ketika membeli buku “The Age of Surveilance Capitalism” karangan Shoshana Zuboff di toko buku Periplus , Plaza Senayan, saya melihat Majalah Basis dan membelinya.

Eksistensialisme ialah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauan bebas. Eksistensialisme Sartre bersifat ateistik. Ada eksistensialisme teistik seperti dikembangkan Gabriel Marcel. Bagi Marcel, filsafat ialah sebuah refleksi tentang kredo “aku percaya” dalam hubungannya dengan “aku eksis.”

Sartre dikisahkan biasa datang ke Kafe Les Deux Magot pukul 09.00 dan berativitas di sana sampai malam hari. Sebagian buku termasyurnya tentang eksistensialisme, ‘’L’etre et le neant” (Ada dan ketiadaan) ditulis di kafe tersebut. Ia juga menerima dan berdiskusi dengan teman-temannya di situ.

Pada masa keemasannya antara 1940-1950, eksistensialisme Prancis bukan hanya diskursus filsafat yang ketat tetapi juga menjadi aliran sastra, gaya hidup, bahkan gerakan politik. Orang berdiskusi di kafe-kafe sambil mendengarkan jazz, berdansa dan merokok.

Di Indonesia belakangan ini banyak orang beraktivitas menulis, membaca, berdiskusi, di kafe semenjak ‘ngopi’ menjadi gaya hidup. Saya sendiri gemar membaca dan menulis di kafe. Menulis atau membaca ditemani secangkir kopi di kafe menghadirkan ketenangan tersendiri.

Saya jadi teringat Kempis, seorang murid Yesus, yang mengatakan, ”Dalam segala hal saya telah mencari ketentraman dan saya tidak menemukan di mana pun, kecuali di pojok bersama buku.”

Kafe favorit tempat saya membaca dan atau menulis buku ialah Bakoel Koffie di Cikini, Menteng, Jakarta. Pisang gorengnya tiada duanya menurut saya. Sebagian besar naskah buku “Jurnalisme Narkoba: Panduan Peliputan” (2015) dan “Jurnalisme Keberagaman untuk Konsolidasi Demokrasi” (2016) saya tulis di kafe ini.

***