Kompasiana tinggal memetik hasilnya. Ia sudah menjadi entitas bisnis sendiri di lingkup Kompas-Gramedia. Ia sudah menjadi "gacoan" bagi perusahaan induk karena kekhasan yang dimilikinya.
Saya memenuhi undangan Mbak Ana Mustamin untuk sebuah wawancara Maraja TV, "program televisi personal" yang memproduksi mata acara #RuangBaca. Karena saya punya waktunya malam hari, ya malam-malam saya menuju Cibubur untuk tapping, pengambilan gambar dan suara. Mbak Ana sendiri yang berlaku sebagai host acara literasi tersebut. Ya, saya mau hadir karena sesuai bidang saya.
Tapi sejujurnya, saya tidak tahu apa yang akan dibahas di dalam acara tersebut. Tahunya pada saat saya dikasih mike mungil yang direkatkan di bawah kerah baju, tanpa polesan "touch up" di wajah biar wajah tidak seperti raja minyak (berminyak maksudnya), tiba-tiba mbak Ana bilang, "Tentang Kompasiana, ya!"
Oalah...
Make sense sih, ga perlu didebat macam-macam. Saya jawab, "Siyaappp..."
Bagaimanapun, orang tetap saja melekatkan nama saya dengan Kompasiana, meski saya sudah undur diri hampir 3 tahun lalu dari Harian Kompas, yang sekaligus juga mundur total dari Kompasiana. Toh masih mengingat dengan baik blog sosial yang saya dirikan itu.
Pun isi buku "Kompasiana, Etalase Warga Biasa" (diterbitkan Gramedia Pustaka Utama) masih lekat dalam ingatan. Jadi saya okay-okay saja jika yang ingin dibahas tentang Kompasiana.
Sudah banyak yang saya bicarakan perihal Kompasiana. Bahkan di buku yang saya tulis itu, saya membuka bahasan dengan sebuah "drama" yang terjadi saat Rapat Reboan Harian Kompas, di mana di dalam rapat itu saya sedang menjadi "pesakitan", tersebab adanya konten Kompasiana yang bisa dianggap mencemarkan nama baik Harian Kompas. Di situlah sang editor muda nyeletuk, "Tutup saja Kompasiana!"
Sejujurnya, buku itu pun ditolak oleh Penerbit Buku Kompas (PBK) karena mungkin agak-agak berkata jujur tentang hubungan Kompasiana dan Kompas, dua tubuh yang menyatu dalam satu jiwa; jiwa saya.
Penilai layak diterbitkan-tidaknya sebuah buku di PBK harus melalui para boss di Harian Kompas yang sudah berada minimal di level redaktur pelaksana. Saya tahu tidak bakal diloloskan (padahal dua buku saya sebelumnya lolos diterbitkan PBK, yaitu "Menulis Sosok" dan "Citizen Journalism"), tapi mencoba apa salahnya.
Langit tidak berarti runtuh seketika ketika naskah buku tentang Kompasiana ditolak PBK, toh masih ada penerbit lain. Masih satu atap di Kompas-Gramedia, yaitu GPU alias Gramedia Pustaka Utama. Lolos....
Nah, di acara talkshow ringan dengan Mbak Ana itu saya mengungkapkan hal yang sebelumnya belum pernah saya ungkapkan; Kompasiana nyaris diberangus! Nyaris dimatikan!
Diberangus? Maksudnya dimatikan, begitu? Iya, dimatikan! Dibredel!
Gila! Sebuah media yang menampung ratusan ribu penulis warga mau diberangus begitu saja, apa salahnya!?
Inilah yang kemudian saya ceritakan blak-blakan kepada Mbak Ana. lewat program #RuangBaca itu. Anda semua bisa tahu jawaban dan musabab mengapa Kompasiana nyaris dibikin tidak bernyawa itu hanya oleh sebuah puisi dengan mengikuti video yang menayangkan tanya-jawab itu.
Tetapi satu hal yang ingin saya tekankan adalah, bahwa Anda, khususnya para Kompasianer, harus mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap Kompasiana. Sebab, saya katakan dalam wawancara, membangun Kompasiana itu dilakukan dengan"berdarah-darah".
Ya, mungkin terlalu lebay istilahnya. Tetapi intinya, membangun Kompasiana dan membuatnya tetap hidup di tengah induknya yang tidak meyakini keniscayaan hadirnya media baru, bukan pekerjaan mudah.
Sekarang Kompasiana berada di tangan Nurulloh, anak muda (sebenarnya ga muda-muda banget sih) yang sangat paham luar-dalam tentang Kompasiana. Anak ini yang sering saya reweli, teriaki, ketika ia baru masuk di tahun 2008, saat Kompasiana hamil tua dan siap dilahirkan. Saya percaya betul Kompasiana akan menjadi lebih maju di tangan anak ini!
Boleh jadi penulis Kompasiana sekarang ini sudah mendekati angka setengah juta jiwa. Jika ini benar, sungguh suatu jumlah yang sangat-sangat buesssaaaar... untuk sebuah komunitas penulis.
Kompasiana tinggal memetik hasilnya. Ia sudah menjadi entitas bisnis sendiri di lingkup Kompas-Gramedia. Ia sudah menjadi "gacoan" bagi perusahaan induk karena kekhasan yang dimilikinya. Jika Tribunnews.com menjadi media online nomor wahid, untuk Kompasiana dengan sedemikian banyak penulis di dalamnya, harus diberi tempat di podium terhormat KG.
Di balik itu semua, tidak banyak yang tahu kalau Kompasiana sebenarnya nyaris tinggal nama.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews